BENCANA HIDROMETEOROLOGI
Kasus Bencana Banjir di DKI Jakarta
1.
Latar
Belakang
Ancaman
(hazards) suatu bencana menurut
UN-ISDR dalam BAKORNAS (2007), dibedakan menjadi lima kelompok yaitu : bahaya
beraspek geologi (gempabumi, tsunami, gunungapi, tanah longsor dan lain
sebagainya), bahaya beraspek hidrometeorologi (banjir, kekeringan, angin topan,
gelombang pasang dan lain sebagainya), bahaya beraspek biologi (wabah penyakit,
hama/penyakit tanaman dan hewan, dan lain sebagainya), bahaya beraspek
teknologi (kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi dan lain sebagainya),
bahaya beraspek lingkungan (kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran
limbah). Ancaman bahaya hidrometeorologis merupakan proses atau fenomena yang
bersifat atmosferik, hidrologis atau oseanografis yang bisa menyebabkan
hilangnya nyawa, cedera atau dampak-dampak kesehatan lain, kerusakan harta
benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau
kerusakan lingkungan (UNISDR, 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang
termasuk ancaman bahaya hidrometeorologis diantaranya siklon tropis, badai
petir, badai es, tornado, badai salju, dan gelombang badai pesisir, banjir
kekeringan, gelombang panas dan gelombang dingin.
Besar
kecilnya kejadian bencana tidak hanya tergantung dari besar kecilnya kekuatan
ancaman bencana yang ada tetapi juga tergantung dari kondisi dan respon
masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Secara teoritis tingkat kejadian
bencana diistilahkan sebagai tingkat risiko bencana, yang merupakan fungsi dari
ancaman (bahaya) bencana, kerentanan dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi
bencana. Semakin tinggi tingkat ancaman (bahaya) pada suatu daerah yang dikuti
dengan tingginya kerentanan masyarakat dan rendahnya kapasitas masyarakat dalam
menghadapi bencana maka akan menyebabkan peningkatan risiko bencana, begitu
juga sebaliknya apabila ancaman bencana tinggi, namun tingkat kerentanan
masyarakat rendah dan tingkat kapasitas
masyarakat dalam menghadapi bencana tinggi maka tingkat risiko bencana
menjadi semakin kecil.
Ancaman
bencana hidrometeorologis yang banyak terjadi di Indonesia yaitu banjir dan
kekeringan. Pada intinya kedua bencana ini mempunyai subyek penyebab yang sama
yaitu masalah air, jika bencana banjir berkaitan dengan kelebihan pasokan air
pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu sedangkan bencana kekeringan
berkaitan dengan kekurangan pasokan air pada suatu wilayah dalam kurun waktu
tertentu. Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami bencana
hidrometeorologis dengan tingkat kerugian secara ekonomi tinggi adalah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dengan kejadian bencana banjir yang hampir
rutin terjadi setiap tahunnya. Sesuai data Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) melalui www.dibi.bnpb.go.id,
jumlah kejadian bencana banjir di DKI Jakarta dalam kurun waktu 2011 sampai
dengan 2015 ini sejumlah 84 kejadian, dengan jumlah kerugian triliunan rupiah.
Tingginya
jumlah kejadian banjir di wilayah DKI Jakarta menjadikan banjir merupakan peristiwa
rutin dan biasa dialami masyarakat Jakarta yang sebagian besar wilayahnya sudah
terisi dengan bangunan. Untuk itu setiap kali musim penghujan pasti terjadi
banjir, air hujan sudah tidak dapat meresap kedalam tanah dengan baik.
Akibatnya sebagian besar air menjadi air permukaan dan mengalir melalui
sungai-sungai yang ada dan terbuang percuma ke laut, namun sebelumnya
menggenangi lahan permukiman dan jalanan menimbulkan banjir dan dampak
ikutannya. DKI Jakarta sebagai Ibukota negara sekaligus sebagai Ibukota pemerintahan
tentunya menjadi pusat aktifitas perekonomian yang mampu menarik investor menanamkan
modalnya di daerah ini. Masyarakat pencari kerja dari daerah juga tertarik
untuk merubah nasibnya di Jakarta. Tingginya tingkat urbanisasi di DKI Jakarta
menjadikan daerah ini sebagai Provinsi dengan tingkat kepadatan penduduk
tertinggi di Indonesia. Sebagian besar orang meyakini bahwa penyebab banjir
yang terjadi selama ini adalah karena tekanan penduduk dan pertumbuhan ekonomi
yang pesat yang menyebabkan alih fungsi lahan khususnya hutan dan daerah aliran
sungai (DAS) menjadi permukiman dan sarana infrastruktur pendukungnya sehingga
berkurangnya tingkat resapan air dan menigkatkan potensi terjadinya banjir.
2.
Keadaan
Umum Jakarta
a. Geografis dan Topografis
Secara
geografis wilayah DKI Jakarta terletak antara 106022’42” BT sampai
106058’18” BT dan 5019’12” LS sampai 6023’54”
LS, dengan batas-batasnya meliputi sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa,
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Bogor dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.
Luas wilayah DKI Jakarta sekitar 661.52 km2 yang terbagi dalam 5
wilayah Kota dan 1 Kabupaten yaitu Kotamadya Jakarta Pusat, Kotamadya Jakarta
Timur, Kotamadya Jakarta Barat, Kotamadya Jakarta Utara, Kotamadya Jakarta
Selatan dan Kabupaten Kepulauan Seribu.
Wilayah
Provinsi DKI Jakarta secara topografi dikategorikan sebagai daerah yang datar
dan landai. Ketinggian tanah dari pantai sampai ke banjir kanal berkisar antara
0 m sampai 10 m di atas permukaan laut diukur dari titik nol Tanjung Priok. sedangkan
dari banjir kanal sampai batas paling Selatan di wilayah Provinsi DKI Jakarta
antara 5 m sampai 50 m di atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan daerah rawa
atau daerah yang selalu tergenang air pada musim hujan. Di daerah bagian
Selatan banjir kanal terdapat perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 m
sampai 75 m di atas permukaan laut.
b. Geologi dan Hidrologi
Jakarta
terletak pada daerah cekungan air tanah (CAT) yang dikenal dengan nama CAT
Jakarta. Seluruh dataran wilayah Jakarta terdiri dari endapan alluvial pada
zaman Pleistosen setebal ± 50 m. bagian selatan terdiri dari lapisan alluvial
yang memanjang dari Timur ke Barat pada jarak 10 km sebelah selatan pantai. Di
bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua. Kekuatan tanah di wilayah
Jakarta mengikuti pola yang sama dengan pencapaian lapisan keras di wilayah
bagian utara pada kedalaman 10 m – 25 m. makin keselatan permukaan keras
semakin dangkal yaitu antara 8 – 15 m.
Sebagian
besar wilayah DKI Jakarta adalah dataran yang letaknya lebih rendah dari
permukaan laut. Kota ini dialiri oleh 13 sungai yang bermuara di Laut Jawa, 15
buah Situ dan 58 buah Waduk, yang sebagian besar kondisinya saat ini sudah
memprihatinkan, bahkan ada yang sudah direklamasi dan telah dirubah fungsinya. Pada
awalnya sungai-sungai ini merupakan saluran irigasi pertanian masyarakat
Jakarta, namun kondisi saat ini kebanyakan lahan pertanian telah diubah
fungsinya menjadi permukiman, lahan industri, perekonomian dan lain sebagainya.
Peta sebaran sungai sungai dan sistem tata air di Provinsi DKI Jakarta dapat
dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Sebaran sungai dan Sistem tata air di Provinsi DKI Jakarta
c. Demografis
Jakarta
merupakan kota dengan jumlah penduduk tertinggi di Indonesia dan jumlah ini
terus bertambah karena daya tarik kota ini sebagai pusat pemerintahan sekaligus
perekonomian. Jumlah penduduk DKI Jakarta dari tahun 2000 terus meningkat
sampai tahun 2014 dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata diatas 2 % setiap
tahunnya. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Jakarta sejumlah 8.347.083 jiwa
meningkat menjadi 10.075.300 jiwa pada tahun 2014 dengan kepadatan penduduk
15.230 jiwa/km2. Perkembangan penduduk yang sangat tinggi menyebabkan
tumbuhnya permukiman baru yang tidak tertata dengan baik. Kepadatan penduduk
terbukti telah melampaui daya dukung struktur dan lingkungannya. Tingkat
pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan sehingga
menyebabkan sebagian masyarakat mendirikan tempat tinggal di bantaran kali,
saluran-saluran dank anal-kanal yang telah dibuat Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta.
d. Iklim
Iklim
merupakan hasil pengamatan cuaca dalam jangka waktu relatif lama (misalnya 25
tahun). iklim mempunyai hubungan dengan posisi atau letak wilayah dari garis
katulistiwa dan ketinggian tempat di permumukaan bumi. Secara umum iklim di
wilayah DKI Jakarta hampir sama dengan wilayah lainnya di Indonesia yaitu
beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Menurut
klasifikasi iklim Schmit Ferguson, wilayah DKI Jakarta termasuk tipe iklim C
dan D dengan curah hujan rata-rata sepanjang tahun 2.000 mm. Wilayah ini termasuk
darah tropis beriklim panas dengan suhu rata-rata 270 C per tahunnya
dengan kelembaban antara 80% sampai 90%. Temperature tahunan maksimum 320
C dan minimum 220 C.
3.
Bencana
Banjir
Pengertian
banjir menurut BAKORNAS (2007), yaitu banjir merupakan aliran air sungai yang
tingginya melebihi muka air normal sehingga melimpas dari palung sungai
menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah disisi sungai. Aliran air
limpasan tersebut yang semakin meninggi, mengalir dan melimpasi muka tanah yang
biasanya tidak dilewati aliran air. Terdapat berbagai macam banjir yang
ditentukan dari penyebabnya yaitu antara lain dijelaskan lebih lanjut berikut
ini.
a.
Banjir air
Banjir
air merupakan banjir yang sudah umum terjadi di berbagai wilayah. Penyebab
banjir ini adalah meluapnya air sungai, danau, atau selokan sehingga air akan
meluber lalu menggenangi daratan. Umumnya banjir seperti ini disebabkan oleh
hujan yang turun terus-menerus sehingga sungai atau danau tidak mampu lagi
menampung air.
b.
Banjir bandang
Banjir
ini merupakan banjir yang terjadi secara tiba-tiba dengan jangka waktu yang
relatif cepat. Materialnya tidak hanya materi air, tetapi juga mengangkut
material air bercampur tanah, lumpur, batuan, batang kayu dan lain sebagainya.
Banjir bandang mampu menghanyutkan apapun, karena itu daya rusaknya sangat
tinggi. Banjir ini biasa terjadi di area dekat pegunungan, dimana tanah
pegunungan seolah longsor karena air hujan lalu ikut terbawa air ke daratan
yang lebih rendah. Biasanya banjir bandang ini akan menghanyutkan sejumlah
pohon-pohon hutan atau batu-batu berukuran besar.
c.
Banjir rob (laut pasang)
Banjir
rob merupakan banjir yang disebabkan oleh pasangnya air laut. Umumnya air laut akan
menahan air sungai yang sudah menumpuk, akhirnya mampu menjebol tanggul dan
menggenangi daratan. Banjir ini terjadi di kawasan pesisir dengan topografi
landai dan beda tinggi hanya beberapa meter diatas permukaan laut normal
sehingga apabila terjadi kenaikan muka air laut maka akan menggenangi wilayah
pantai.
d.
Banjir lahar dingin
Banjir jenis ini biasanya hanya terjadi ketika
erupsi gunung berapi. Erupsi ini kemudian mengeluarkan lahar dingin dari puncak
gunung dan mengalir ke daratan yang ada di bawahnya. Lahar dingin ini
mengakibatkan pendangkalan sungai, sehingga air sungai akan mudah meluap dan
dapat meluber ke pemukiman warga.
e.
Banjir lumpur
Banjir
lumpur ini identik dengan peristiwa banjir Lapindo di daerah Sidoarjo. Banjir
ini mirip banjir bandang, tetapi lebih disebabkan oleh keluarnya lumpur dari
dalam bumi dan menggenangi daratan. Lumpur yang keluar dari dalam bumi bukan
merupakan lumpur biasa, tetapi juga mengandung bahan dan gas kimia tertentu
yang berbahaya.
Banjir
yang selama ini terjadi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya hanya berupa banjir
air dan banjir rob. Untuk makalah ini lebih dititikberatkan pada bencana banjir
air dan upaya penanggulangannya. Pada umumnya banjir air disebabkan oleh curah
hujan yang tinggi di atas normal, sehingga sistim pengaliran air yang berupa
sungai dan anak sungai alamiah serta sistem saluran drainase dan kanal
penampung banjir buatan tidak mampu menampung akumulasi air hujan tersebut sehingga
meluap.
4.
Sejarah
kejadian banjir besar di Jakarta
Sesuai catatan sejarah, telah terjadi beberapa kali
kejadian banjir di Jakarta yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian materal
yang besar. Beberapa kejadian banjir besar malah pernah terjadi pada waktu
penjajahan Belanda di wilayah Jakarta yang dahulunya dikenal sebagai Sunda
Kelapa atau Batavia. Diantara kejadian bencana banjir besar yang pernah
terjadi, ada 8 kejadian banjir besar yang diuraikan lebih lanjut berikut ini.
a.
Banjir besar tahun 1918
Banjir ini
melumpuhkan Batavia. Gubernur Jenderal Batavia saat itu sampai menunjuk arsitek
khusus untuk mengangani banjir yang merendam permukiman warga karena limpasan
air dari sungai Ciliwung, Cisadane, Angke dan Bekasi. Akibat banjir, sarana
transportasi, termasuk lintasan trem listrik terendam air. Banjir pada tahun
itu merupakan yang terparah dalam dua dekade terakhir.
b.
Banjir besar tahun 1976
Banjir besar di
Jakarta terjadi pada Februari 1976. Jakarta Pusat menjadi wilayah terparah
dalam banjir, lebih dari 200.000 jiwa diungsikan. Banjir pada tahun itu membuat
Jakarta sangat terpuruk dalam menghadapi musibah tahunan ini.
c.
Banjir besar tahun 1979
Banjir besar tahun
1979 terjadi pada era pemerintahan Gubernur Tjokropranolo. Air menggenangi
wilayah permukiman dengan luas mencapai 1.100 ha. Banjir yang disebabkan hujan
lokal dan banjir kiriman itu merendam permukiman penduduk.
d.
Banjir besar tahun 1984
Memasuki tahun
1980-an persoalan banjir terus berlanjut. Pada tahun 1984 terjadi banjir
Jakarta dalam dua musim, yaitu pada bulan Januari, Mei, Agustus dan Sepember 1984.
Luapan sungai Grogol dan sungai Sekretaris meluap. Sekitar 10 RW di kawasan
Palmerah terendam air setinggi 60 cm. Dampak banjir pada tahun itu meluas dan
terasa di Jakarta Timur, Barat dan Pusat. Jumlah total korban tercatat 8.596
Kepala keluarga.
e.
Banjir besar tahun 1996
Pada tanggal 6 –
9 Januari 1996, Jakarta terendam banjir setelah hujan dua hari. Sebulan kemudian
tanggal 9 – 13 Februari terjadi banjir kembali dengan tinggi genangan mencapai
7 meter, karena curah hujan lima kali lipat dari curah hujan normal selama
kurang lebih tiga hari. Korban mencapai 20 jiwa dan sekitar 30.000 jiwa
pengungsi.
f.
Banjir besar tahun 1997
Banjir besar
kemudian terjadi pada 13 Januari 1997. Hujan deras selama dua hari menyebabkan
4 kelurahan di Jakarta Timur tergenang akibat luapan sungai Cipinang, 754
rumah, 2.640 jiwa terendam air sekitar 80 cm. selain itu beberapa jalan utama
di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat lumpuh akibat banjir. Sarana telekomunikasi
dan listrik juga mati total akibat banjir ini.
g.
Banjir besar tahun 2007
Pada bulan
Februari 1997 terjadi banjir karena curah hujan tinggi sejak 1 Februari sampai
satu minggu berikutnya. Banjir melanda sebagian besar wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Jumlah korban jiwa mencapai 80 orang
selama 10 hari banjir karena terseret arus, tersengat listrik atau sakit.
Jumlah pengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007. Perkirakan total
nilai kerusakan dan kerugiannya mencapai Rp. 5,2 triliun, belum termasuk
kerugian ekonomi yang dialami oleh sektor usaha dan asuransi yang diperkirakan
senilai 400 juta USD atau setara dengan Rp3,6 triliun selama 7-10 hari
terjadinya bencana banjir di wilayah Jabodetabek ini (BAPPENAS, 2007).
h.
Banjir besar tahun 2013
Banjir besar
tahun 2013 di Jakarta mengakibatkan 20 korban jiwa dan 33.500 orang mengungsi
pada Januari hingga Februari 2013. Banjir ini sampai melumpuhkan pusat kota,
air menggenangi kawasan Sudirman dan kawasan sekitar Bundaran Hotel Indonesia
akibat luapan air ditanggul kali Cipinang. Diperkirakan banjir ini menyebabkan
kerugian hingga mencapai Rp. 20 triliun.
5.
Penyebab
Banjir Jakarta
Banjir yang terjadi di Jakarta setiap tahunnya sudah
menjadi hal biasa dan dianggap tidak ada masalah bagi sebagian orang, namun
sebenarnya kejadian banjir mengganggu dan merugikan kepentingan setiap orang
hanya tingkat kerugiannya yang berbeda-beda tergantung dari kepentingan
masing-masing. Secara umum penyebab banjir yang terjadi di Jakarta disebabkan faktor
alamiah dan faktor manusia. Beberapa penyebab banjir di wilayah DKI Jakarta
diantaranya dapat dirinci berikut ini.
a.
Pengaruh Kondisi fisik alamiah
Secara
geografis wilayah Jakarta merupakan wilayah dataran rendah sebagai daerah hilir
atau muara dari belasan sungai yang melintasinya. 13 Sungai yang melintasi
wilayah DKI Jakarta seperti kali Ciliwung, kali Baru timur, Kali Cipinang, Kali
Grogol, Kali Pesanggrahan dan lainnya serta diapit oleh sungai Citarum di
sebelah timur dan sungai Cisadane di sebelah barat sebagian besar hulunya masuk
wilayah adminsitrasi daerah lain seperti Bogor, Bekasi, Tangerang dan
sekitarnya yang merupakan wilayah dataran tinggi yang senantiasa mengalirkan
air ke dataran rendah di wilayah Jakarta. Aliran air dari hulu apabila tidak
dapat ditampung oleh badan sungai yang ada maka berpotensi terjadi banjir di Jakarta.
Secara
topografis, wilayah Jakarta yang landai dengan kemiringan tanah relatif datar
menimbulkan aliran air hujan sebagian besar tidak maksimal mengalir ke sungai,
situ atau waduk. Sebagian besar menjadi genangan-genangan air yang apabila
volumeya sudah tidak dapat tertampung oleh sungai, situ dan waduk yang ada maka
akan terjadi banjir baik berupa banjir genangan maupun banjir luapan air.
b.
Pengaruh curah hujan
Faktor
yang berpengaruh terhadap debit puncak banjir adalah karakteristik hujan yang
meliputi jumlah hujan atau intensitas curah hujan, sebaran hujan atau distribusi
hujan dan waktu atau durasi hujan. Berdasarkan data klimatologi di kawasan DKI Jakarta,
intensitas hujan di Jakarta cukup tinggi yaitu berkisar antara 2.000 – 4.000 mm
setiap tahunnya dengan durasi yang cukup lama. Untuk wilayah hulu sungai
seperti Bogor dan sekitarnya memiliki curah hujan yang relatif lebih tinggi
dari cuah hujan Jakarta. Curah hujan ini akan menciptakan limpasan air yang
deras pada daerah tangkapan air (catchment
area) seluas 850 km2 di hulu Jakarta yang akan menambah debit
limpasan air permukaan di wilayah Jakarta dan berpotensi menimbulkan banjir.
c.
Pengaruh sedimentasi sungai, situ dan
waduk di Jakarta
Laju
sedimentasi sungai, situ dan waduk di Jakarta semakin meningkat seiring dengan
berkurangnya wilayah resapan air di daerah hulu dan tengah DAS akibat dari
meningkatnya bangunan fisik yang ada. Material hasil erosi di kawasan hulu dan
tengah daerah aliran sungai terbawa oleh alian air sungai dan air permukaan
lainnya ke wilayah hilir yang menimbulkan pendangkalan sungai di wilayah
Jakarta. Sungai dan waduk yang dangkal berarti menurunnya dimensi sungai yang
mampu untuk menampung air atau dengan kata lain daya tampung sungai semakin
menurun karena terjadi sedimentasi dan pendangkalan sungai dan waduk di Jakarta.
Apabila terjadi hujan dengan debit yang sama dengan beberapa tahun sebelumnya
namun karena daya tampung badan air (sungai, waduk atau situ) yang berkurang
maka semakin cepat terjadi luapan air sungai yang berpotensi banjir.
d.
Penurunan permukaan tanah (land subsidence)
Menurut
Penelitian Konsorsium Jakarta Coastal
Defence Strategy (JCDS) dalam Prihatin (2013), sejak 1974 hingga 2010 telah
terjadi penurunan muka tanah sekitar 4,1 meter dan diprediksi pada tahun 2030
nanti tanah Jakarta akan mengalami penurunan hingga 6,6 meter. Berdasarkan
studi Departemen Geologi ITB masih dalam Prihatin (2013), menjelaskan bahwa
setidaknya ada empat penyebab tingginya laju penurunan muka tanah di Jakarta
dan sekitarnya, yaitu dijelaskan lebih lanjut berikut ini.
1) Sifat dan Karakterisik geologi tanah di
wilayah Jakarta merupakan lapisan akumulasi endapan sedimen yang belum stabil
(terus mengalami konsolidasi) pada kawasan pantai yang berlangsung ribuan tahun
lalu dan akhirnya membentuk wilayah deta (kota delta). Karakteristik batuan
yang muda ini apabila dibebani dengan beban bangunan dan kendaraan akan terjadi
penurunan permukaan tanah.
2) Adanya beban statis (bangunan) dan
dinamis (beban bergerak seperti kendaraan bermotor) yang mempercepat terjadinya
proses pemadatan lapisan tanah.
3)
Adanya gaya tektonis yang menyebabkan
getaran dan pergerakan lapisan kulit bumi/tanah yang juga dapat menyebabkan
terjadinya penurunan muka tanah.
4) Adanya pengambilan air tanah (ekstraksi
air tanah) secara berlebihan dan tidak terkontrol yang sudah melewati daya
dukung lingkungannya atau melebihi kemampuan pengisian kembali air tanah.
Faktor penyebab ini diduga kuat sebagai faktor dominan penyebab penurunan muka
tanah di Jakarta dan Kota-kota besar lainnya.
e.
Terjadi perubahan penggunaan lahan di
daerah hulu dan tengah Daerah Aliran Sungai
Alih
fungsi kawasan hutan dan daerah resapan air lainnya pada daerah hulu sungai
menjadi kawasan permukiman dan budidaya lainnya, seperti yang terjadi pada hulu
sungai ciliwung menurunkan tingkat infiltrasi air sehingga sebagian besar air
akan dengan cepat mengalir kearah tengah dan hilir sungai. Hal ini dibuktikan
dengan meningkatnya debit maksimum pada musim hujan dan menurunnya debit rendah
pada musim kemarau sungai Ciliwung di sekitar bendungan Katulampa.
f.
Rusaknya ekosistem sungai (kali) di
Jakarta
Keberadaan
13 kali yang melitasi Jakarta ditambah dengan dua kali di sebelah timur dan
barat Jakarta (S. Citarum dan S. Cisadane) sangat menentukan aliran air
permukaan di wilayah Jakarta. Kondisi sungai-sungai tersebut saat ini sangat
memprihatinkan karena kebanyakan berair hitam pekat atau warna lainnya, dipenuhi
sampah plastic, kaleng dan jenis sampah rumah tangga lainnya serta dialiri
limbah cair dari berbagai industri. Kondisi ini sangat berbeda dengan kondisi
sungai pada era Sunda Kelapa atau Batavia puluhan tahun yang lalu. Dengan
kondisi seperti ini menimbulkan pendangkalan dan pencemaran sungai sehingga
menurunkan laju infiltrasi air dan kecepatan air sehingga air hanya dapat
tergenang dan meluap melewati badan sungai.
6.
Penanganan
Banjir Jakarta
Kejadian
Banjir Jakarta yang rutin terjadi setiap tahunnya menyebabkan Pemerintah DKI
Jakarta dan Pemerintah Pusat sudah melakukan berbagai upaya penanggulangannya.
Langkah konkrit yang sudah dilaksanakan mulai dari mendirikan berbagai sarana
pengendali banjir seperti membangun polder, banjir kanal, tanggul, situ dan waduk;
pengerukan (normalisasi) sungai, situ dan waduk; pengaturan tata tata guna
lahan dan penyusunan master plan Jabodetabek dalam mengatasi banjir serta
sosialisasi kepada masyarakat sekitar bantaran sungai untuk selalu menjaga
lingkungan sungai.
Dari
beberapa studi dan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, dapat
dirangkum beberapa upaya sebagai langkah strategis dalam usaha penanggulangan
banjir di Jakarta, diantaranya dijelaskan lebih lanjut berikut ini.
a.
Transfer air antar-DAS (water transfer from basin to basin)
Hal ini dilaksanakan untuk kasus Jakarta
dapat dilakukan dari Ciliwung yang basah ke Cisadane (Tangerang) yang relatif
kering. Selain dapat menurunkan debit maksimum (peak discharge) dan waktu puncak (time to peak discharge) di Jakarta, upaya ini juga dapat memberi
tambahan pasokan air di wilayah Tangerang yang lebih kering. Transfer air ini
akan amat bermanfaat karena akan dapat mendorong pengembangan pertanian di
wilayah itu. Lebih jauh transformasi air dapat dilakukan antar wilayah,
sehingga risiko kebanjiran di daerah basah dapat ditekan dan dampak kekeringan
di wilayah kering dapat diminimalkan (Irianto, ).
b.
Reformasi pemilikan lahan (land reform)
untuk pertanian di bagian hulu
Reformasi pemilikan lahan pertanian amat berperan
penting dalam meningkatkan produktivitas lahan bagian di hulu. Akumulasi
pemilikan lahan kawasan hulu oleh masyarakat nonpetani akan mendorong sebagian
besar lahan tidak dibudidayakan dan cenderung mengalihfungsikan lahan pertanian
ke lahan nonbudidaya (permukiman, bangunan). Pada kondisi itu, air kurang
dihargai, karena di kawasan hulu umumnya tersedia sepanjang tahun. Sebaliknya,
bila budidaya lahan untuk pertanian berhasil dilakukan, secara langsung akan
meningkatkan apresiasi penggunaan air untuk budidaya (Irianto, ).
c.
Pelaksanaan metode Retarding basin atau pembuatan kolam-kolam retensi
Metode ini
dilakukan dengan cara pembuatan kolam-kolam retensi untuk mencegah dan
mengendapkan air dalam kolam di daerah hulu sebelum mengalir ke hilir sehingga
tingkat infiltrasi air meningkat dan sebaliknya mengurangi aliran air
permukaan. Retarding basin dibuat di
bagian tengah dan hulu kanan-kiri alur sungai-sungai yang masuk kawasan yang
akan diselamatkan dari ancaman banjir. Fungsi retarding basin selain untuk memangkas puncak banjir juga sebagai penyimpan
air untuk dilepaskan pada saat musim kemarau sekaligus untuk meningkatkan
konservasi air tanah (Maryono, 2007)
d.
Revegetasi dan Penataan Kembali fungsi
hutan di Kawasan hulu sungai
Alih fungsi kawasan
hutan menjadi permukiman dan kawasan budidaya lainnya yang selama ini
dilaksakan harus segera dihentikan. Wilayah yang sudah terlanjur dijadikan
lahan permukiman dan kawasan budidaya yang merupakan jajaran beton perlu dibuat
sumur-sumur resapan dan kolam pengendapan untuk meningkatkan laju retensi air
di daerah hulu sebelum mengalir ke wilayah hilir yang berpotensi banjir.
Revegetasi dan penataan kembali kawasan hutan juga dapat mengurangi tingkat
erosi yang menyebabkan tingginya laju sedimentasi sungai, situ dan waduk di
daerah Jakarta.
e.
Menata kembali pembangunan Jakarta
melalui penegakkan peraturan RTRW yang telah disusun.
Perlunya
penataan kembali kawasan di Jakarta. Meski kawasan hulu sudah dikelola dengan
baik, tanpa didukung pembangunan yang ramah lingkungan di kawasan Jakarta, maka
akan diperoleh hasil yang kurang maksimal. Perusakan alur sungai alamiah untuk
keperluan apa pun, harus diakhiri, bahkan, perlu dipikirkan normalisasi sungai dan
waduk di hilir untuk meningkatkan daya tampung badan air tersebut. banyak
kawasan alami banjir seperti wilayah sipadan sungai telah dijadikan lahan
permukiman warga perlu segera direlokasi ke tempat lain dan wilayah tersebut
dikembalikan sesuai fungsi asalnya.
f.
Normalisasi sungai, situ dan waduk yang
ada di Jakarta
Sebagai tempat aliran dan penampungan air yang
semakin dangkal akibat tingginya laju sedimentasi perlu dilakukan upaya
normalisasi secara rutin untuk menjaga volume penampungan air agar tidak meluap
ke wilayah sekitarnya menjadi banjir.
g.
Konsep Integral eco hydraulic (eko-hidraulik) dalam penanganan banjir
Konsep eko-hidraulik berbeda halnya dengan konsep
hiraulik murni (metode konvensional) yang selama ini dilaksanakan diantaranya
sodetan sungai, normalisasi sungai, tanggul sungai dan sebagainya. Dalam
penyelesaian banjir bertitik tolak pada penanganan bencana banjir secara
integral, sedangkan konsep konvensioanl bertitik tolak pada penanganan banjir
secara lokal akibat dari banjir.
Konsep ini memasukkan dan mengembangkan unsur
ekologi dalam penyelesaian banjir yaitu bahwa daerah aliran sungai (DAS),
wilayah sungai (WS), simpadan sungai (SS) dan badan sungai (BS) dipandang
sebagai satu kesatuan sistem dan ekologi hydraulik yang integral. Penyelesaian
banjir harus dilakukan secara integral dari hulu hingga hilir dengan menahan
atau mereteni air di DAS bagian hulu, tengan dan hilir serta menahan air di
sepanjang wilayah Sungai, simpadan sungai dan badan sungai di bagian hulu,
tengah dan hilir secara merata (Maryono, 2014).
h.
Mengurangi eksploitasi air tanah secara
berlebihan.
Laju eksploitasi
air tanah secara berlebihan perlu dikendalikan dengan berbagai upaya diataranya
melidungi daerah imbuhan air tanah untuk mencegah terjadinya penurunan
pembentukan air tanah, mengendalikan pengambilan air tanah di daerah lepasan (groundwater discharge area) untuk
mencegah penurunan ketersediaan air, menggunakan air tanah seefektif dan
seefisien mungkin, mengelola kualitas dan pengendalian pencemaran air secara
terpadu, melakukan sosialisasi pentingan pengelolaan air tanah yang
berorientasi pada pelestarian lingkungan, pengenaan pajak yang tinggi pada
hotel atau bangunan yang hanya menggunakan air tanah sebagai pemasok air
bersihnya dan berbagai upaya lainnya.
7.
Mitigasi
dan Adaptasi Banjir Jakarta
Berbagai upaya yang
telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan didukung oleh Pemerintah
Pusat berkaitan dengan pengelolaan dan penanganan bencana banjir Jakarta yang telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya merupakan langkah mitigasi bencana banjir,
yaitu bagian dari upaya pengurangan risiko bencana banjir di wilayah Jakarta. Mitigasi
dapat berupa mitigasi struktural berupa pembangunan fisik sarana dan prasarana
penanganan banjir seperti seperti membangun polder, banjir kanal, tanggul, situ
dan waduk; pengerukan (normalisasi) sungai, situ dan waduk; dan mitigasi non
struktural berupa penyusunan dan penegakkan peraturan perundangan mengenai
rencana tara ruang wilayah (RTRW), masterplan pengelolaan banjir wilayah
Jabodetabek, pengelolaan air tanah dan sosialisasi peningkatan kesadaran
masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan sungai, waduk dan situ agar
bebas dari sampah.
Langkah mitigasi yang
tidak kalah pentingnya adalah penerapan sistem pamantauan dan peringatan dini
bahaya banjir melalui berbagai cara, diantaranya pemantauan muka air di daerah
hulu sungai seperti di Bendungan katulampa. Pemantauan ini berguna untuk
memprediksi waktu tibanya aliran air di pintu air berikutnya agar dapat
memberingan peringatan kepada masyarakat di wilayah tengah dan hilir sungai.
sistem ini sudah dioperasikan di berbagai sungai yang mengalir di Jakarta
sehingga dapat mengurangi tingkar risiko banjir.
Masyarakat Jakarta
khususnya yang berada di wilayah langganan banjir seperti di daerah Pluit,
Grogol dan di daerah bantaran sungai lainnya sudah mulai beradapasi dengan
kondisi banjir yang rutin terjadi setiap tahunnya. Untuk itu masyarakat di
wilayah tersebut biasanya memiliki rumah lebih dari satu lantai, yang mana
lantai dua dijadikan tempat mengungsi apabila terjadi banjir. Jika mereka hanya
memiliki satu lantai maka minimal memiliki ruang di area atap yang diguanakan
sebagai tempat mengamankan barang berharga mereka disaat banjir.
8.
Kesimpulan
Wilayah DKI Jakarta
secara fisik memang berpotensi banjir, namun seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan pesatnya pembangunan sarana dan prasarana penunjang kehidupan
masyarakat semakin meningkatkan risiko terjadinya banjir di wilayah DKI
Jakarta.
Berbagai upaya yang
telah dilaksanakan dalam penanggulangan banjir di Jakarta memang belum terasa
maksimal mengurangi frekuensi dan dampak bencana banjir di Jakarta, untuk itu
perlu ada upaya yang lebih komprehensif dengan keterlibatan lintas sektor dan
lintas wilayah adminstrasi karena masalah banjir tidak terbatas pada batasan
administrasi Kota atau Provinsi tetapi merupakan masalah bersama daerah-daerah
yang termasuk dalam satu kesatuan wilayah daerah aliran sungai (DAS).
DAFTAR
PUSTAKA
BAKORNAS PB, 2007, Pengenalan Karakteristik Bencana
dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Direktorat Mitigasi Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (BAKORNAS PB),
Jakarta.
BAPPENAS. 2007. Penjelasan Menteri Negara PPN/Kepala
BAPPENAS tentang Hasil Penilaian Kerusakan dan Kerugian Pascabencana Banjir
awal Februari 2007 di Wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
dan Bekasi). BAPPENAS. Jakarta.
Gunawan, Restu. 2010, Gagalnya Sistem Kanal:
Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Maryono, Agus. 2014. Menangani Banjir, Kekeringan
dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Prihatin, Rohani Budi. 2013. Banjir Jakarta: Warisan
Alam dan Upaya Pengendalian. INSISTPress. Yogyakarta.
ISDR, 2009, UNISDR Terminology on Disaster Risk
Reduction, United Nations International Strategy for Disaster Reduction
(UNISDR), Geneva.
Akses Internet
, 2013. 8 Peristiwa
Banjir Besar Yang Pernah Terjadi di Jakarta, https://www.harusbaca.com,
diakses tanggal 23 Juni 2015.
,
2014. Karakteristik Hidrologi Jakarta, http://jakartapedia.bpadjakarta.net, diakses
tanggal 21 Juni 2015
Irianto, Gatot. , Orang Jakara Tenggelamkan Jakarta, https://bebasbanjir2025.wordpress.com/artikel-tentang-banjir/gatot-irianto/, diakses tanggal 23 Juni 2015.
Maryono, Agus. 2007. “Retarding Basin” dan Banjir
Jakarta, https://bebasbanjir2025.wordpress.com/artikel-tentang-banjir/agus-maryono/, diakses tanggal 22 Juni 2015.
No comments:
Post a Comment