ASPEK
SOSIAL BUDAYA DALAM
PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI KABUPATEN ALOR
Latar
Belakang
· Kabupaten Alor merupakan salah satu dari
22 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sesuai data BNPB memiliki
tingkat risiko bencana tinggi. Hal ini disebabkan karena secara geologi dan
hidrometeorologi wilayah Kabupaten Alor sebagaimana wilayah provinsi NTT pada
umumnya mempunyai tingkat ancaman yang tinggi terhadap berbagai jenis bencana
diantaranya gempabumi, tsunami, tanah longsor, letusan gunungapi, banjir, cuaca
ekstrim, kekeringan, angin badai, dan kebakaran (BNPB, 2013). Adanya berbagai jenis
ancaman yang terjadi secara alamiah, apabila disertai dengan faktor kerentanan
yang tinggi dan tingkat kapasitas masyaratat yang rendah maja memungkinkan
untuk terjadinya tingkat risiko yang tinggi. Aspek sosial budaya yang ada dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat dapat mempengaruhi tingkat kerentanan dan
kapasitas masyarakat sehingga apabila dikelola secara baik dapat dijadikan
modal dalam upaya pengurangan risiko bencana.
· Kabupaten Alor merupakan salah satu
Kabupaten di NTT yang heterogen baik ditinjau dari suku, budaya, adat istiadat,
tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakatnya. Di Kabupaten Alor terdapat
aneka ragam bahasa lokal kesenian
tradisional, upacara adat dan kearifan lokal. Secara linguistik Alor memang
bermacam-macam. Sebuah survey terkini yang dilakukan oleh peneliti-peneliti
dari Universitas Leiden – Belanda, menunjukan bahwa di Kepulauan Alor terdapat
kira-kira 14 rumpun bahasa. Kebanyakan dari bahasa-bahasa tersebut berhubungan
dengan bahasa-bahasa Papua, kecuali bahasa yang dipakai oleh beberapa komunitas
nelayan di daerah pesisir yang umumnya diakui sebagai bahasa Alor, bahasa yang
memiliki hubungan dengan bahasa Lamaholot, salah satu bahasa dalam rumpun
bahasa Austronesia yang dipakai di Flores timur (www.alorkab.go.id).
Keanekaragaman suku dengan berbagai adat istiadat yang ada disatu sisi
merupakan kekayaan tersendiri bagi khasanah budaya di Kabupaten Alor, namun
disisi lain apabila hal ini tidak disikapi secara baik dapat berpotensi
terjadinya konflik sosial antara berbagai suku dan kelompok masyarakat yang ada
sehingga akan sangat merugikan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Alor.
· Suatu Kejadian Bencana akan mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor
alam dan/atau faktor nonalam atau faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Kejadian bencana yang terjadi di suatu daerah akan berdampak
pada kehidupan masyarakat pada umumnya yang sebelumnya normal akan mejadi tidak
normal karena terjadi gangguan secara fisik dan psikis manusia sehingga
mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan struktur sosial yang berkembang di
masyarakat.
Kondisi
Umum Kabupaten Alor
·
Secara definitif Kabupaten Alor
terbentuk pada Bulan Desember Tahun 1958 yang saat ini terdiri dari 17
Kecamatan, 175 Desa/Kelurahan (17 Kelurahan,158 Desa), 315 Dusun / Lingkungan,
675 RW serta 1.491 RT. Jumlah penduduk Kabupaten Alor sesuai data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2013 berjumlah 196.179 jiwa dengan kepadatan penduduk 68
jiwa per km2.
·
Secara geografis wilayah Kabupaten Alor
terletak pada koordinat 806’– 8036’ LS dan 123048’–
120048’ BT, dengan batas
sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan berbatasan
dengan Selat Ombay, sebelah timur berbatasan dengan Selat Wetar dan Perairan
Republik Demokrat Timor Leste (RDTL) dan sebelah barat berbatasan dengan Selat
Alor.
· Secara geopolitik, Kabupaten Alor
termasuk 183 Kabupaten yang tergolong Kabupaten tertinggal. Kabupaten Alor juga
termasuk 112 kabupaten/ kota di Indonesia yang dikategorikan sebagai Kabupaten
Perbatasan. Wilayah Kabupaten Alor terdiri dari 15 buah pulau yang 9
diantaranya berpenduduk, yaitu Pulau Alor, Pantar, Pura, Tereweng, Ternate,
Buaya, Kangge, Kura, dan Pulau Kepa. Sedangkan 6 pulau lainnya belum/tidak
berpenduduk, yaitu Pulau Kambing, Rusa, Batang, Lapang, Sika, dan Pulau Kapas.
· Kabupaten Alor dengan ibukota di
Kalabahi, memiliki luas wilayah darat 2.864.64
Km2, sebagian besar luas wilayah daratan merupakan pegunungan tinggi
yang dikelilingi oleh lembah-lembah dan jurang-jurang. Kemiringan lahan diatas
400 mencapai kurang lebih 60 % dari total wilayah daratan Kabupaten
Alor. Luas wilayah lautan 10.773.63 Km2 dan panjang garis pantai
287.10 Km2. Wilayah Kabupaten Alor yang kepulauan ini menyebabkan
sarana transportasi laut cukup menjadi andalan dalam menghubungkan pulau-pulau
di Kabupaten Alor. Wilayah laut yang luas dengan potensi perikanan yang cukup
besar menjadikan usaha penangkapan ikan menjadi salah satu mata pencaharian
masyarakat pesisir.
· Masyarakat Kabupaten Alor merupakan
masyarakat majemuk karena sejatinya penduduk asli Kabupaten Alor terdiri dari 50
(lima puluh) suku asli yang mempunyai budaya dan adat istiadat sendiri-sendiri.
Pada masa kerajaan dahulu, beberapa suku terasosiasi kedalam satu kerajaan. Menurut cerita yang beredar di
masyarakat Alor, kerajaan tertua di Kabupaten Alor adalah kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Kerajaan berikutnya yang didirikan adalah
kerajaan Pandai yang terletak dekat kerajaan Munaseli dan
Kerajaan Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar. Nama Kerajaan identik dengan nama suku yang
mendominasi wilayah tersebut, masing-masing kerajaan didominasi dengan suku
induk dan beberapa suku kecil lainnya. setiap suku memiliki adat istiadat
sendiri sendiri termasuk bahasanya masing-masing. Disamping penduduk asli yang
berasal dari beberapa suku tersebut, di Kabupaten Alor juga terdapat beberapa
etnis pendatang diantaranya etnis Timor, Flores, Sumba, Jawa, Bugis, Makasar,
Binongko dan Buton.
·
Kabupaten Alor memiliki potensi
sumberdaya alam yang melimpah, mulai dari potensi pertambangan, perkebunan dan
juga yang cukup terkenal adalah pariwisata. Potensi pariwisata meliputi potensi
budaya dan keindahan alamnya, khususnya taman laut yang berada diantara pulau
Alor dan Pantar. Taman laut ini juga termasuk salah satu taman laut terbaik di
dunia, menurut informasi dari beberapa agen penyeleman (Diving) dunia, taman laut Alor menduduki peringkat kedua setelah
kepulauan Karibia, karena taman lautnya langka dengan panorama bawah laut yang
bahkan dapat dilihat dengan jelas di malam hari
· Sebelum masuknya agama-agama besar di
Alor, penduduk Alor menganut paham animisme dan dinamisme. Mereka menyembah
matahari (Larra/Lera), bulan (Wulang), sungai (Neda/dewa air), hutan (Addi/dewa
hutan), dan laut (Hari/dewa laut). Saat ini mayoritas penduduk Alor adalah
penganut agama Kristen Protestan, Islam, Katolik dan Hindu. Menurut catatan
Sejarah, Agama Islam masuk pertama kali di wilayah Kabupaten Alor yaitu sekitar
tahuan 1522, ditandai dengan kehadiran mubaligh dari Kesultanan Ternate melalui
Desa Gelubela (sekarang Baranusa) di Pulau Pantar yang sampai dengan saat ini
masyarakat wilayah tersebut masih beragama Islam. Agama Kristen pertama kali
masuk Alor pada masa administrasi Controleur Bouman pada tahun 1908 ketika
seorang pendeta berkebangsaan Jerman, D.S. William-Bach, tiba dengan kapal
Canokus dan kemudian kegiatan penyebaran agama Kristen dari Pantai Dulolong.
Gereja pertama di Alor dibangun pada tahun 1912, dinamai Gereja Kalabahi
(sekarang dikenal sebagai Gereja Pola). Dalam pengerjaan gereja tersebut
dilakukan bersama-sama antara para Tukang dari umat muslim dengan umat Kristen,
ini merupakan bukti dari adanya toleransi antar-umat beragama di Alor sejak
dulu.
· Sesuai Data BPS Tahun 2013, mayoritas
masyarakat Kabupaten Alor menganut agama Kristen Protestan, yaitu sejumlah
133.006 jiwa, disusul penganut agama Islam sejumlah 56.654 jiwa, agama Katolik
sejumlah 6.342 jiwa dan yang terakhir agama Hindu sejumlah 177 jiwa. Untuk mata
pencaharian masyarakat Kabupaten Alor mayoritas sebagai petani lahan kering
atau sawah tadah hujan dan perkebunan, disusul sebagai nelayan, pedagang dan
Pegawai Negeri Sipil.
Aspek
Sosial Budaya Masyarakat Kabupaten Alor
· Penduduk Kabupaten Alor dengan latar
belakang suku yang berbeda-beda, baik suku asli yang berjumlah 50 suku asli
maupun suku pendatang dari luar wilayah Kabupaten Alor. Dalam hubungannya
dengan interaksi sosial, baik antar suku asli maupun suku pendatang, menunjukkan
hubungan yang sangat harmonis karena ada keterikatan budaya dan fungsional yang
saling memutuhkan dalam suatu jalinan persaudaraan dan kekeluargaan.
· Dalam hubungannya dengan keterkaitan
budaya, penduduk Alor sejak lama dalam menjalani kekerabatan sosial antar
suku-suku asli maupun suku-suku tetangga diluar Pulau Alor, telah tertanam
nilai-nilai kekerabatan sosial yang dikenal dengan ”hubungan BELA” dan
”hubungan EGALATARIAN”. Kedua nilai kekerabatan sosial tersebut masih dijunjung
tinggi sampai saat ini sebagai salah satu modal sosial yang memiliki kekuatan
dalam mempersatukan suku, agama, adat istiadat dalam kehidupan sosial
masyarakat di Alor. Kemudian keterkaitan fungsional antar suku asli dan suku
pendatang yang selalu terpeliharan keharmonisannya, karena suku asli memandang
suku pendatang sebagai pembawa inovasi dan pasar input dan pasar output produk
suku asli yang masih berorientasi produk tradisional.
· Kabupaten Alor yang terdiri atas
keragaman suku asli, tidak terlepas dari kekayaan etnolinguistik (56 bahasa
ibu) yang dikelompokan dalam 13 rumpun bahasa, yang satu sama lainnya sangat
berbeda untuk dimengerti. Sehingga dalam interaksi sosial antar penduduk di
Kabupaten Alor selalu menggunakan Bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa
komunikasi antar suku-suku di Alor.
· Banyaknya suku asli masyarakat Kabupaten
Alor menyebabkan berbagai keragaman budaya yang ada di Kabupaten Alor. Sesuai
catatan Pemerintah Daerah Kabupaten Alor terdapat 37 (tiga puluh tujuh) jenis
peninggalan benda-benda cagar budaya dari zaman megalitikum. Cagar Budaya
berdasarkan UU RI Nomor 11 tahun 2010, merupakan warisan budaya bersifat
kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui
proses penetapan. Cagar budaya yang terdapt di Kabupaten Alor berupa benda
cagar budaya yang dinamakan Moko.
· Budaya Kabupaten Alor lainnya berupa
tari-tarian dan syair budaya yang intinya sebagai media dalam menjalin
kekerabatan atau interaksi sosial dalam keberagaman. Diantaranya tarian
”Lego-Lego” dan syair-syair lagu daerah seperti Leoro piringsina tanah moko
jawa, Raja mauboli, Bungamelangkiki, Simane dan Nea serta semboyan pemersatu
”Taramiti Tominuku” (bersehati kita teguh, bersama kita bisa), ”Webuk Wangkape”
(yang jauh/berbeda diikat menjadi dekat/ satu), Kuli Mati-mati Haki Tiwang Lewo
(Semangat bersama membangun daerah dari jauh/rantauan), Dike Date Ite Lewo
Tanah (Semangat membangun kemandirian dari potensi sendiri), dan lain-lain.
Nilai-nilai budaya ini dihormati dalam kelembagaan adat dan jauh lebih ampuh
sebagai alat pemersatu dan penyelesaian konflik-konflik horisontal atau
berbagai aspek pembangunan lainnya.
· Dari sekian banyak keragaman budaya yang
ada di Kabupaten Alor, ada beberapa ciri khas budaya yang hampir semua suku di
Kabupaten Alor memilikinya yaitu diantaranya adalah penggunanaan “Moko” untuk
mas kawin atau belis dari mempelai laki-laki ke perempuan dan tarian “Lego-lego”.
Mas kawin yang berlaku dikalangan suku di Kabupaten Alor berbeda halnya dengan
suku-suku lain di wilayah Provinsi NTT yang biasanya menggunakan binatang piaraan.
Masyarkat Kabupaten Alor menggunakan benda peninggalan nenek moyang mereka
sebagai mas kawin, yaitu Moko. Penggunaan moko sebagai mas kawin telah berlangsung
selama ratusan tahun. Menurut para arkeolog, moko mulai digunakan oleh masyarakat
setempat, sejak abad 14 masehi. Nenek moyang mereka mengawali penggunaan moko sebagai alat tukar, maupun sebagai alat
kesenian dalam upacara adat, kemudian pada abad 17 masehi, moko digunakan oleh nenek
moyang mereka sebagai mas kawin. Saat ini jumlah Moko di Kabupaten Alor sudah
semakin berkurang karena banyaknya pemburu barang antic yang siap menadah untuk
dibawa ke Bali dan seterusnya ke luar negeri.
· Tari Lego-Lego menurut beberpa sumber merupakan
tarian tradisional Suku Abui, suku yang mendiami kampung tradisional Takpala,
terletak di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun pada
kenyataannya hampir semua suku di Kabupaten Alor melakukan tarian Lego-lego yang
merupakan tarian yang merupakan lambang kekuatan persatuan dan persaudaraan
warga Suku Abui ini dilakukan secara massal dengan bergandengan tangan dan
bergerkan secara melingkar. Para penari memakai busana adat, sementara rambut
kaum perempuan dibiarkan terurai. Di kaki para penari dipasang gelang perak
yang akan memantulkan bunyi gemerincing jika digerakkan. Tetabuhan gong dan
gendang dari kuningan atau moko mengiringi polah para penari yang bergerak
rancak sambil mengumandangkan lagu dan pantun dalam bahasa adat setempat. Tari
Lego-Lego dilakukan dengan mengelilingi tiga batu bersusun yang disebut mesbah,
benda yang disakralkan dalam tradisi Suku Abui. Biasanya, Lego-Lego ditarikan
selama semalam suntuk.
Pengurangan
Risiko Bencana di Kabupaten Alor
· Wilayah Kabupaten Alor
dengan tingkat ancaman bencana yang tinggi ditinjau dari aspek geologi dan
hidrometeorologi diikuiti dengan tingginya aspek kerentanan sosial budaya masyarakat
karena adanya variasi suku dengan adat istiadat yang berbeda maka menimbulkan
tingkat risiko bencana yang tinggi. Uuntuk itu segala upaya harus dilakukan
oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat Kabupaten Alor untuk mengurangi risiko
bencana tersebut agar apabila ancaman itu benar-benar terjadi menjadi sebuah
bencana maka jumlah korban dan kerugian akibat bencana dapat diminimalisir.
· Disamping potensi bencana
alam yang tinggi, sebenarnya di Kabupaten Alor juga menyimpan potensi bencana
konflik sosial sebagaimana yang terjadi di wilayah lain di NTT atau di Provinsi
lain yang memiliki tingkat kemajemukan yang tinggi. Bencana konflik sosial
pernah terjadi di daerah lain di NTT beberapa tahun lalu tentunya dapat juga
terjadi di Kabupaten Alor mengingat masyarakat Kabupaten Alor mempunyai latar
belakang suku, adat istiadat, budaya dan agama yang berbeda-beda. Untuk itu
segenap pemangku kepentingan dapat berperan aktif dalam mengurangi risiko yang
ada dengan mengedepankan rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang telah terbina
sejak dahulu.
· Salah satu faktor dalam
upaya pengurangan risiko bencana yang sudah sering diterapkan di berbagai
daerah dengan tingkat risiko bencana tinggi adalah adanya pengurangan risiko
bencana berbasis komunitas. Dalam pelaksanannya, tentunya mempertimbangkan
dimensi sosial budaya yang dimiliki oleh komunitas masyarakat tertentu,
sehingga nantinya diharapkan dapat semakin memperkuat ikatan sosial masyarakat
agar upaya pengurangan risiko bencana dapat terlakasana secara holistik
melibatkan semua unsur dan elemean dalam komuniatas masyarakat.
· Dalam kehidupan sehari-hari
toleransi antar suku dan agama yang berbeda di Kabupaten Alor sudah terbangun
sejak dahulu, terbukti dengan catatan sejarah setiap adanya kegiatan yang
melibatkan suku atau umat agama tertentu akan mendapat bantuan dari suku dan
umat agama lainnya. Sebagai contoh dalam pembangunan gereja, seringkali umat
muslim terlibat aktif sebagai tukang bangunan atau sebagai tukang masaknya,
begitu juga sebaliknya dalam pembangunan masjid tentunya umat Kristen tidak
tinggal diam, mereka berperan sebagai tukang bangunan dan tukang masak untuk
mendukung pembangunan masjid tersebut. Hal yang sama terjadi juga pada perayaan
keagamaan dan pembangunan rumah adat suku tertentu. Ini menunjukkan Pemikiran
masyarakat Alor yang penuh dengan rasa persaudaraan dan toleransi yang tinggi,
bahwa menurut mereka masyarakat berasal dari satu tuhan yang sama dan tidak
adanya prasangka buruk bahwa antar agama akan mengancam eksistensi agama
lainnya.
· Masyarakat Alor percaya ada semacam nilai holistis yang muncul
diantara mereka, yaitu nilai kemanusiaan
yang menyatukan alam semesta dan manusia terkait dengan itu mereka berpendapat
bahwa sang pencipta, alam semesta dan manusia menjadi satu kesatuan yang total
dan tidak bisa diubah atau bersifat mutlak.
· Kekayaan budaya dan adat istiadat yang memiliki nilai-nilai moral
masih terus mendapatkan tempat yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan
Pemerintah Kabupaten Alor terutama sebagai pemersatu dalam penangkal budaya dan
pengaruh asing yang terus menjadi tantangan pembangunan Daerah. Walaupun
nilai-nilai budaya dan pesan adat non formal lainnya belum diintegrasikan
secara optimal dalam pengambilan kebijakan pembangunan daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
BNPB, 2013, Indeks Risiko Bencana Indonesia,
Direktorat Pengurangan Risiko Bencana - Deputi Bidang Pencegahan dan
Kesiapsiagaan BNPB, Jakarta
Sumiati, 2015, Bahan Kuliah Magister Manajemen
Bencana SPS Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Akses Internet
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130.
Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor 6 Tahun 2009
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Alor Tahun 2005 –
2025.
No comments:
Post a Comment