Manajemen Bencana

Tuesday, December 1, 2015

Bencana Hidrometeorologi, Kasus Bencana Banjir di DKI Jakarta

BENCANA HIDROMETEOROLOGI
Kasus Bencana Banjir di DKI Jakarta


1.        Latar Belakang
Ancaman (hazards) suatu bencana menurut UN-ISDR dalam BAKORNAS (2007), dibedakan menjadi lima kelompok yaitu : bahaya beraspek geologi (gempabumi, tsunami, gunungapi, tanah longsor dan lain sebagainya), bahaya beraspek hidrometeorologi (banjir, kekeringan, angin topan, gelombang pasang dan lain sebagainya), bahaya beraspek biologi (wabah penyakit, hama/penyakit tanaman dan hewan, dan lain sebagainya), bahaya beraspek teknologi (kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi dan lain sebagainya), bahaya beraspek lingkungan (kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah). Ancaman bahaya hidrometeorologis merupakan proses atau fenomena yang bersifat atmosferik, hidrologis atau oseanografis yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak-dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan (UNISDR, 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang termasuk ancaman bahaya hidrometeorologis diantaranya siklon tropis, badai petir, badai es, tornado, badai salju, dan gelombang badai pesisir, banjir kekeringan, gelombang panas dan gelombang dingin. 
Besar kecilnya kejadian bencana tidak hanya tergantung dari besar kecilnya kekuatan ancaman bencana yang ada tetapi juga tergantung dari kondisi dan respon masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Secara teoritis tingkat kejadian bencana diistilahkan sebagai tingkat risiko bencana, yang merupakan fungsi dari ancaman (bahaya) bencana, kerentanan dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Semakin tinggi tingkat ancaman (bahaya) pada suatu daerah yang dikuti dengan tingginya kerentanan masyarakat dan rendahnya kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana maka akan menyebabkan peningkatan risiko bencana, begitu juga sebaliknya apabila ancaman bencana tinggi, namun tingkat kerentanan masyarakat rendah dan tingkat kapasitas  masyarakat dalam menghadapi bencana tinggi maka tingkat risiko bencana menjadi semakin kecil.
Ancaman bencana hidrometeorologis yang banyak terjadi di Indonesia yaitu banjir dan kekeringan. Pada intinya kedua bencana ini mempunyai subyek penyebab yang sama yaitu masalah air, jika bencana banjir berkaitan dengan kelebihan pasokan air pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu sedangkan bencana kekeringan berkaitan dengan kekurangan pasokan air pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami bencana hidrometeorologis dengan tingkat kerugian secara ekonomi tinggi adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dengan kejadian bencana banjir yang hampir rutin terjadi setiap tahunnya. Sesuai data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui www.dibi.bnpb.go.id, jumlah kejadian bencana banjir di DKI Jakarta dalam kurun waktu 2011 sampai dengan 2015 ini sejumlah 84 kejadian, dengan jumlah kerugian triliunan rupiah.
Tingginya jumlah kejadian banjir di wilayah DKI Jakarta menjadikan banjir merupakan peristiwa rutin dan biasa dialami masyarakat Jakarta yang sebagian besar wilayahnya sudah terisi dengan bangunan. Untuk itu setiap kali musim penghujan pasti terjadi banjir, air hujan sudah tidak dapat meresap kedalam tanah dengan baik. Akibatnya sebagian besar air menjadi air permukaan dan mengalir melalui sungai-sungai yang ada dan terbuang percuma ke laut, namun sebelumnya menggenangi lahan permukiman dan jalanan menimbulkan banjir dan dampak ikutannya. DKI Jakarta sebagai Ibukota negara sekaligus sebagai Ibukota pemerintahan tentunya menjadi pusat aktifitas perekonomian yang mampu menarik investor menanamkan modalnya di daerah ini. Masyarakat pencari kerja dari daerah juga tertarik untuk merubah nasibnya di Jakarta. Tingginya tingkat urbanisasi di DKI Jakarta menjadikan daerah ini sebagai Provinsi dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia. Sebagian besar orang meyakini bahwa penyebab banjir yang terjadi selama ini adalah karena tekanan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang pesat yang menyebabkan alih fungsi lahan khususnya hutan dan daerah aliran sungai (DAS) menjadi permukiman dan sarana infrastruktur pendukungnya sehingga berkurangnya tingkat resapan air dan menigkatkan potensi terjadinya banjir.

2.        Keadaan Umum Jakarta
a.    Geografis dan Topografis
Secara geografis wilayah DKI Jakarta terletak antara 106022’42” BT sampai 106058’18” BT dan 5019’12” LS sampai 6023’54” LS, dengan batas-batasnya meliputi sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Luas wilayah DKI Jakarta sekitar 661.52 km2 yang terbagi dalam 5 wilayah Kota dan 1 Kabupaten yaitu Kotamadya Jakarta Pusat, Kotamadya Jakarta Timur, Kotamadya Jakarta Barat, Kotamadya Jakarta Utara, Kotamadya Jakarta Selatan dan Kabupaten Kepulauan Seribu.
Wilayah Provinsi DKI Jakarta secara topografi dikategorikan sebagai daerah yang datar dan landai. Ketinggian tanah dari pantai sampai ke banjir kanal berkisar antara 0 m sampai 10 m di atas permukaan laut diukur dari titik nol Tanjung Priok. sedangkan dari banjir kanal sampai batas paling Selatan di wilayah Provinsi DKI Jakarta antara 5 m sampai 50 m di atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan daerah rawa atau daerah yang selalu tergenang air pada musim hujan. Di daerah bagian Selatan banjir kanal terdapat perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 m sampai 75 m di atas permukaan laut.

b.   Geologi dan Hidrologi
Jakarta terletak pada daerah cekungan air tanah (CAT) yang dikenal dengan nama CAT Jakarta. Seluruh dataran wilayah Jakarta terdiri dari endapan alluvial pada zaman Pleistosen setebal ± 50 m. bagian selatan terdiri dari lapisan alluvial yang memanjang dari Timur ke Barat pada jarak 10 km sebelah selatan pantai. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua. Kekuatan tanah di wilayah Jakarta mengikuti pola yang sama dengan pencapaian lapisan keras di wilayah bagian utara pada kedalaman 10 m – 25 m. makin keselatan permukaan keras semakin dangkal yaitu antara 8 – 15 m.
Sebagian besar wilayah DKI Jakarta adalah dataran yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut. Kota ini dialiri oleh 13 sungai yang bermuara di Laut Jawa, 15 buah Situ dan 58 buah Waduk, yang sebagian besar kondisinya saat ini sudah memprihatinkan, bahkan ada yang sudah direklamasi dan telah dirubah fungsinya. Pada awalnya sungai-sungai ini merupakan saluran irigasi pertanian masyarakat Jakarta, namun kondisi saat ini kebanyakan lahan pertanian telah diubah fungsinya menjadi permukiman, lahan industri, perekonomian dan lain sebagainya. Peta sebaran sungai sungai dan sistem tata air di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Sebaran sungai dan Sistem tata air di Provinsi DKI Jakarta

c.    Demografis
Jakarta merupakan kota dengan jumlah penduduk tertinggi di Indonesia dan jumlah ini terus bertambah karena daya tarik kota ini sebagai pusat pemerintahan sekaligus perekonomian. Jumlah penduduk DKI Jakarta dari tahun 2000 terus meningkat sampai tahun 2014 dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata diatas 2 % setiap tahunnya. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Jakarta sejumlah 8.347.083 jiwa meningkat menjadi 10.075.300 jiwa pada tahun 2014 dengan kepadatan penduduk 15.230 jiwa/km2. Perkembangan penduduk yang sangat tinggi menyebabkan tumbuhnya permukiman baru yang tidak tertata dengan baik. Kepadatan penduduk terbukti telah melampaui daya dukung struktur dan lingkungannya. Tingkat pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan sehingga menyebabkan sebagian masyarakat mendirikan tempat tinggal di bantaran kali, saluran-saluran dank anal-kanal yang telah dibuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.   

d.   Iklim
Iklim merupakan hasil pengamatan cuaca dalam jangka waktu relatif lama (misalnya 25 tahun). iklim mempunyai hubungan dengan posisi atau letak wilayah dari garis katulistiwa dan ketinggian tempat di permumukaan bumi. Secara umum iklim di wilayah DKI Jakarta hampir sama dengan wilayah lainnya di Indonesia yaitu beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Menurut klasifikasi iklim Schmit Ferguson, wilayah DKI Jakarta termasuk tipe iklim C dan D dengan curah hujan rata-rata sepanjang tahun 2.000 mm. Wilayah ini termasuk darah tropis beriklim panas dengan suhu rata-rata 270 C per tahunnya dengan kelembaban antara 80% sampai 90%. Temperature tahunan maksimum 320 C dan minimum 220 C.   

3.        Bencana Banjir
Pengertian banjir menurut BAKORNAS (2007), yaitu banjir merupakan aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah disisi sungai. Aliran air limpasan tersebut yang semakin meninggi, mengalir dan melimpasi muka tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air. Terdapat berbagai macam banjir yang ditentukan dari penyebabnya yaitu antara lain dijelaskan lebih lanjut berikut ini.
a.    Banjir air
Banjir air merupakan banjir yang sudah umum terjadi di berbagai wilayah. Penyebab banjir ini adalah meluapnya air sungai, danau, atau selokan sehingga air akan meluber lalu menggenangi daratan. Umumnya banjir seperti ini disebabkan oleh hujan yang turun terus-menerus sehingga sungai atau danau tidak mampu lagi menampung air.
b.    Banjir bandang
  Banjir ini merupakan banjir yang terjadi secara tiba-tiba dengan jangka waktu yang relatif cepat. Materialnya tidak hanya materi air, tetapi juga mengangkut material air bercampur tanah, lumpur, batuan, batang kayu dan lain sebagainya. Banjir bandang mampu menghanyutkan apapun, karena itu daya rusaknya sangat tinggi. Banjir ini biasa terjadi di area dekat pegunungan, dimana tanah pegunungan seolah longsor karena air hujan lalu ikut terbawa air ke daratan yang lebih rendah. Biasanya banjir bandang ini akan menghanyutkan sejumlah pohon-pohon hutan atau batu-batu berukuran besar.
c.    Banjir rob (laut pasang)
     Banjir rob merupakan banjir yang disebabkan oleh pasangnya air laut. Umumnya air laut akan menahan air sungai yang sudah menumpuk, akhirnya mampu menjebol tanggul dan menggenangi daratan. Banjir ini terjadi di kawasan pesisir dengan topografi landai dan beda tinggi hanya beberapa meter diatas permukaan laut normal sehingga apabila terjadi kenaikan muka air laut maka akan menggenangi wilayah pantai.
d.   Banjir lahar dingin
    Banjir jenis ini biasanya hanya terjadi ketika erupsi gunung berapi. Erupsi ini kemudian mengeluarkan lahar dingin dari puncak gunung dan mengalir ke daratan yang ada di bawahnya. Lahar dingin ini mengakibatkan pendangkalan sungai, sehingga air sungai akan mudah meluap dan dapat meluber ke pemukiman warga.
e.    Banjir lumpur
Banjir lumpur ini identik dengan peristiwa banjir Lapindo di daerah Sidoarjo. Banjir ini mirip banjir bandang, tetapi lebih disebabkan oleh keluarnya lumpur dari dalam bumi dan menggenangi daratan. Lumpur yang keluar dari dalam bumi bukan merupakan lumpur biasa, tetapi juga mengandung bahan dan gas kimia tertentu yang berbahaya.
Banjir yang selama ini terjadi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya hanya berupa banjir air dan banjir rob. Untuk makalah ini lebih dititikberatkan pada bencana banjir air dan upaya penanggulangannya. Pada umumnya banjir air disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di atas normal, sehingga sistim pengaliran air yang berupa sungai dan anak sungai alamiah serta sistem saluran drainase dan kanal penampung banjir buatan tidak mampu menampung akumulasi air hujan tersebut sehingga meluap.

4.        Sejarah kejadian banjir besar di Jakarta
Sesuai catatan sejarah, telah terjadi beberapa kali kejadian banjir di Jakarta yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian materal yang besar. Beberapa kejadian banjir besar malah pernah terjadi pada waktu penjajahan Belanda di wilayah Jakarta yang dahulunya dikenal sebagai Sunda Kelapa atau Batavia. Diantara kejadian bencana banjir besar yang pernah terjadi, ada 8 kejadian banjir besar yang diuraikan lebih lanjut berikut ini.
a.    Banjir besar tahun 1918
Banjir ini melumpuhkan Batavia. Gubernur Jenderal Batavia saat itu sampai menunjuk arsitek khusus untuk mengangani banjir yang merendam permukiman warga karena limpasan air dari sungai Ciliwung, Cisadane, Angke dan Bekasi. Akibat banjir, sarana transportasi, termasuk lintasan trem listrik terendam air. Banjir pada tahun itu merupakan yang terparah dalam dua dekade terakhir.
b.    Banjir besar tahun 1976
Banjir besar di Jakarta terjadi pada Februari 1976. Jakarta Pusat menjadi wilayah terparah dalam banjir, lebih dari 200.000 jiwa diungsikan. Banjir pada tahun itu membuat Jakarta sangat terpuruk dalam menghadapi musibah tahunan ini.
c.    Banjir besar tahun 1979
Banjir besar tahun 1979 terjadi pada era pemerintahan Gubernur Tjokropranolo. Air menggenangi wilayah permukiman dengan luas mencapai 1.100 ha. Banjir yang disebabkan hujan lokal dan banjir kiriman itu merendam permukiman penduduk.
d.   Banjir besar tahun 1984
Memasuki tahun 1980-an persoalan banjir terus berlanjut. Pada tahun 1984 terjadi banjir Jakarta dalam dua musim, yaitu pada bulan Januari, Mei, Agustus dan Sepember 1984. Luapan sungai Grogol dan sungai Sekretaris meluap. Sekitar 10 RW di kawasan Palmerah terendam air setinggi 60 cm. Dampak banjir pada tahun itu meluas dan terasa di Jakarta Timur, Barat dan Pusat. Jumlah total korban tercatat 8.596 Kepala keluarga. 
e.    Banjir besar tahun 1996
Pada tanggal 6 – 9 Januari 1996, Jakarta terendam banjir setelah hujan dua hari. Sebulan kemudian tanggal 9 – 13 Februari terjadi banjir kembali dengan tinggi genangan mencapai 7 meter, karena curah hujan lima kali lipat dari curah hujan normal selama kurang lebih tiga hari. Korban mencapai 20 jiwa dan sekitar 30.000 jiwa pengungsi.
f.     Banjir besar tahun 1997
Banjir besar kemudian terjadi pada 13 Januari 1997. Hujan deras selama dua hari menyebabkan 4 kelurahan di Jakarta Timur tergenang akibat luapan sungai Cipinang, 754 rumah, 2.640 jiwa terendam air sekitar 80 cm. selain itu beberapa jalan utama di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat lumpuh akibat banjir. Sarana telekomunikasi dan listrik juga mati total akibat banjir ini.
g.    Banjir besar tahun 2007
Pada bulan Februari 1997 terjadi banjir karena curah hujan tinggi sejak 1 Februari sampai satu minggu berikutnya. Banjir melanda sebagian besar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Jumlah korban jiwa mencapai 80 orang selama 10 hari banjir karena terseret arus, tersengat listrik atau sakit. Jumlah pengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007. Perkirakan total nilai kerusakan dan kerugiannya mencapai Rp. 5,2 triliun, belum termasuk kerugian ekonomi yang dialami oleh sektor usaha dan asuransi yang diperkirakan senilai 400 juta USD atau setara dengan Rp3,6 triliun selama 7-10 hari terjadinya bencana banjir di wilayah Jabodetabek ini (BAPPENAS, 2007).
h.    Banjir besar tahun 2013
Banjir besar tahun 2013 di Jakarta mengakibatkan 20 korban jiwa dan 33.500 orang mengungsi pada Januari hingga Februari 2013. Banjir ini sampai melumpuhkan pusat kota, air menggenangi kawasan Sudirman dan kawasan sekitar Bundaran Hotel Indonesia akibat luapan air ditanggul kali Cipinang. Diperkirakan banjir ini menyebabkan kerugian hingga mencapai Rp. 20 triliun. 

5.        Penyebab Banjir Jakarta
Banjir yang terjadi di Jakarta setiap tahunnya sudah menjadi hal biasa dan dianggap tidak ada masalah bagi sebagian orang, namun sebenarnya kejadian banjir mengganggu dan merugikan kepentingan setiap orang hanya tingkat kerugiannya yang berbeda-beda tergantung dari kepentingan masing-masing. Secara umum penyebab banjir yang terjadi di Jakarta disebabkan faktor alamiah dan faktor manusia. Beberapa penyebab banjir di wilayah DKI Jakarta diantaranya dapat dirinci berikut ini.
a.    Pengaruh Kondisi fisik alamiah
Secara geografis wilayah Jakarta merupakan wilayah dataran rendah sebagai daerah hilir atau muara dari belasan sungai yang melintasinya. 13 Sungai yang melintasi wilayah DKI Jakarta seperti kali Ciliwung, kali Baru timur, Kali Cipinang, Kali Grogol, Kali Pesanggrahan dan lainnya serta diapit oleh sungai Citarum di sebelah timur dan sungai Cisadane di sebelah barat sebagian besar hulunya masuk wilayah adminsitrasi daerah lain seperti Bogor, Bekasi, Tangerang dan sekitarnya yang merupakan wilayah dataran tinggi yang senantiasa mengalirkan air ke dataran rendah di wilayah Jakarta. Aliran air dari hulu apabila tidak dapat ditampung oleh badan sungai yang ada maka berpotensi terjadi banjir di Jakarta.
Secara topografis, wilayah Jakarta yang landai dengan kemiringan tanah relatif datar menimbulkan aliran air hujan sebagian besar tidak maksimal mengalir ke sungai, situ atau waduk. Sebagian besar menjadi genangan-genangan air yang apabila volumeya sudah tidak dapat tertampung oleh sungai, situ dan waduk yang ada maka akan terjadi banjir baik berupa banjir genangan maupun banjir luapan air.
b.    Pengaruh curah hujan
Faktor yang berpengaruh terhadap debit puncak banjir adalah karakteristik hujan yang meliputi jumlah hujan atau intensitas curah hujan, sebaran hujan atau distribusi hujan dan waktu atau durasi hujan. Berdasarkan data klimatologi di kawasan DKI Jakarta, intensitas hujan di Jakarta cukup tinggi yaitu berkisar antara 2.000 – 4.000 mm setiap tahunnya dengan durasi yang cukup lama. Untuk wilayah hulu sungai seperti Bogor dan sekitarnya memiliki curah hujan yang relatif lebih tinggi dari cuah hujan Jakarta. Curah hujan ini akan menciptakan limpasan air yang deras pada daerah tangkapan air (catchment area) seluas 850 km2 di hulu Jakarta yang akan menambah debit limpasan air permukaan di wilayah Jakarta dan berpotensi menimbulkan banjir.
c.    Pengaruh sedimentasi sungai, situ dan waduk di Jakarta
Laju sedimentasi sungai, situ dan waduk di Jakarta semakin meningkat seiring dengan berkurangnya wilayah resapan air di daerah hulu dan tengah DAS akibat dari meningkatnya bangunan fisik yang ada. Material hasil erosi di kawasan hulu dan tengah daerah aliran sungai terbawa oleh alian air sungai dan air permukaan lainnya ke wilayah hilir yang menimbulkan pendangkalan sungai di wilayah Jakarta. Sungai dan waduk yang dangkal berarti menurunnya dimensi sungai yang mampu untuk menampung air atau dengan kata lain daya tampung sungai semakin menurun karena terjadi sedimentasi dan pendangkalan sungai dan waduk di Jakarta. Apabila terjadi hujan dengan debit yang sama dengan beberapa tahun sebelumnya namun karena daya tampung badan air (sungai, waduk atau situ) yang berkurang maka semakin cepat terjadi luapan air sungai yang berpotensi banjir.
d.   Penurunan permukaan tanah (land subsidence)
Menurut Penelitian Konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) dalam Prihatin (2013), sejak 1974 hingga 2010 telah terjadi penurunan muka tanah sekitar 4,1 meter dan diprediksi pada tahun 2030 nanti tanah Jakarta akan mengalami penurunan hingga 6,6 meter. Berdasarkan studi Departemen Geologi ITB masih dalam Prihatin (2013), menjelaskan bahwa setidaknya ada empat penyebab tingginya laju penurunan muka tanah di Jakarta dan sekitarnya, yaitu dijelaskan lebih lanjut berikut ini.
1) Sifat dan Karakterisik geologi tanah di wilayah Jakarta merupakan lapisan akumulasi endapan sedimen yang belum stabil (terus mengalami konsolidasi) pada kawasan pantai yang berlangsung ribuan tahun lalu dan akhirnya membentuk wilayah deta (kota delta). Karakteristik batuan yang muda ini apabila dibebani dengan beban bangunan dan kendaraan akan terjadi penurunan permukaan tanah.
2)  Adanya beban statis (bangunan) dan dinamis (beban bergerak seperti kendaraan bermotor) yang mempercepat terjadinya proses pemadatan lapisan tanah.
3)   Adanya gaya tektonis yang menyebabkan getaran dan pergerakan lapisan kulit bumi/tanah yang juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah.
4)  Adanya pengambilan air tanah (ekstraksi air tanah) secara berlebihan dan tidak terkontrol yang sudah melewati daya dukung lingkungannya atau melebihi kemampuan pengisian kembali air tanah. Faktor penyebab ini diduga kuat sebagai faktor dominan penyebab penurunan muka tanah di Jakarta dan Kota-kota besar lainnya.
e.    Terjadi perubahan penggunaan lahan di daerah hulu dan tengah Daerah Aliran Sungai
Alih fungsi kawasan hutan dan daerah resapan air lainnya pada daerah hulu sungai menjadi kawasan permukiman dan budidaya lainnya, seperti yang terjadi pada hulu sungai ciliwung menurunkan tingkat infiltrasi air sehingga sebagian besar air akan dengan cepat mengalir kearah tengah dan hilir sungai. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya debit maksimum pada musim hujan dan menurunnya debit rendah pada musim kemarau sungai Ciliwung di sekitar bendungan Katulampa.
f.     Rusaknya ekosistem sungai (kali) di Jakarta
Keberadaan 13 kali yang melitasi Jakarta ditambah dengan dua kali di sebelah timur dan barat Jakarta (S. Citarum dan S. Cisadane) sangat menentukan aliran air permukaan di wilayah Jakarta. Kondisi sungai-sungai tersebut saat ini sangat memprihatinkan karena kebanyakan berair hitam pekat atau warna lainnya, dipenuhi sampah plastic, kaleng dan jenis sampah rumah tangga lainnya serta dialiri limbah cair dari berbagai industri. Kondisi ini sangat berbeda dengan kondisi sungai pada era Sunda Kelapa atau Batavia puluhan tahun yang lalu. Dengan kondisi seperti ini menimbulkan pendangkalan dan pencemaran sungai sehingga menurunkan laju infiltrasi air dan kecepatan air sehingga air hanya dapat tergenang dan meluap melewati badan sungai.          

6.        Penanganan Banjir Jakarta
Kejadian Banjir Jakarta yang rutin terjadi setiap tahunnya menyebabkan Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat sudah melakukan berbagai upaya penanggulangannya. Langkah konkrit yang sudah dilaksanakan mulai dari mendirikan berbagai sarana pengendali banjir seperti membangun polder, banjir kanal, tanggul, situ dan waduk; pengerukan (normalisasi) sungai, situ dan waduk; pengaturan tata tata guna lahan dan penyusunan master plan Jabodetabek dalam mengatasi banjir serta sosialisasi kepada masyarakat sekitar bantaran sungai untuk selalu menjaga lingkungan sungai.  
Dari beberapa studi dan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, dapat dirangkum beberapa upaya sebagai langkah strategis dalam usaha penanggulangan banjir di Jakarta, diantaranya dijelaskan lebih lanjut berikut ini.  
a.    Transfer air antar-DAS (water transfer from basin to basin)
   Hal ini dilaksanakan untuk kasus Jakarta dapat dilakukan dari Ciliwung yang basah ke Cisadane (Tangerang) yang relatif kering. Selain dapat menurunkan debit maksimum (peak discharge) dan waktu puncak (time to peak discharge) di Jakarta, upaya ini juga dapat memberi tambahan pasokan air di wilayah Tangerang yang lebih kering. Transfer air ini akan amat bermanfaat karena akan dapat mendorong pengembangan pertanian di wilayah itu. Lebih jauh transformasi air dapat dilakukan antar wilayah, sehingga risiko kebanjiran di daerah basah dapat ditekan dan dampak kekeringan di wilayah kering dapat diminimalkan (Irianto,       ).
b.    Reformasi pemilikan lahan (land reform) untuk pertanian di bagian hulu
     Reformasi pemilikan lahan pertanian amat berperan penting dalam meningkatkan produktivitas lahan bagian di hulu. Akumulasi pemilikan lahan kawasan hulu oleh masyarakat nonpetani akan mendorong sebagian besar lahan tidak dibudidayakan dan cenderung mengalihfungsikan lahan pertanian ke lahan nonbudidaya (permukiman, bangunan). Pada kondisi itu, air kurang dihargai, karena di kawasan hulu umumnya tersedia sepanjang tahun. Sebaliknya, bila budidaya lahan untuk pertanian berhasil dilakukan, secara langsung akan meningkatkan apresiasi penggunaan air untuk budidaya (Irianto,       ).
c.    Pelaksanaan metode Retarding basin atau pembuatan kolam-kolam retensi
Metode ini dilakukan dengan cara pembuatan kolam-kolam retensi untuk mencegah dan mengendapkan air dalam kolam di daerah hulu sebelum mengalir ke hilir sehingga tingkat infiltrasi air meningkat dan sebaliknya mengurangi aliran air permukaan. Retarding basin dibuat di bagian tengah dan hulu kanan-kiri alur sungai-sungai yang masuk kawasan yang akan diselamatkan dari ancaman banjir. Fungsi retarding basin selain untuk memangkas puncak banjir juga sebagai penyimpan air untuk dilepaskan pada saat musim kemarau sekaligus untuk meningkatkan konservasi air tanah (Maryono, 2007)
d.   Revegetasi dan Penataan Kembali fungsi hutan di Kawasan hulu sungai
Alih fungsi kawasan hutan menjadi permukiman dan kawasan budidaya lainnya yang selama ini dilaksakan harus segera dihentikan. Wilayah yang sudah terlanjur dijadikan lahan permukiman dan kawasan budidaya yang merupakan jajaran beton perlu dibuat sumur-sumur resapan dan kolam pengendapan untuk meningkatkan laju retensi air di daerah hulu sebelum mengalir ke wilayah hilir yang berpotensi banjir. Revegetasi dan penataan kembali kawasan hutan juga dapat mengurangi tingkat erosi yang menyebabkan tingginya laju sedimentasi sungai, situ dan waduk di daerah Jakarta.
e.    Menata kembali pembangunan Jakarta melalui penegakkan peraturan RTRW yang telah disusun.
     Perlunya penataan kembali kawasan di Jakarta. Meski kawasan hulu sudah dikelola dengan baik, tanpa didukung pembangunan yang ramah lingkungan di kawasan Jakarta, maka akan diperoleh hasil yang kurang maksimal. Perusakan alur sungai alamiah untuk keperluan apa pun, harus diakhiri, bahkan, perlu dipikirkan normalisasi sungai dan waduk di hilir untuk meningkatkan daya tampung badan air tersebut. banyak kawasan alami banjir seperti wilayah sipadan sungai telah dijadikan lahan permukiman warga perlu segera direlokasi ke tempat lain dan wilayah tersebut dikembalikan sesuai fungsi asalnya.
f.     Normalisasi sungai, situ dan waduk yang ada di Jakarta
Sebagai tempat aliran dan penampungan air yang semakin dangkal akibat tingginya laju sedimentasi perlu dilakukan upaya normalisasi secara rutin untuk menjaga volume penampungan air agar tidak meluap ke wilayah sekitarnya menjadi banjir.
g.    Konsep Integral eco hydraulic (eko-hidraulik) dalam penanganan banjir
Konsep eko-hidraulik berbeda halnya dengan konsep hiraulik murni (metode konvensional) yang selama ini dilaksanakan diantaranya sodetan sungai, normalisasi sungai, tanggul sungai dan sebagainya. Dalam penyelesaian banjir bertitik tolak pada penanganan bencana banjir secara integral, sedangkan konsep konvensioanl bertitik tolak pada penanganan banjir secara lokal akibat dari banjir.
Konsep ini memasukkan dan mengembangkan unsur ekologi dalam penyelesaian banjir yaitu bahwa daerah aliran sungai (DAS), wilayah sungai (WS), simpadan sungai (SS) dan badan sungai (BS) dipandang sebagai satu kesatuan sistem dan ekologi hydraulik yang integral. Penyelesaian banjir harus dilakukan secara integral dari hulu hingga hilir dengan menahan atau mereteni air di DAS bagian hulu, tengan dan hilir serta menahan air di sepanjang wilayah Sungai, simpadan sungai dan badan sungai di bagian hulu, tengah dan hilir secara merata (Maryono, 2014).
h.    Mengurangi eksploitasi air tanah secara berlebihan.
Laju eksploitasi air tanah secara berlebihan perlu dikendalikan dengan berbagai upaya diataranya melidungi daerah imbuhan air tanah untuk mencegah terjadinya penurunan pembentukan air tanah, mengendalikan pengambilan air tanah di daerah lepasan (groundwater discharge area) untuk mencegah penurunan ketersediaan air, menggunakan air tanah seefektif dan seefisien mungkin, mengelola kualitas dan pengendalian pencemaran air secara terpadu, melakukan sosialisasi pentingan pengelolaan air tanah yang berorientasi pada pelestarian lingkungan, pengenaan pajak yang tinggi pada hotel atau bangunan yang hanya menggunakan air tanah sebagai pemasok air bersihnya dan berbagai upaya lainnya.  

7.        Mitigasi dan Adaptasi Banjir Jakarta
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan didukung oleh Pemerintah Pusat berkaitan dengan pengelolaan dan penanganan bencana banjir Jakarta yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya merupakan langkah mitigasi bencana banjir, yaitu bagian dari upaya pengurangan risiko bencana banjir di wilayah Jakarta. Mitigasi dapat berupa mitigasi struktural berupa pembangunan fisik sarana dan prasarana penanganan banjir seperti seperti membangun polder, banjir kanal, tanggul, situ dan waduk; pengerukan (normalisasi) sungai, situ dan waduk; dan mitigasi non struktural berupa penyusunan dan penegakkan peraturan perundangan mengenai rencana tara ruang wilayah (RTRW), masterplan pengelolaan banjir wilayah Jabodetabek, pengelolaan air tanah dan sosialisasi peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan sungai, waduk dan situ agar bebas dari sampah.
Langkah mitigasi yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan sistem pamantauan dan peringatan dini bahaya banjir melalui berbagai cara, diantaranya pemantauan muka air di daerah hulu sungai seperti di Bendungan katulampa. Pemantauan ini berguna untuk memprediksi waktu tibanya aliran air di pintu air berikutnya agar dapat memberingan peringatan kepada masyarakat di wilayah tengah dan hilir sungai. sistem ini sudah dioperasikan di berbagai sungai yang mengalir di Jakarta sehingga dapat mengurangi tingkar risiko banjir.
Masyarakat Jakarta khususnya yang berada di wilayah langganan banjir seperti di daerah Pluit, Grogol dan di daerah bantaran sungai lainnya sudah mulai beradapasi dengan kondisi banjir yang rutin terjadi setiap tahunnya. Untuk itu masyarakat di wilayah tersebut biasanya memiliki rumah lebih dari satu lantai, yang mana lantai dua dijadikan tempat mengungsi apabila terjadi banjir. Jika mereka hanya memiliki satu lantai maka minimal memiliki ruang di area atap yang diguanakan sebagai tempat mengamankan barang berharga mereka disaat banjir.      

8.        Kesimpulan
Wilayah DKI Jakarta secara fisik memang berpotensi banjir, namun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan sarana dan prasarana penunjang kehidupan masyarakat semakin meningkatkan risiko terjadinya banjir di wilayah DKI Jakarta.
Berbagai upaya yang telah dilaksanakan dalam penanggulangan banjir di Jakarta memang belum terasa maksimal mengurangi frekuensi dan dampak bencana banjir di Jakarta, untuk itu perlu ada upaya yang lebih komprehensif dengan keterlibatan lintas sektor dan lintas wilayah adminstrasi karena masalah banjir tidak terbatas pada batasan administrasi Kota atau Provinsi tetapi merupakan masalah bersama daerah-daerah yang termasuk dalam satu kesatuan wilayah daerah aliran sungai (DAS).


DAFTAR PUSTAKA


BAKORNAS PB, 2007, Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Direktorat Mitigasi Badan Koordinasi  Nasional Penanganan Bencana (BAKORNAS PB), Jakarta.
BAPPENAS. 2007. Penjelasan Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS tentang Hasil Penilaian Kerusakan dan Kerugian Pascabencana Banjir awal Februari 2007 di Wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). BAPPENAS. Jakarta.
Gunawan, Restu. 2010, Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Maryono, Agus. 2014. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Prihatin, Rohani Budi. 2013. Banjir Jakarta: Warisan Alam dan Upaya Pengendalian. INSISTPress. Yogyakarta.
ISDR, 2009, UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction, United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), Geneva.
  
Akses Internet
                     , 2013. 8 Peristiwa Banjir Besar Yang Pernah Terjadi di Jakarta, https://www.harusbaca.com, diakses tanggal 23 Juni 2015.
                     , 2014. Karakteristik Hidrologi Jakarta, http://jakartapedia.bpadjakarta.net, diakses tanggal 21 Juni 2015
BNPB, 2015, data informasi bencana Indonesia, www.dibi.bnpb.go.id, diakses 22 Juni 2015
Irianto, Gatot.        , Orang Jakara Tenggelamkan Jakarta, https://bebasbanjir2025.wordpress.com/artikel-tentang-banjir/gatot-irianto/, diakses tanggal 23 Juni 2015.

Maryono, Agus. 2007. “Retarding Basin” dan Banjir Jakarta, https://bebasbanjir2025.wordpress.com/artikel-tentang-banjir/agus-maryono/, diakses tanggal 22 Juni 2015. 

Sunday, November 29, 2015

Mitigasi Kerusakan Pesisir Akibat Penambangan Pasir di Kabupaten Alor

MITIGASI DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN PESISIR AKIBAT KEGIATAN PENAMBANGAN PASIR PANTAI DI KABUPATEN ALOR


1.        LATAR BELAKANG
Pemerintah Indonesia telah menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah sejak awal tahun 2000an, untuk itu setiap daerah berlomba-lomba mengelola sumber daya alam yang dimilikinya demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya masing-masing. Hal yang sama dilaksanakan juga oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Alor, sebagai salah satu daerah otonomi berstatus Kabupaten di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang secara nasional masih tergolong kabupaten tertinggal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka Kabupaten Alor merupakan salah satu dari 112 kabupaten/Kota perbatasan, salah satu dari 183 Kabupaten Tertinggal, salah satu dari 92 Pulau-pulau kecil, terpencil, terluar, terdepan, salah satu dari Kabupaten yang rawan gempa tektonik kategori bahaya 2 dan salah satu dari 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (RPJMD Kabupaten Alor 2015-2019). Sebagai kabupaten tertinggal, tentunya segala potensi sumberdaya alam yang dimiliki kabupaten Alor perlu dikelola dan dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Potensi sumberdaya alam yang terbarukan maupun tidak terbarukan tersebar diseluruh wilayah Kabupaten Alor, diantaranya meliputi potensi perikanan, pariwisata, perkebunan, pertambangan, kehutanan, sampai pada adat istiadat yang beragam dengan berbagai suku serta bahasa yang bervariasi, tentunya sebagai modal tersendiri untuk dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar-besanya kesejahterann masyarakat Kabupaten Alor.
Salah satu sumberdaya alam tidak terbarukan yang ada di Kabupaten Alor adalah potensi pertambangan yang meliputi bahan galian mineral logam seperti emas, perak, tembaga dan galena, bahan galian mineral bukan logam yang meliputi gypsum dan pasir kuarsa serta bahan galian batuan misalnya tanah liat, pasir dan batu yang sering digunakan sebagai bahan bangunan bagi masyarakat Kabupaten Alor. Hampir semua potensi pertambangan yang ada masih dalam tahapan eksplorasi atau penyelidikan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas potensi bahan mineral tersebut. Salah satu potensi pertambangan yang sudah dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat Kabupaten Alor selama ini adalah pasir dan batu untuk bahan bangunan. Potensi pasir dan batu tersebar hampir di seluruh wilayah Kecamatan di Kabupaten Alor, termasuk di pesisir pantai yang juga dijadikan lokasi pengambilan dan penambangan pasir oleh masyarakat sekitar. Penambangan pasir di pinggir pantai dapat berdampak pada kerusakan lingkungan pesir seperti meningkatnya abrasi pantai di beberapa wilayah pesisir Kabupaten Alor.
Kegiatan penambangan pasir pantai oleh masyarakat wilayah pesisir masih terus berlangsung sampai saat ini dan terjadi di beberapa wilayah yang seharusnya menjadi area larangan penambangan pasir karena disamping telah terjadi kerusakan lingkungan namun di wilayah itu juga merupakan wilayah pantai wisata yang seharusnya dijaga dan dipelihara nilai keindahannya. Gambar 1. menunjukkan kegiatan penambangan pasir pantai di salah satu wilayah pesisir Kabupaten Alor. Apabila kegiatan penambangan pasir pantai terus menerus dilakukan maka sudah dipastikan bahwa tingkat kerusakan lingkungan akan semakin meningkat dan akhirnya akan merugikan masyarakat di sekitar wilayah itu sendiri pada khususnya dan masyarakat kabupaten Alor pada umumnya.


Gambar 1. Kegiatan Penambangan pasir pantai di salah satu
wilayah pesisir Kabupaten Alor.

2.        KONDISI UMUM WILAYAH KABUPATEN ALOR
Kabupaten Alor merupakan salah satu dari 22 kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang secara tipologi wilayah termasuk wilayah kepulauan, walaupun secara yuridis bukan merupakan kabupaten kepulauan. Wilayah Kabupaten Alor terdiri dari 15 pulau dengan 9 diantaranya berpenghuni yaitu Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Pura, Pulau Tereweng, Pulau Buaya, Pulau Ternate, Pulau Kangge, Pulau Kepa dan Pulau Kura, sedangkan 6 lainnya belum berpenghuni yaitu Pulau Kapas, Pulau Lapang, Pulau Batang, Pulau Rusa, Pulau Kambing dan Pulau Sika. Wilayah Kabupaten Alor secara astronomis terletak pada 806’ Lintang Selatan – 8036’ Lintang Selatan dan 123048’ Bujur Timur - 125048’ Bujur Timur, dengan batas administrasinya meliputi sebelah utara dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Selat Ombai, sebelah timur dengan Selat Wetar dan perairan Republik Demokrat Timor Leste serta sebelah barat dengan Selat Alor. Secara administratif, Kabupaten Alor terdiri dari 17 Kecamatan, 175 Desa/Kelurahan, dengan jumlah penduduk sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 berjumlah 196.179 jiwa, dan 42.823 Kepala Keluarga, dengan kepadatan penduduk 68 jiwa per km2.
Kabupaten Alor memiliki Luas Wilayah 13.638,26 Km² yang terdiri dari daratan seluas 2.928,87 Km² dan perairan seluas 10.773,62 Km² dengan panjang garis pantai sepanjang 287,10 Km. Luas wilayah daratannya hanya kurang lebih 25% dari luas wilayah lautannya karena wilayah Kabupaten Alor yang terdiri dari beberapa pulau. Secara topografi, wilayah kabupaten Alor sebagian besar merupakan daerah dengan pegunungan yang tinggi, dibatasi oleh lembah juga jurang yang cukup dalam dan sekitar 60 persen wilayahnya mempunyai tingkat kemiringan di atas 40 persen, sedangkan sisanya merupakan wilayah dataran pantai atau dataran aluvial dan wilayah perbukitan sedang sampai tinggi.
Sebagian besar penduduk Kabupaten Alor mempunyai mata pencaharian dalam bidang pertanian lahan kering dan perikanan skala kecil sebagai petani dan nelayan, disamping itu masih ada penduduk di beberapa wilayah tertentu yang masih hidup dari lading atau kebun secara berpindah-pindah dengan cara membabat dan membakar semak belukar. Mata pencaharian sebagian kecil penduduk kabupaten Alor juga ada yang masih bersifat non permanen atau tidak tetap, tergantung dari musim, apabila musim hujan menjadi petani dengan menggarap lahan-lahan kering yang ada, namun apabila pada musim kering maka dapat berprofesi selain itu misalnya sebagai tukang ojek, nelayan, atau sebagai pengumpul pasir dan batu di pantai dan muara sungai.

3.        PENAMBANGAN PASIR DI PESISIR PANTAI KABUPATEN ALOR
Kegiatan penambangan bahan galian batuan terutama pasir di pesisir pantai terjadi di beberapa wilayah pantai Kabupaten Alor. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai tempat tinggal di sekitar wilayah pantai dengan menjadikan aktivitas penambangan pasir di pantai atau dimuara sungai sebagai salah satu mata pencaharian mereka. Kegiatan penambangan yang dilakukan merupakan kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI), karena dilakukan tanpa meperoleh Izin Usaha Pertambangan atau Izin Pertambangan Rakyat dari Bupati sesuai amanat UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan batubara. Lokasi yang dijadikan lokasi penambangan tersebut juga bukan merupakan Wilayah Pertambangan (WP) baik Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) maupun Wilayah Pertambanga Rakyat (WPR).
Saat ini terdapat beberapa lokasi penambangan bahan galian batuan berupa pasir dan batu yang terdata oleh Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor sebagai lokasi kegiatan PETI  yang tersebar di beberapa Desa dan Kecamatan (Tabel 2.1). Kegiatan penambangan telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir dan di beberapa tempat masih terus berlangsung hingga saat ini, walaupun dengan jumlah penambang yang semakin berkurang. Pada beberapa lokasi penambangan sudah dilakukan upaya penertiban kegiatan PETI oleh Pemerintah Daerah melalui berbagai macam cara yang dapat mengurangi kegiatan Penambangan pasir di wilayah pantai tersebut, namun dibeberapa tempat kegiatan penambangan masih tetap terjadi walaupun dengan intensitas dan jumlah penambang yang semakin berkurang.
Kegiatan penambangan pasir dilakukan secara tradisional dengan peraatan sederhana seperti cangkul, linggis, sekop dan lain-lain. Pelaksanaanya dilakukan dengan cara setiap orang menggali dan mengumpulkan material pasir sendiri-sendiri kemudian ditumpuk dan dijual kepada pembeli yang datang membawa kendraan truck atau mobil pick up. Ada juga beberapa orang penambang membentuk satu kelompok penambang untuk bersama-sama mengumpulkan pasir untuk dijual kepada pembeli, kemudian hasilnya dibagi bersama anggota kelompok tersebut. Walaupun kegiatan penambangan ini dilaksanakan secara sederhana namun dengan intensitas yang cukup tinggi sehingga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan pantai.    
Wilayah pesisir dengan segala sumberdaya yang dimilikinya merupakan salah satu wilayah budidaya dan diusahakan oleh penduduk kabupaten Alor yang mendiami wilayah tersebut. Wilayah Pesisir (coastal area) merupakan wilayah yang berada diantara daratan dan perairan yang berdampingan dan berhubungan dengan garis pantai, yang mana dibagian daratan dibatasi sampai dengan bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh tenaga dan atau pasang surut air laut, dan di bagian perairan laut dibatasi oleh pengaruh massa air, sedimentasi dan atau kekeruhan dari daratan (Otto S. R. Ongkosongo, 2011). Sesuai UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah pesisir dan wilayah pantai adalah dua hal yang berbeda, wilayah pantai dimulai dari titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah daratan sampai batas tertinggi pasang, dengan demikian wilayah pantai merupakan bagian dari wilayah pesisir.

Tabel 2.1. Data Kegiatan Penambangan Tanpa Izin (PETI) di Pesisir Pantai
NO
Jenis Bahan galian
Lokasi Penambangan
Wilayah
Desa, Kecamatan
1.
Pasir dan Batu
Muara sungai Kikilai
Kel. Moru, Alor barat daya
2.
Pasir
Pantai Letley dan Baumi
Lembur timur, Lembur
3.
Pasir
Pantai Maimol, Pantai Mali
Kel. Kabola, Kabola
4.
Pasir
Pantai Ilawa
Alila timur, Kabola
5.
Pasir
Pantai Deere
Pantai Deere, Kabola
6.
Pasir
Pantai Sabanjar
Alor Besar, Alor barat laut
7.
Pasir dan batu
Pantai Kokar
Kel. Adang, Alor barat laut
8.
Pasir
Pantai Weileng
Aimoli, Alor barat laut
9.
Pasir
Pantai Makasar
Alor Kecil, Alor barat laut
10.
Pasir dan batu
Pantai Likwatang
Likwatang, Alor tengah utara
11.
Pasir dan batu
Pantai Lembur barat
Lembur barat, Lembur
  Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor, 2013

Wilayah Pesisir Kabupaten Alor mempunyai beberapa nilai pemanfaatan yang ditetapkan dalam PERDA Kabupaten Alor Nomor 2 tahun 2013 tentang Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Alor Tahun 2013 – 2033 dalam hal Rencana pola ruang wilayah yang terbagi atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk kawasan lindung, wilayah pesisir sebagian besar masuk dalam kawasan perlindungan setempat berupa kawasan simpadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk kawasan budidaya, wilayah pesisir masuk dalam beberapa kategori peruntukan yaitu permukiman, perikanan dan pariwisata. Oleh karena itu di beberapa lokasi PETI dalam hal ini penambangan pasir sebenarnya bukan merupakan wilayah peruntukan pertambangan, sehingga kegiatan ini telah melanggar beberapa peraturan perundangan sekaligus.
Kegiatan penambangan pasir pantai yang dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor ekonomi berupa meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat yang tidak diimbangi dengan meningkatnya kesejahteraan mereka karena ketiadaan mata pencaharian lain yang dapat dijadikan alternatif untuk menghidupi kehidupan mereka. Selain itu faktor meningkatnya permintaan material pasir dan batu seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di Kabupaten Alor juga turut mempengaruhi minat masyarakat untuk melakukan kegiatan penambangan tersebut. faktor lain adalah kurangnya upaya penertiban kegiatan PETI melalui penegakan hukum yang masih terasa lemah sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para penambang turut mempengaruhi maraknya kegiatan penambangan pasir pantai yang sebenarnya ilegal dan dapat dikenai sangsi perdata maupun pidana kepada siapapun pelakunya.
Dengan tetap berlangsungnya kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi tentunya akan berdampak pada semakin tingginya tingkat kerusakan lingkungan yang terjadi, sehingga pada akhirnya masyarakat sekitar yang merasakan kerugian akibat dampak kerusakan lingkungan yang ada. Cepat atau lambat kegiatan penambangan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan tersebut akan berdampak pada tingginya risiko terjadinya bencana di wilayah tersebut.

4.        DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN PASIR DI PESISIR PANTAI
Kegiatan penambangan pasir pantai yang merupakan komoditas tidak terbarukan atau non renewable akan berdampak pada berbagai berbagai sektor kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar yang meliputi aspek abiotic, biotic dan cultere (ABC). Dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dampak lingkungan diartikan sebagai pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan, sementara Soemarwoto (2014) mendefinisikan dampak sebagai suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas di mana aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik, dan biologi. Dalam hal ini dampak kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai dapat memberikan pengaruh perubahan pada lingkungan, dapat berupa dampak yang bersifat biofisik dan bersifat sosial, ekonomi dan budaya.
Dampak penambangan pasir yang menimbulkan perubahan pada lingkungan dapat berupa dampak positif atau nilai manfaat dan dampak negatif atau yang merugikan. Apabila nilai dampak negatifnya lebih dominan dari dampak positifnya maka sudah sepantasnya kegiatan penambangan pasir pantai tersebut sebaiknya di hentikan demi kepentingan bersama. Dampak negatif yang kemungkinan terjadi perlu diupayakan pengelolaannya sehingga dapat dicegah, dikendalikan atau ditanggulangi dampak tersebut agar tidak semakin besar tingkat kerusakan dan kerugiannya.  

4.1. Dampak Positif Penambangan Pasir di Pesisir Pantai
         egiatan penambangan pasir di pesisir pantai yang dilaksanakan selama ini dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat sebagai penambang pasir dan kepada masyarakat kabupaten alor dalam hal pasokan bahan galian untuk menunjang kegiatan pembangaunan. Bagi masyarakat penambang, kegiatan ini merupakan sumber penghasilan mereka yang berujung pada peningkatkan kesejahteraan keluarga. Apabila kegiatan ini dihentikan maka harus ada alternatif sumber penghasilan mereka sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial ditengah masyarakat. Bagi masyarakat umum, hasil atau product penambangan pasir ini dapat dijadikan alternatif pemilihan bahan baku untuk melaksanakan kegiatan pembangunan fisik, sehingga secara tidak langsung hasil penambangan ini turut mendukung kegiatan pembangunan di Kabupaten Alor.
     
4.2. Dampak Negatif Penambangan Pasir di Pesisir Pantai
Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan pasir pantai dapat ditinjau dari beberapa aspek perubahan lingkungan, diantaranya aspek biofisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Beberapa dampak negatif kegiatan penambangan pasir pantai ini sebagai berikut :
a.       Perubahan Kondisi Fisik Pantai
Kegiatan penambangan pasir pantai yang dilakukan selama ini mengakibatkan perubahan kondisi fisik pantai berupa banyaknya cekungan atau lubang bekas galian pasir sehingga menimbulkan tingkat abrasi yang tinggi. Kerusakan kondisi fisik pantai menyebabkan abrasi pantai atau perubahan garis pantai yang semakin menjorok ke daratan. Di beberapa lokasi garis pantai semakin mendekati pemukiman warga, mengancam kondisi fisik perumahan, akses jalan dan jemabatan yang selama ini digunakan (Gambar 2). Kerusakan fisik pantai sekaligus  akan mengurangi nilai keindahan atau estetika pantai yang selama ini menjadi salah satu komoditas andalan dalam kepariwisataan di Kabupaten Alor


Gambar 2. Jembatan rusak akibat kegiatan penambangan pasir di muara sungai

b.      Berkurangnya Sumberdaya Laut
Kegiatan penambangan pasir di pantai dapat merusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang di pinggir pantai, hal ini akan berdampak pada menurunnya kuantitas ikan yang diperoleh oleh nelayan sekitar dari pinggir pantai. Semakin banyak pasir pantai yagg ditambang maka akan samakin tinggi kerusakan pada habitat mangrove yang ada dipesisir pantai. Penambangan pasir juga menyebabkan rusaknya terumbu karang yang terdapat di wilayah pesisir karena para penambang biasanya memanfaatkan surutnya air laut untuk melakukan penambangan pasir di wilayah yang lebih jauh kearah laut dari garis pantai.  Rusaknya manrove dan terumbu karang otomati akan berdampak pada menurunnya jumlah ikan dan udang yang habitatnya di erairan dangkal berasosiasi dengan mangrove dan terumbu karang.
c.       Menurunnya Tingkat Pendapatan Nelayan
Kegiatan penambangan pasir di pantai disatu sisi meningkatan pendapatan para penambang pasir namun disisi lain akan berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan nelayan tangkap yang biasanya mencari ikan dan udang di daerah pesisir pantai. Menurunnya jumlah ikan dan udang yang terdapat di pesisir pantai otomatis akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat nelayan. Apabila sumber daya nelayan itu mampu dalam hal alat tangkap maka dapat beralih menangkap ikan di wilayah lautan dalam, namun akan bermasalah bagi nelayan kecil dengan keterbatasan alat tangkap. 
d.      Meningkatnya Budaya Konsumtif Masyarakat Penambang Pasir
Dengan adanya kegiatan penambangan pasir ini memungkinkan masyarakat penambang pasir memiliki peningkatan pendapatan, untuk itu masyarakat yang biasanya hidup sederhana apa adanya sekarang menjadi lebih konsumtif karena adanya penghasilan yang lebih besar dibanding sebelumnya. Para penambang berpikir bahwa apabila uangnya habis maka tinggal melakukan kegiatan penggalian pasir yang tersebar di sepanjang pantai tanpa ada yang melarangnya atau meminta upah atas penambangan pasir tersebut.       

5.        MITIGASI DAMPAK LINGKUNGAN AKIBAT PENAMBANGAN PASIR
Kegiatan Penambangan pasir pantai di beberapa wilayah kabupaten Alor telah menimbulkan dampak negatif yang perlu diantisipasi dalam pengendaliannya. Setiap kegiatan atau usaha yang berpotensi menimbulkan dampak baik dampak peting maupun yang tidak penting perlu dilakukan upaya pengelolaannya sehingga dampak yang timbul dapat ditoleransi sesuai daya dukung lingkungan. Dalam melakukan upaya pengelolaan lingkungan, khusunya dalam hal mitigasi dampak lingkungan yang terjadi akibat suaatu kegiatan, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan teknologi, pendekatan sosial ekonomi dan pendekatan institusi atau kelembagaan yang terkait. Ketiga pendekatan tersebut dapat diterapkan secara sendiri-sendiri maupun secara terpadu dalam upaya pengelolaan kegiatan penambangan pasir di wilayah pesisir Kabupaten Alor.

5.1.  Pendekatan Teknologi
Pendekatan teknologi merupakan pendekatan pengelolaan lingkungan dengan cara penggunaan teknologi untuk dapat meminimalkan dampak lingkungan dan secara ekonomis tidak menimbulkan kerugian bagi pelaksana kegiatan atau pemrakarsa. Pendekatan teknologi dalam pengelolaan lingkungan biasanya dilaksanakan pada tahapan konstruksi dan pascakonstruksi, untuk itu pendekatan teknologi erat kaitannya dengan mitigasi secara struktural yaitu upaya mitigasi dengan pembangunan sarana atau prasarana fisik.
            Pemerintah Kabupaten Alor telah melakukan pendekatan teknologi dalam upaya mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir pantai diantaranya berupa pembuatan tanggul pengendali abrasi dan pemecah gelmbang laut. Selain itu upaya lain dengan cara vegetatif yaitu menanam pohon pelindung pantai seperti mangrove atau bakau. Kedua upaya tersebut sudah coba dilakukan oleh pemerintah kabupaten Alor di beberapa lokasi penambangan pasir pantai yang telah menimbulkan dampak abrasi pantai. Upaya ini belum menyelesaikan akar permasalahan utama karena kegiatan penambangan masih terus dilakukan oleh masyakat sekitar.

5.2.  Pendekatan Sosial ekonomi
Pendekatan sosial ekonomi berkaitan dengan upaya aspek sosial dan ekonomi dari pelaksana kegiatan dan penerima dampak kerugian tersebut. upaya pendekatan ini dapat dilaksanakan pada tahapan prakonstruksi (persiapan), konstruksi (pekerjaan fisik) dan tahap pascakonstruksi (operasional). Pendekatan sosial ekonomi erat kaitannya dengan pekerjaan non struktural, walaupan ada beberapa cara pendekatan sosial ekonomi yang mengarah ke pekerjaan struktural / fisik. Pendekatan sosial ekonomi tidak hanya melibatkan masyarakat penambang tetapi juga melibatkan masyarakat Desa secara keseluruhan sehingga dapar berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan pesisir.   
Pemerintah Kabupaten Alor telah melakukan pendekatan sosial ekonomi dalam upaya pengelolaan lingkungan dan mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir diantaranya berupa :
  1. Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar lokasi penambangan untuk tidak melakukan kegiatan penambangan pasir pantai karena dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan ini.
  2. Pemberian bantuan modal usaha kecil bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari kegiatan penambangan pasir pantai. Modal usaha ini disertai dengan pelatihan ketrampilan untuk memulai kegiatan produktif sehingga diharapkan masyarakat penambang tidak lagi kembali melakukan kegiatan penambangan pasir pantai karena sudah memiliki mata pencaharian alternative yang menjanjikan.
  3.  Melakukan pemasangan rambu-rambu atau tanda larangan penambangan pasir pantai di lokasi tertentu sehingga dapat dijadikan patokan oleh aparat setempat dalam melakukan tindakan pencegahan dan penindakan hokum nantinya.

Beberapa upaya pendekatan sosial ekonomi diatas memang sedikit banyak mengurangi jumlah kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi, namun efektifitas pelaksanaannya masih belum optimal karena upaya tersebut masih berlangsung secara sporadis dan belum terlaksana secara terpadu. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari yang tidak memiliki mata pencaharian lain.

5.3.  Pendekatan Institusi (kelembagaan)
Pendekatan Institusi atau kelembagaan dengan melibatkan instansi-instansi yang berkepentingan dan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, meliputi perencanaan kegiatan, pengawasan hasil kerja pengelolaan lingkungan hidup dan pelaporannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Beberapa upaya pendekatan institusi telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Alor dalam upaya pengelolaan lingkungan dan mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir, baik yang dilakukan oleh satu instansi maupun dengan keterlibatan beberapa intansi dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan, diantaranya berupa :
  1. Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Alor melakukan sosialisasi dampak penambangan pasir pantai bersama-sama dengan Dinas Pertambangan dan Energi dan pihak Satuan Polisi Pamong Praja sehingga materi sosialisasi dapat lebih komprehensif dimulai dari dampak kerusakan, upaya pengelolaan lingkungan, kegiatan penambangan yang ramah lingkungan dan upaya penegakan hukumnya.
  2.    BLHD bekerjasama dengan Dinas Pertambangan dan Energi dan DInas Pekerjaan umum melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada pelaksana jasa konstruksi se-Kabupaten Alor untuk tidak memanfaatkan dan membeli bahan galian (pasir dan batu) yang ditambang di pinggir pantai. Hal Ini akan mengurangi tingkat permintaan pasir dan batu dari hasil penambangan di pantai sehingga dapat mengurangi minat masyarakat untuk kembali melakukan kegiatan penambangan.
  3.  Upaya pengawasan kegiatan penambangan pasir dimulai dari unsur Pemerintahan yang paling rendah yaitu RT, RW, sampai ke tingkat Kabupaten sehingga pengawasan dapat setiap saat dilakukan dan meminimalisasi kurangnya pengawasan.
  4. Upaya penegakkan aturan perundangan yang telah dibuat berkaian dengan kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai. Beberapa PERDA dan PERBUP telah ditetapkan Pemerintah Kabupaten Alor seperti PERDA RTRW, PERDA Pengelolaan Pertambangan mineral dan Batubara, yang intinya melarang kegiatan pertambangan pasir di pesisir pantai, untuk itu upaya penegakkan aturan perlu dilakukan dengan keterlibatan aparat terkait untuk memberikan efek jera kepada pelaku kegiatan penambangan pasir pantai.

Upaya pendekatan secara institusi perlu dilakukan karena masalah pengelolaan lingkungan bukanlah urusan instansi BLHD semata atau dalam hal penambangan itu merupakan domainnya Dinas Pertambangan dan Energi, urusan pengelolaan lingkungan merupakan urusan bersama yang butuh keterlibatan lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di Daerah. Upaya pendekatan ini juga pasti mengurangi jumlah penambangan pasir pantai karena dapat disertai dengan upaya penindakan hukum bagi yang melanggar ketentuan peraturan perundangan, namun kegiatan penambangan pasir masih tetap berlangsung di beberapa lokasi dengan permasalahan yang berbeda-beda. Untuk itu diperlukan suatu upaya pengelolaan lingkungan secara terpadu yang melibatkan segenap pemangku kepentingan dalam pengelolaan lingkungan itu sendiri.

5.4.  Pendekatan pengelolaan lingkungan secara terpadu
Upaya mitigasi dampak lingkungan akibat penambangan pasir di wilayah pantai yang telah dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Alor dengan beberapa pendekatan yang ada menunjukkan belum optimalnya hasil yang diperoleh karena pelaksanaannya secara sporadis dan terkesan sektoral, tidak melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada mulai dari masyarakat, pemerintah dan pihak swasta. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengamanatkan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa dalam suatu pengelolaan lingkungan diperlukan upaya secara terpadu dengan keterlibata semua pemangku kepentingan, dimulai dari tahapan perencanaan sampai pada upaya penegakkan hukum.
Pengelolaan lingkungan pesisir yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Alor sebaiknya dengan konsep pengelolaan pesisir terpadu yaitu konsep pembangunan yang melibatkan semua stakeholder (Pemerintah, masyarakat dan swasta) beserta kepentingannya di kawasan pesisir sehingga tidak lagi bersifat reaksional dan berorientasi pada masalah (problem oriented approach) menjadi terencana, bersifat  pre-emptive dan menggunakan pendekatan pengelolaan (Subandono Diposaptono, 2003). Upaya pengelolaan ini diharapkan dapat menyelesaikan akar permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir yang sebenarnya berupa rendahnya tingkat kesejahtraan masyarakat akibat dari ketiadaan pekerjaan yang dapat menghidupi dirinya dan keluarga.

6.        KESIMPULAN
Kegiatan Penambangan pasir di pesisir pantai wilayah Kabupaten Alor berdampak pada perubahan lingkungan sekitar yang dapat berupa unsur abiotic, biotic dan culture. Dampak yang terjadi lebih dominan dampak negatifnya daripada dampak positif atau nilai manfaat bagi masyarakat luas. Untuk itu perlu diupayakan langkah mitigasi dengan pengelolaan lingkungan secara terpadu yang melibatkan semua pemangku kepentingan di Daerah agar dapat meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan yang memungkinkan terjadi dari aktivitas penambangan tersebut.

7.        SARAN
Pemerintah Daerah perlu menghentikan kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai Kabupaten Alor agar tidak semakin menimbulkan kerusakan lingkungan pesisir dengan melakukan upaya pengelolaan lingkungan secara terpadu agar tidak menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi di kemudian hari.












DAFTAR PUSTAKA


Arisandi, M. H, dkk, 2014, Eksternalitas Penambangan Pasir Pantai Secara Tradisional Terhadap Ekosistem Mangrove dan Sosial Ekonomi, Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan, Vol. 1 Nomor 1 tahun 2014, Jakarta  
Manik, K.E.S, 2003, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta.
Ongkosongo, Otto S. R, 2011, Strategi Menghadapi Risiko Bencana di Wilayah Pesisir Akibat Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Global, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Subandono Diposaptono, 2003, Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia, Jurnal Alami Vol 8 Nomor 2 Tahun 2003, Jakarta.
Supriharyono, 2000, Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudarmadji, 2015, Mitigasi Dampak Lingkungan, Materi Kuliah Manajemen Lingkungan, Magister Manajemen Bencana SPS UG, Yogyakarta.

Akses Internet

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.

Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor 2 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor Tahun 2013 – 2033.

Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan dan Pembangunan Tahun 2020

UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa dalam perencanaan pembangunan baik daerah maup...