Manajemen Bencana

Sunday, November 29, 2015

Peran Sosial Budaya Masyarakat Alor dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana

ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM
 PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI KABUPATEN ALOR


Latar Belakang
·     Kabupaten Alor merupakan salah satu dari 22 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sesuai data BNPB memiliki tingkat risiko bencana tinggi. Hal ini disebabkan karena secara geologi dan hidrometeorologi wilayah Kabupaten Alor sebagaimana wilayah provinsi NTT pada umumnya mempunyai tingkat ancaman yang tinggi terhadap berbagai jenis bencana diantaranya gempabumi, tsunami, tanah longsor, letusan gunungapi, banjir, cuaca ekstrim, kekeringan, angin badai, dan kebakaran (BNPB, 2013). Adanya berbagai jenis ancaman yang terjadi secara alamiah, apabila disertai dengan faktor kerentanan yang tinggi dan tingkat kapasitas masyaratat yang rendah maja memungkinkan untuk terjadinya tingkat risiko yang tinggi. Aspek sosial budaya yang ada dan berkembang dalam kehidupan masyarakat dapat mempengaruhi tingkat kerentanan dan kapasitas masyarakat sehingga apabila dikelola secara baik dapat dijadikan modal dalam upaya pengurangan risiko bencana.
·     Kabupaten Alor merupakan salah satu Kabupaten di NTT yang heterogen baik ditinjau dari suku, budaya, adat istiadat, tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakatnya. Di Kabupaten Alor terdapat aneka ragam bahasa lokal  kesenian tradisional, upacara adat dan kearifan lokal. Secara linguistik Alor memang bermacam-macam. Sebuah survey terkini yang dilakukan oleh peneliti-peneliti dari Universitas Leiden – Belanda, menunjukan bahwa di Kepulauan Alor terdapat kira-kira 14 rumpun bahasa. Kebanyakan dari bahasa-bahasa tersebut berhubungan dengan bahasa-bahasa Papua, kecuali bahasa yang dipakai oleh beberapa komunitas nelayan di daerah pesisir yang umumnya diakui sebagai bahasa Alor, bahasa yang memiliki hubungan dengan bahasa Lamaholot, salah satu bahasa dalam rumpun bahasa Austronesia yang dipakai di Flores timur (www.alorkab.go.id). Keanekaragaman suku dengan berbagai adat istiadat yang ada disatu sisi merupakan kekayaan tersendiri bagi khasanah budaya di Kabupaten Alor, namun disisi lain apabila hal ini tidak disikapi secara baik dapat berpotensi terjadinya konflik sosial antara berbagai suku dan kelompok masyarakat yang ada sehingga akan sangat merugikan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Alor.
·        Suatu Kejadian Bencana akan mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam atau faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kejadian bencana yang terjadi di suatu daerah akan berdampak pada kehidupan masyarakat pada umumnya yang sebelumnya normal akan mejadi tidak normal karena terjadi gangguan secara fisik dan psikis manusia sehingga mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan struktur sosial yang berkembang di masyarakat.

Kondisi Umum Kabupaten Alor
·         Secara definitif Kabupaten Alor terbentuk pada Bulan Desember Tahun 1958 yang saat ini terdiri dari 17 Kecamatan, 175 Desa/Kelurahan (17 Kelurahan,158 Desa), 315 Dusun / Lingkungan, 675 RW serta 1.491 RT. Jumlah penduduk Kabupaten Alor sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 berjumlah 196.179 jiwa dengan kepadatan penduduk 68 jiwa per km2.
·         Secara geografis wilayah Kabupaten Alor terletak pada koordinat 806’– 8036’ LS dan 123048’– 120048’ BT, dengan batas  sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Ombay, sebelah timur berbatasan dengan Selat Wetar dan Perairan Republik Demokrat Timor Leste (RDTL) dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Alor.
·     Secara geopolitik, Kabupaten Alor termasuk 183 Kabupaten yang tergolong Kabupaten tertinggal. Kabupaten Alor juga termasuk 112 kabupaten/ kota di Indonesia yang dikategorikan sebagai Kabupaten Perbatasan. Wilayah Kabupaten Alor terdiri dari 15 buah pulau yang 9 diantaranya berpenduduk, yaitu Pulau Alor, Pantar, Pura, Tereweng, Ternate, Buaya, Kangge, Kura, dan Pulau Kepa. Sedangkan 6 pulau lainnya belum/tidak berpenduduk, yaitu Pulau Kambing, Rusa, Batang, Lapang, Sika, dan Pulau Kapas.
·    Kabupaten Alor dengan ibukota di Kalabahi, memiliki luas wilayah darat  2.864.64 Km2, sebagian besar luas wilayah daratan merupakan pegunungan tinggi yang dikelilingi oleh lembah-lembah dan jurang-jurang. Kemiringan lahan diatas 400 mencapai kurang lebih 60 % dari total wilayah daratan Kabupaten Alor. Luas wilayah lautan 10.773.63 Km2 dan panjang garis pantai 287.10 Km2. Wilayah Kabupaten Alor yang kepulauan ini menyebabkan sarana transportasi laut cukup menjadi andalan dalam menghubungkan pulau-pulau di Kabupaten Alor. Wilayah laut yang luas dengan potensi perikanan yang cukup besar menjadikan usaha penangkapan ikan menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat pesisir.
·  Masyarakat Kabupaten Alor merupakan masyarakat majemuk karena sejatinya penduduk asli Kabupaten Alor terdiri dari 50 (lima puluh) suku asli yang mempunyai budaya dan adat istiadat sendiri-sendiri. Pada masa kerajaan dahulu, beberapa suku terasosiasi kedalam satu kerajaan. Menurut cerita yang beredar di masyarakat Alor, kerajaan tertua di Kabupaten Alor adalah kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Kerajaan berikutnya yang didirikan adalah kerajaan Pandai yang terletak dekat kerajaan Munaseli dan Kerajaan Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar. Nama Kerajaan identik dengan nama suku yang mendominasi wilayah tersebut, masing-masing kerajaan didominasi dengan suku induk dan beberapa suku kecil lainnya. setiap suku memiliki adat istiadat sendiri sendiri termasuk bahasanya masing-masing. Disamping penduduk asli yang berasal dari beberapa suku tersebut, di Kabupaten Alor juga terdapat beberapa etnis pendatang diantaranya etnis Timor, Flores, Sumba, Jawa, Bugis, Makasar, Binongko dan Buton.      
·         Kabupaten Alor memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah, mulai dari potensi pertambangan, perkebunan dan juga yang cukup terkenal adalah pariwisata. Potensi pariwisata meliputi potensi budaya dan keindahan alamnya, khususnya taman laut yang berada diantara pulau Alor dan Pantar. Taman laut ini juga termasuk salah satu taman laut terbaik di dunia, menurut informasi dari beberapa agen penyeleman (Diving) dunia, taman laut Alor menduduki peringkat kedua setelah kepulauan Karibia, karena taman lautnya langka dengan panorama bawah laut yang bahkan dapat dilihat dengan jelas di malam hari
·   Sebelum masuknya agama-agama besar di Alor, penduduk Alor menganut paham animisme dan dinamisme. Mereka menyembah matahari (Larra/Lera), bulan (Wulang), sungai (Neda/dewa air), hutan (Addi/dewa hutan), dan laut (Hari/dewa laut). Saat ini mayoritas penduduk Alor adalah penganut agama Kristen Protestan, Islam, Katolik dan Hindu. Menurut catatan Sejarah, Agama Islam masuk pertama kali di wilayah Kabupaten Alor yaitu sekitar tahuan 1522, ditandai dengan kehadiran mubaligh dari Kesultanan Ternate melalui Desa Gelubela (sekarang Baranusa) di Pulau Pantar yang sampai dengan saat ini masyarakat wilayah tersebut masih beragama Islam. Agama Kristen pertama kali masuk Alor pada masa administrasi Controleur Bouman pada tahun 1908 ketika seorang pendeta berkebangsaan Jerman, D.S. William-Bach, tiba dengan kapal Canokus dan kemudian kegiatan penyebaran agama Kristen dari Pantai Dulolong. Gereja pertama di Alor dibangun pada tahun 1912, dinamai Gereja Kalabahi (sekarang dikenal sebagai Gereja Pola). Dalam pengerjaan gereja tersebut dilakukan bersama-sama antara para Tukang dari umat muslim dengan umat Kristen, ini merupakan bukti dari adanya toleransi antar-umat beragama di Alor sejak dulu.
·   Sesuai Data BPS Tahun 2013, mayoritas masyarakat Kabupaten Alor menganut agama Kristen Protestan, yaitu sejumlah 133.006 jiwa, disusul penganut agama Islam sejumlah 56.654 jiwa, agama Katolik sejumlah 6.342 jiwa dan yang terakhir agama Hindu sejumlah 177 jiwa. Untuk mata pencaharian masyarakat Kabupaten Alor mayoritas sebagai petani lahan kering atau sawah tadah hujan dan perkebunan, disusul sebagai nelayan, pedagang dan Pegawai Negeri Sipil.

Aspek Sosial Budaya Masyarakat Kabupaten Alor
·   Penduduk Kabupaten Alor dengan latar belakang suku yang berbeda-beda, baik suku asli yang berjumlah 50 suku asli maupun suku pendatang dari luar wilayah Kabupaten Alor. Dalam hubungannya dengan interaksi sosial, baik antar suku asli maupun suku pendatang, menunjukkan hubungan yang sangat harmonis karena ada keterikatan budaya dan fungsional yang saling memutuhkan dalam suatu jalinan persaudaraan dan kekeluargaan.
·  Dalam hubungannya dengan keterkaitan budaya, penduduk Alor sejak lama dalam menjalani kekerabatan sosial antar suku-suku asli maupun suku-suku tetangga diluar Pulau Alor, telah tertanam nilai-nilai kekerabatan sosial yang dikenal dengan ”hubungan BELA” dan ”hubungan EGALATARIAN”. Kedua nilai kekerabatan sosial tersebut masih dijunjung tinggi sampai saat ini sebagai salah satu modal sosial yang memiliki kekuatan dalam mempersatukan suku, agama, adat istiadat dalam kehidupan sosial masyarakat di Alor. Kemudian keterkaitan fungsional antar suku asli dan suku pendatang yang selalu terpeliharan keharmonisannya, karena suku asli memandang suku pendatang sebagai pembawa inovasi dan pasar input dan pasar output produk suku asli yang masih berorientasi produk tradisional.
·       Kabupaten Alor yang terdiri atas keragaman suku asli, tidak terlepas dari kekayaan etnolinguistik (56 bahasa ibu) yang dikelompokan dalam 13 rumpun bahasa, yang satu sama lainnya sangat berbeda untuk dimengerti. Sehingga dalam interaksi sosial antar penduduk di Kabupaten Alor selalu menggunakan Bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa komunikasi antar suku-suku di Alor.
·       Banyaknya suku asli masyarakat Kabupaten Alor menyebabkan berbagai keragaman budaya yang ada di Kabupaten Alor. Sesuai catatan Pemerintah Daerah Kabupaten Alor terdapat 37 (tiga puluh tujuh) jenis peninggalan benda-benda cagar budaya dari zaman megalitikum. Cagar Budaya berdasarkan UU RI Nomor 11 tahun 2010, merupakan warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Cagar budaya yang terdapt di Kabupaten Alor berupa benda cagar budaya yang dinamakan Moko.
·        Budaya Kabupaten Alor lainnya berupa tari-tarian dan syair budaya yang intinya sebagai media dalam menjalin kekerabatan atau interaksi sosial dalam keberagaman. Diantaranya tarian ”Lego-Lego” dan syair-syair lagu daerah seperti Leoro piringsina tanah moko jawa, Raja mauboli, Bungamelangkiki, Simane dan Nea serta semboyan pemersatu ”Taramiti Tominuku” (bersehati kita teguh, bersama kita bisa), ”Webuk Wangkape” (yang jauh/berbeda diikat menjadi dekat/ satu), Kuli Mati-mati Haki Tiwang Lewo (Semangat bersama membangun daerah dari jauh/rantauan), Dike Date Ite Lewo Tanah (Semangat membangun kemandirian dari potensi sendiri), dan lain-lain. Nilai-nilai budaya ini dihormati dalam kelembagaan adat dan jauh lebih ampuh sebagai alat pemersatu dan penyelesaian konflik-konflik horisontal atau berbagai aspek pembangunan lainnya.
·      Dari sekian banyak keragaman budaya yang ada di Kabupaten Alor, ada beberapa ciri khas budaya yang hampir semua suku di Kabupaten Alor memilikinya yaitu diantaranya adalah penggunanaan “Moko” untuk mas kawin atau belis dari mempelai laki-laki ke perempuan dan tarian “Lego-lego”. Mas kawin yang berlaku dikalangan suku di Kabupaten Alor berbeda halnya dengan suku-suku lain di wilayah Provinsi NTT yang biasanya menggunakan binatang piaraan. Masyarkat Kabupaten Alor menggunakan benda peninggalan nenek moyang mereka sebagai mas kawin, yaitu Moko. Penggunaan moko sebagai mas kawin telah berlangsung selama ratusan tahun. Menurut para arkeolog, moko mulai digunakan oleh masyarakat setempat, sejak abad 14 masehi. Nenek moyang mereka mengawali penggunaan moko sebagai alat tukar, maupun sebagai alat kesenian dalam upacara adat, kemudian pada abad 17 masehi, moko digunakan oleh nenek moyang mereka sebagai mas kawin. Saat ini jumlah Moko di Kabupaten Alor sudah semakin berkurang karena banyaknya pemburu barang antic yang siap menadah untuk dibawa ke Bali dan seterusnya ke luar negeri.
·     Tari Lego-Lego menurut beberpa sumber merupakan tarian tradisional Suku Abui, suku yang mendiami kampung tradisional Takpala, terletak di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun pada kenyataannya hampir semua suku di Kabupaten Alor melakukan tarian Lego-lego yang merupakan tarian yang merupakan lambang kekuatan persatuan dan persaudaraan warga Suku Abui ini dilakukan secara massal dengan bergandengan tangan dan bergerkan secara melingkar. Para penari memakai busana adat, sementara rambut kaum perempuan dibiarkan terurai. Di kaki para penari dipasang gelang perak yang akan memantulkan bunyi gemerincing jika digerakkan. Tetabuhan gong dan gendang dari kuningan atau moko mengiringi polah para penari yang bergerak rancak sambil mengumandangkan lagu dan pantun dalam bahasa adat setempat. Tari Lego-Lego dilakukan dengan mengelilingi tiga batu bersusun yang disebut mesbah, benda yang disakralkan dalam tradisi Suku Abui. Biasanya, Lego-Lego ditarikan selama semalam suntuk.

Pengurangan Risiko Bencana di Kabupaten Alor
·       Wilayah Kabupaten Alor dengan tingkat ancaman bencana yang tinggi ditinjau dari aspek geologi dan hidrometeorologi diikuiti dengan tingginya aspek kerentanan sosial budaya masyarakat karena adanya variasi suku dengan adat istiadat yang berbeda maka menimbulkan tingkat risiko bencana yang tinggi. Uuntuk itu segala upaya harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat Kabupaten Alor untuk mengurangi risiko bencana tersebut agar apabila ancaman itu benar-benar terjadi menjadi sebuah bencana maka jumlah korban dan kerugian akibat bencana dapat diminimalisir.
·       Disamping potensi bencana alam yang tinggi, sebenarnya di Kabupaten Alor juga menyimpan potensi bencana konflik sosial sebagaimana yang terjadi di wilayah lain di NTT atau di Provinsi lain yang memiliki tingkat kemajemukan yang tinggi. Bencana konflik sosial pernah terjadi di daerah lain di NTT beberapa tahun lalu tentunya dapat juga terjadi di Kabupaten Alor mengingat masyarakat Kabupaten Alor mempunyai latar belakang suku, adat istiadat, budaya dan agama yang berbeda-beda. Untuk itu segenap pemangku kepentingan dapat berperan aktif dalam mengurangi risiko yang ada dengan mengedepankan rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang telah terbina sejak dahulu.  
·      Salah satu faktor dalam upaya pengurangan risiko bencana yang sudah sering diterapkan di berbagai daerah dengan tingkat risiko bencana tinggi adalah adanya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. Dalam pelaksanannya, tentunya mempertimbangkan dimensi sosial budaya yang dimiliki oleh komunitas masyarakat tertentu, sehingga nantinya diharapkan dapat semakin memperkuat ikatan sosial masyarakat agar upaya pengurangan risiko bencana dapat terlakasana secara holistik melibatkan semua unsur dan elemean dalam komuniatas masyarakat.
·       Dalam kehidupan sehari-hari toleransi antar suku dan agama yang berbeda di Kabupaten Alor sudah terbangun sejak dahulu, terbukti dengan catatan sejarah setiap adanya kegiatan yang melibatkan suku atau umat agama tertentu akan mendapat bantuan dari suku dan umat agama lainnya. Sebagai contoh dalam pembangunan gereja, seringkali umat muslim terlibat aktif sebagai tukang bangunan atau sebagai tukang masaknya, begitu juga sebaliknya dalam pembangunan masjid tentunya umat Kristen tidak tinggal diam, mereka berperan sebagai tukang bangunan dan tukang masak untuk mendukung pembangunan masjid tersebut. Hal yang sama terjadi juga pada perayaan keagamaan dan pembangunan rumah adat suku tertentu. Ini menunjukkan Pemikiran masyarakat Alor yang penuh dengan rasa persaudaraan dan toleransi yang tinggi, bahwa menurut mereka masyarakat berasal dari satu tuhan yang sama dan tidak adanya prasangka buruk bahwa antar agama akan mengancam eksistensi agama lainnya.
·  Masyarakat Alor percaya ada semacam nilai holistis yang muncul diantara  mereka, yaitu nilai kemanusiaan yang menyatukan alam semesta dan manusia terkait dengan itu mereka berpendapat bahwa sang pencipta, alam semesta dan manusia menjadi satu kesatuan yang total dan tidak bisa diubah atau bersifat mutlak.
·   Kekayaan budaya dan adat istiadat yang memiliki nilai-nilai moral masih terus mendapatkan tempat yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan Pemerintah Kabupaten Alor terutama sebagai pemersatu dalam penangkal budaya dan pengaruh asing yang terus menjadi tantangan pembangunan Daerah. Walaupun nilai-nilai budaya dan pesan adat non formal lainnya belum diintegrasikan secara optimal dalam pengambilan kebijakan pembangunan daerah.  


DAFTAR PUSTAKA

BNPB, 2013, Indeks Risiko Bencana Indonesia, Direktorat Pengurangan Risiko Bencana - Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Jakarta
Sumiati, 2015, Bahan Kuliah Magister Manajemen Bencana SPS Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Akses Internet

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130.

Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor 6 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Alor Tahun 2005 – 2025.

No comments:

Post a Comment

Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan dan Pembangunan Tahun 2020

UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa dalam perencanaan pembangunan baik daerah maup...