Manajemen Bencana

Sunday, November 29, 2015

Mitigasi Kerusakan Pesisir Akibat Penambangan Pasir di Kabupaten Alor

MITIGASI DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN PESISIR AKIBAT KEGIATAN PENAMBANGAN PASIR PANTAI DI KABUPATEN ALOR


1.        LATAR BELAKANG
Pemerintah Indonesia telah menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah sejak awal tahun 2000an, untuk itu setiap daerah berlomba-lomba mengelola sumber daya alam yang dimilikinya demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya masing-masing. Hal yang sama dilaksanakan juga oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Alor, sebagai salah satu daerah otonomi berstatus Kabupaten di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang secara nasional masih tergolong kabupaten tertinggal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka Kabupaten Alor merupakan salah satu dari 112 kabupaten/Kota perbatasan, salah satu dari 183 Kabupaten Tertinggal, salah satu dari 92 Pulau-pulau kecil, terpencil, terluar, terdepan, salah satu dari Kabupaten yang rawan gempa tektonik kategori bahaya 2 dan salah satu dari 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (RPJMD Kabupaten Alor 2015-2019). Sebagai kabupaten tertinggal, tentunya segala potensi sumberdaya alam yang dimiliki kabupaten Alor perlu dikelola dan dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Potensi sumberdaya alam yang terbarukan maupun tidak terbarukan tersebar diseluruh wilayah Kabupaten Alor, diantaranya meliputi potensi perikanan, pariwisata, perkebunan, pertambangan, kehutanan, sampai pada adat istiadat yang beragam dengan berbagai suku serta bahasa yang bervariasi, tentunya sebagai modal tersendiri untuk dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar-besanya kesejahterann masyarakat Kabupaten Alor.
Salah satu sumberdaya alam tidak terbarukan yang ada di Kabupaten Alor adalah potensi pertambangan yang meliputi bahan galian mineral logam seperti emas, perak, tembaga dan galena, bahan galian mineral bukan logam yang meliputi gypsum dan pasir kuarsa serta bahan galian batuan misalnya tanah liat, pasir dan batu yang sering digunakan sebagai bahan bangunan bagi masyarakat Kabupaten Alor. Hampir semua potensi pertambangan yang ada masih dalam tahapan eksplorasi atau penyelidikan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas potensi bahan mineral tersebut. Salah satu potensi pertambangan yang sudah dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat Kabupaten Alor selama ini adalah pasir dan batu untuk bahan bangunan. Potensi pasir dan batu tersebar hampir di seluruh wilayah Kecamatan di Kabupaten Alor, termasuk di pesisir pantai yang juga dijadikan lokasi pengambilan dan penambangan pasir oleh masyarakat sekitar. Penambangan pasir di pinggir pantai dapat berdampak pada kerusakan lingkungan pesir seperti meningkatnya abrasi pantai di beberapa wilayah pesisir Kabupaten Alor.
Kegiatan penambangan pasir pantai oleh masyarakat wilayah pesisir masih terus berlangsung sampai saat ini dan terjadi di beberapa wilayah yang seharusnya menjadi area larangan penambangan pasir karena disamping telah terjadi kerusakan lingkungan namun di wilayah itu juga merupakan wilayah pantai wisata yang seharusnya dijaga dan dipelihara nilai keindahannya. Gambar 1. menunjukkan kegiatan penambangan pasir pantai di salah satu wilayah pesisir Kabupaten Alor. Apabila kegiatan penambangan pasir pantai terus menerus dilakukan maka sudah dipastikan bahwa tingkat kerusakan lingkungan akan semakin meningkat dan akhirnya akan merugikan masyarakat di sekitar wilayah itu sendiri pada khususnya dan masyarakat kabupaten Alor pada umumnya.


Gambar 1. Kegiatan Penambangan pasir pantai di salah satu
wilayah pesisir Kabupaten Alor.

2.        KONDISI UMUM WILAYAH KABUPATEN ALOR
Kabupaten Alor merupakan salah satu dari 22 kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang secara tipologi wilayah termasuk wilayah kepulauan, walaupun secara yuridis bukan merupakan kabupaten kepulauan. Wilayah Kabupaten Alor terdiri dari 15 pulau dengan 9 diantaranya berpenghuni yaitu Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Pura, Pulau Tereweng, Pulau Buaya, Pulau Ternate, Pulau Kangge, Pulau Kepa dan Pulau Kura, sedangkan 6 lainnya belum berpenghuni yaitu Pulau Kapas, Pulau Lapang, Pulau Batang, Pulau Rusa, Pulau Kambing dan Pulau Sika. Wilayah Kabupaten Alor secara astronomis terletak pada 806’ Lintang Selatan – 8036’ Lintang Selatan dan 123048’ Bujur Timur - 125048’ Bujur Timur, dengan batas administrasinya meliputi sebelah utara dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Selat Ombai, sebelah timur dengan Selat Wetar dan perairan Republik Demokrat Timor Leste serta sebelah barat dengan Selat Alor. Secara administratif, Kabupaten Alor terdiri dari 17 Kecamatan, 175 Desa/Kelurahan, dengan jumlah penduduk sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 berjumlah 196.179 jiwa, dan 42.823 Kepala Keluarga, dengan kepadatan penduduk 68 jiwa per km2.
Kabupaten Alor memiliki Luas Wilayah 13.638,26 Km² yang terdiri dari daratan seluas 2.928,87 Km² dan perairan seluas 10.773,62 Km² dengan panjang garis pantai sepanjang 287,10 Km. Luas wilayah daratannya hanya kurang lebih 25% dari luas wilayah lautannya karena wilayah Kabupaten Alor yang terdiri dari beberapa pulau. Secara topografi, wilayah kabupaten Alor sebagian besar merupakan daerah dengan pegunungan yang tinggi, dibatasi oleh lembah juga jurang yang cukup dalam dan sekitar 60 persen wilayahnya mempunyai tingkat kemiringan di atas 40 persen, sedangkan sisanya merupakan wilayah dataran pantai atau dataran aluvial dan wilayah perbukitan sedang sampai tinggi.
Sebagian besar penduduk Kabupaten Alor mempunyai mata pencaharian dalam bidang pertanian lahan kering dan perikanan skala kecil sebagai petani dan nelayan, disamping itu masih ada penduduk di beberapa wilayah tertentu yang masih hidup dari lading atau kebun secara berpindah-pindah dengan cara membabat dan membakar semak belukar. Mata pencaharian sebagian kecil penduduk kabupaten Alor juga ada yang masih bersifat non permanen atau tidak tetap, tergantung dari musim, apabila musim hujan menjadi petani dengan menggarap lahan-lahan kering yang ada, namun apabila pada musim kering maka dapat berprofesi selain itu misalnya sebagai tukang ojek, nelayan, atau sebagai pengumpul pasir dan batu di pantai dan muara sungai.

3.        PENAMBANGAN PASIR DI PESISIR PANTAI KABUPATEN ALOR
Kegiatan penambangan bahan galian batuan terutama pasir di pesisir pantai terjadi di beberapa wilayah pantai Kabupaten Alor. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai tempat tinggal di sekitar wilayah pantai dengan menjadikan aktivitas penambangan pasir di pantai atau dimuara sungai sebagai salah satu mata pencaharian mereka. Kegiatan penambangan yang dilakukan merupakan kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI), karena dilakukan tanpa meperoleh Izin Usaha Pertambangan atau Izin Pertambangan Rakyat dari Bupati sesuai amanat UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan batubara. Lokasi yang dijadikan lokasi penambangan tersebut juga bukan merupakan Wilayah Pertambangan (WP) baik Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) maupun Wilayah Pertambanga Rakyat (WPR).
Saat ini terdapat beberapa lokasi penambangan bahan galian batuan berupa pasir dan batu yang terdata oleh Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor sebagai lokasi kegiatan PETI  yang tersebar di beberapa Desa dan Kecamatan (Tabel 2.1). Kegiatan penambangan telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir dan di beberapa tempat masih terus berlangsung hingga saat ini, walaupun dengan jumlah penambang yang semakin berkurang. Pada beberapa lokasi penambangan sudah dilakukan upaya penertiban kegiatan PETI oleh Pemerintah Daerah melalui berbagai macam cara yang dapat mengurangi kegiatan Penambangan pasir di wilayah pantai tersebut, namun dibeberapa tempat kegiatan penambangan masih tetap terjadi walaupun dengan intensitas dan jumlah penambang yang semakin berkurang.
Kegiatan penambangan pasir dilakukan secara tradisional dengan peraatan sederhana seperti cangkul, linggis, sekop dan lain-lain. Pelaksanaanya dilakukan dengan cara setiap orang menggali dan mengumpulkan material pasir sendiri-sendiri kemudian ditumpuk dan dijual kepada pembeli yang datang membawa kendraan truck atau mobil pick up. Ada juga beberapa orang penambang membentuk satu kelompok penambang untuk bersama-sama mengumpulkan pasir untuk dijual kepada pembeli, kemudian hasilnya dibagi bersama anggota kelompok tersebut. Walaupun kegiatan penambangan ini dilaksanakan secara sederhana namun dengan intensitas yang cukup tinggi sehingga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan pantai.    
Wilayah pesisir dengan segala sumberdaya yang dimilikinya merupakan salah satu wilayah budidaya dan diusahakan oleh penduduk kabupaten Alor yang mendiami wilayah tersebut. Wilayah Pesisir (coastal area) merupakan wilayah yang berada diantara daratan dan perairan yang berdampingan dan berhubungan dengan garis pantai, yang mana dibagian daratan dibatasi sampai dengan bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh tenaga dan atau pasang surut air laut, dan di bagian perairan laut dibatasi oleh pengaruh massa air, sedimentasi dan atau kekeruhan dari daratan (Otto S. R. Ongkosongo, 2011). Sesuai UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah pesisir dan wilayah pantai adalah dua hal yang berbeda, wilayah pantai dimulai dari titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah daratan sampai batas tertinggi pasang, dengan demikian wilayah pantai merupakan bagian dari wilayah pesisir.

Tabel 2.1. Data Kegiatan Penambangan Tanpa Izin (PETI) di Pesisir Pantai
NO
Jenis Bahan galian
Lokasi Penambangan
Wilayah
Desa, Kecamatan
1.
Pasir dan Batu
Muara sungai Kikilai
Kel. Moru, Alor barat daya
2.
Pasir
Pantai Letley dan Baumi
Lembur timur, Lembur
3.
Pasir
Pantai Maimol, Pantai Mali
Kel. Kabola, Kabola
4.
Pasir
Pantai Ilawa
Alila timur, Kabola
5.
Pasir
Pantai Deere
Pantai Deere, Kabola
6.
Pasir
Pantai Sabanjar
Alor Besar, Alor barat laut
7.
Pasir dan batu
Pantai Kokar
Kel. Adang, Alor barat laut
8.
Pasir
Pantai Weileng
Aimoli, Alor barat laut
9.
Pasir
Pantai Makasar
Alor Kecil, Alor barat laut
10.
Pasir dan batu
Pantai Likwatang
Likwatang, Alor tengah utara
11.
Pasir dan batu
Pantai Lembur barat
Lembur barat, Lembur
  Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor, 2013

Wilayah Pesisir Kabupaten Alor mempunyai beberapa nilai pemanfaatan yang ditetapkan dalam PERDA Kabupaten Alor Nomor 2 tahun 2013 tentang Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Alor Tahun 2013 – 2033 dalam hal Rencana pola ruang wilayah yang terbagi atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk kawasan lindung, wilayah pesisir sebagian besar masuk dalam kawasan perlindungan setempat berupa kawasan simpadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk kawasan budidaya, wilayah pesisir masuk dalam beberapa kategori peruntukan yaitu permukiman, perikanan dan pariwisata. Oleh karena itu di beberapa lokasi PETI dalam hal ini penambangan pasir sebenarnya bukan merupakan wilayah peruntukan pertambangan, sehingga kegiatan ini telah melanggar beberapa peraturan perundangan sekaligus.
Kegiatan penambangan pasir pantai yang dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor ekonomi berupa meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat yang tidak diimbangi dengan meningkatnya kesejahteraan mereka karena ketiadaan mata pencaharian lain yang dapat dijadikan alternatif untuk menghidupi kehidupan mereka. Selain itu faktor meningkatnya permintaan material pasir dan batu seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di Kabupaten Alor juga turut mempengaruhi minat masyarakat untuk melakukan kegiatan penambangan tersebut. faktor lain adalah kurangnya upaya penertiban kegiatan PETI melalui penegakan hukum yang masih terasa lemah sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para penambang turut mempengaruhi maraknya kegiatan penambangan pasir pantai yang sebenarnya ilegal dan dapat dikenai sangsi perdata maupun pidana kepada siapapun pelakunya.
Dengan tetap berlangsungnya kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi tentunya akan berdampak pada semakin tingginya tingkat kerusakan lingkungan yang terjadi, sehingga pada akhirnya masyarakat sekitar yang merasakan kerugian akibat dampak kerusakan lingkungan yang ada. Cepat atau lambat kegiatan penambangan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan tersebut akan berdampak pada tingginya risiko terjadinya bencana di wilayah tersebut.

4.        DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN PASIR DI PESISIR PANTAI
Kegiatan penambangan pasir pantai yang merupakan komoditas tidak terbarukan atau non renewable akan berdampak pada berbagai berbagai sektor kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar yang meliputi aspek abiotic, biotic dan cultere (ABC). Dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dampak lingkungan diartikan sebagai pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan, sementara Soemarwoto (2014) mendefinisikan dampak sebagai suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas di mana aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik, dan biologi. Dalam hal ini dampak kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai dapat memberikan pengaruh perubahan pada lingkungan, dapat berupa dampak yang bersifat biofisik dan bersifat sosial, ekonomi dan budaya.
Dampak penambangan pasir yang menimbulkan perubahan pada lingkungan dapat berupa dampak positif atau nilai manfaat dan dampak negatif atau yang merugikan. Apabila nilai dampak negatifnya lebih dominan dari dampak positifnya maka sudah sepantasnya kegiatan penambangan pasir pantai tersebut sebaiknya di hentikan demi kepentingan bersama. Dampak negatif yang kemungkinan terjadi perlu diupayakan pengelolaannya sehingga dapat dicegah, dikendalikan atau ditanggulangi dampak tersebut agar tidak semakin besar tingkat kerusakan dan kerugiannya.  

4.1. Dampak Positif Penambangan Pasir di Pesisir Pantai
         egiatan penambangan pasir di pesisir pantai yang dilaksanakan selama ini dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat sebagai penambang pasir dan kepada masyarakat kabupaten alor dalam hal pasokan bahan galian untuk menunjang kegiatan pembangaunan. Bagi masyarakat penambang, kegiatan ini merupakan sumber penghasilan mereka yang berujung pada peningkatkan kesejahteraan keluarga. Apabila kegiatan ini dihentikan maka harus ada alternatif sumber penghasilan mereka sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial ditengah masyarakat. Bagi masyarakat umum, hasil atau product penambangan pasir ini dapat dijadikan alternatif pemilihan bahan baku untuk melaksanakan kegiatan pembangunan fisik, sehingga secara tidak langsung hasil penambangan ini turut mendukung kegiatan pembangunan di Kabupaten Alor.
     
4.2. Dampak Negatif Penambangan Pasir di Pesisir Pantai
Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan pasir pantai dapat ditinjau dari beberapa aspek perubahan lingkungan, diantaranya aspek biofisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Beberapa dampak negatif kegiatan penambangan pasir pantai ini sebagai berikut :
a.       Perubahan Kondisi Fisik Pantai
Kegiatan penambangan pasir pantai yang dilakukan selama ini mengakibatkan perubahan kondisi fisik pantai berupa banyaknya cekungan atau lubang bekas galian pasir sehingga menimbulkan tingkat abrasi yang tinggi. Kerusakan kondisi fisik pantai menyebabkan abrasi pantai atau perubahan garis pantai yang semakin menjorok ke daratan. Di beberapa lokasi garis pantai semakin mendekati pemukiman warga, mengancam kondisi fisik perumahan, akses jalan dan jemabatan yang selama ini digunakan (Gambar 2). Kerusakan fisik pantai sekaligus  akan mengurangi nilai keindahan atau estetika pantai yang selama ini menjadi salah satu komoditas andalan dalam kepariwisataan di Kabupaten Alor


Gambar 2. Jembatan rusak akibat kegiatan penambangan pasir di muara sungai

b.      Berkurangnya Sumberdaya Laut
Kegiatan penambangan pasir di pantai dapat merusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang di pinggir pantai, hal ini akan berdampak pada menurunnya kuantitas ikan yang diperoleh oleh nelayan sekitar dari pinggir pantai. Semakin banyak pasir pantai yagg ditambang maka akan samakin tinggi kerusakan pada habitat mangrove yang ada dipesisir pantai. Penambangan pasir juga menyebabkan rusaknya terumbu karang yang terdapat di wilayah pesisir karena para penambang biasanya memanfaatkan surutnya air laut untuk melakukan penambangan pasir di wilayah yang lebih jauh kearah laut dari garis pantai.  Rusaknya manrove dan terumbu karang otomati akan berdampak pada menurunnya jumlah ikan dan udang yang habitatnya di erairan dangkal berasosiasi dengan mangrove dan terumbu karang.
c.       Menurunnya Tingkat Pendapatan Nelayan
Kegiatan penambangan pasir di pantai disatu sisi meningkatan pendapatan para penambang pasir namun disisi lain akan berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan nelayan tangkap yang biasanya mencari ikan dan udang di daerah pesisir pantai. Menurunnya jumlah ikan dan udang yang terdapat di pesisir pantai otomatis akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat nelayan. Apabila sumber daya nelayan itu mampu dalam hal alat tangkap maka dapat beralih menangkap ikan di wilayah lautan dalam, namun akan bermasalah bagi nelayan kecil dengan keterbatasan alat tangkap. 
d.      Meningkatnya Budaya Konsumtif Masyarakat Penambang Pasir
Dengan adanya kegiatan penambangan pasir ini memungkinkan masyarakat penambang pasir memiliki peningkatan pendapatan, untuk itu masyarakat yang biasanya hidup sederhana apa adanya sekarang menjadi lebih konsumtif karena adanya penghasilan yang lebih besar dibanding sebelumnya. Para penambang berpikir bahwa apabila uangnya habis maka tinggal melakukan kegiatan penggalian pasir yang tersebar di sepanjang pantai tanpa ada yang melarangnya atau meminta upah atas penambangan pasir tersebut.       

5.        MITIGASI DAMPAK LINGKUNGAN AKIBAT PENAMBANGAN PASIR
Kegiatan Penambangan pasir pantai di beberapa wilayah kabupaten Alor telah menimbulkan dampak negatif yang perlu diantisipasi dalam pengendaliannya. Setiap kegiatan atau usaha yang berpotensi menimbulkan dampak baik dampak peting maupun yang tidak penting perlu dilakukan upaya pengelolaannya sehingga dampak yang timbul dapat ditoleransi sesuai daya dukung lingkungan. Dalam melakukan upaya pengelolaan lingkungan, khusunya dalam hal mitigasi dampak lingkungan yang terjadi akibat suaatu kegiatan, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan teknologi, pendekatan sosial ekonomi dan pendekatan institusi atau kelembagaan yang terkait. Ketiga pendekatan tersebut dapat diterapkan secara sendiri-sendiri maupun secara terpadu dalam upaya pengelolaan kegiatan penambangan pasir di wilayah pesisir Kabupaten Alor.

5.1.  Pendekatan Teknologi
Pendekatan teknologi merupakan pendekatan pengelolaan lingkungan dengan cara penggunaan teknologi untuk dapat meminimalkan dampak lingkungan dan secara ekonomis tidak menimbulkan kerugian bagi pelaksana kegiatan atau pemrakarsa. Pendekatan teknologi dalam pengelolaan lingkungan biasanya dilaksanakan pada tahapan konstruksi dan pascakonstruksi, untuk itu pendekatan teknologi erat kaitannya dengan mitigasi secara struktural yaitu upaya mitigasi dengan pembangunan sarana atau prasarana fisik.
            Pemerintah Kabupaten Alor telah melakukan pendekatan teknologi dalam upaya mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir pantai diantaranya berupa pembuatan tanggul pengendali abrasi dan pemecah gelmbang laut. Selain itu upaya lain dengan cara vegetatif yaitu menanam pohon pelindung pantai seperti mangrove atau bakau. Kedua upaya tersebut sudah coba dilakukan oleh pemerintah kabupaten Alor di beberapa lokasi penambangan pasir pantai yang telah menimbulkan dampak abrasi pantai. Upaya ini belum menyelesaikan akar permasalahan utama karena kegiatan penambangan masih terus dilakukan oleh masyakat sekitar.

5.2.  Pendekatan Sosial ekonomi
Pendekatan sosial ekonomi berkaitan dengan upaya aspek sosial dan ekonomi dari pelaksana kegiatan dan penerima dampak kerugian tersebut. upaya pendekatan ini dapat dilaksanakan pada tahapan prakonstruksi (persiapan), konstruksi (pekerjaan fisik) dan tahap pascakonstruksi (operasional). Pendekatan sosial ekonomi erat kaitannya dengan pekerjaan non struktural, walaupan ada beberapa cara pendekatan sosial ekonomi yang mengarah ke pekerjaan struktural / fisik. Pendekatan sosial ekonomi tidak hanya melibatkan masyarakat penambang tetapi juga melibatkan masyarakat Desa secara keseluruhan sehingga dapar berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan pesisir.   
Pemerintah Kabupaten Alor telah melakukan pendekatan sosial ekonomi dalam upaya pengelolaan lingkungan dan mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir diantaranya berupa :
  1. Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar lokasi penambangan untuk tidak melakukan kegiatan penambangan pasir pantai karena dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan ini.
  2. Pemberian bantuan modal usaha kecil bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari kegiatan penambangan pasir pantai. Modal usaha ini disertai dengan pelatihan ketrampilan untuk memulai kegiatan produktif sehingga diharapkan masyarakat penambang tidak lagi kembali melakukan kegiatan penambangan pasir pantai karena sudah memiliki mata pencaharian alternative yang menjanjikan.
  3.  Melakukan pemasangan rambu-rambu atau tanda larangan penambangan pasir pantai di lokasi tertentu sehingga dapat dijadikan patokan oleh aparat setempat dalam melakukan tindakan pencegahan dan penindakan hokum nantinya.

Beberapa upaya pendekatan sosial ekonomi diatas memang sedikit banyak mengurangi jumlah kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi, namun efektifitas pelaksanaannya masih belum optimal karena upaya tersebut masih berlangsung secara sporadis dan belum terlaksana secara terpadu. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari yang tidak memiliki mata pencaharian lain.

5.3.  Pendekatan Institusi (kelembagaan)
Pendekatan Institusi atau kelembagaan dengan melibatkan instansi-instansi yang berkepentingan dan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, meliputi perencanaan kegiatan, pengawasan hasil kerja pengelolaan lingkungan hidup dan pelaporannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Beberapa upaya pendekatan institusi telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Alor dalam upaya pengelolaan lingkungan dan mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir, baik yang dilakukan oleh satu instansi maupun dengan keterlibatan beberapa intansi dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan, diantaranya berupa :
  1. Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Alor melakukan sosialisasi dampak penambangan pasir pantai bersama-sama dengan Dinas Pertambangan dan Energi dan pihak Satuan Polisi Pamong Praja sehingga materi sosialisasi dapat lebih komprehensif dimulai dari dampak kerusakan, upaya pengelolaan lingkungan, kegiatan penambangan yang ramah lingkungan dan upaya penegakan hukumnya.
  2.    BLHD bekerjasama dengan Dinas Pertambangan dan Energi dan DInas Pekerjaan umum melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada pelaksana jasa konstruksi se-Kabupaten Alor untuk tidak memanfaatkan dan membeli bahan galian (pasir dan batu) yang ditambang di pinggir pantai. Hal Ini akan mengurangi tingkat permintaan pasir dan batu dari hasil penambangan di pantai sehingga dapat mengurangi minat masyarakat untuk kembali melakukan kegiatan penambangan.
  3.  Upaya pengawasan kegiatan penambangan pasir dimulai dari unsur Pemerintahan yang paling rendah yaitu RT, RW, sampai ke tingkat Kabupaten sehingga pengawasan dapat setiap saat dilakukan dan meminimalisasi kurangnya pengawasan.
  4. Upaya penegakkan aturan perundangan yang telah dibuat berkaian dengan kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai. Beberapa PERDA dan PERBUP telah ditetapkan Pemerintah Kabupaten Alor seperti PERDA RTRW, PERDA Pengelolaan Pertambangan mineral dan Batubara, yang intinya melarang kegiatan pertambangan pasir di pesisir pantai, untuk itu upaya penegakkan aturan perlu dilakukan dengan keterlibatan aparat terkait untuk memberikan efek jera kepada pelaku kegiatan penambangan pasir pantai.

Upaya pendekatan secara institusi perlu dilakukan karena masalah pengelolaan lingkungan bukanlah urusan instansi BLHD semata atau dalam hal penambangan itu merupakan domainnya Dinas Pertambangan dan Energi, urusan pengelolaan lingkungan merupakan urusan bersama yang butuh keterlibatan lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di Daerah. Upaya pendekatan ini juga pasti mengurangi jumlah penambangan pasir pantai karena dapat disertai dengan upaya penindakan hukum bagi yang melanggar ketentuan peraturan perundangan, namun kegiatan penambangan pasir masih tetap berlangsung di beberapa lokasi dengan permasalahan yang berbeda-beda. Untuk itu diperlukan suatu upaya pengelolaan lingkungan secara terpadu yang melibatkan segenap pemangku kepentingan dalam pengelolaan lingkungan itu sendiri.

5.4.  Pendekatan pengelolaan lingkungan secara terpadu
Upaya mitigasi dampak lingkungan akibat penambangan pasir di wilayah pantai yang telah dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Alor dengan beberapa pendekatan yang ada menunjukkan belum optimalnya hasil yang diperoleh karena pelaksanaannya secara sporadis dan terkesan sektoral, tidak melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada mulai dari masyarakat, pemerintah dan pihak swasta. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengamanatkan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa dalam suatu pengelolaan lingkungan diperlukan upaya secara terpadu dengan keterlibata semua pemangku kepentingan, dimulai dari tahapan perencanaan sampai pada upaya penegakkan hukum.
Pengelolaan lingkungan pesisir yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Alor sebaiknya dengan konsep pengelolaan pesisir terpadu yaitu konsep pembangunan yang melibatkan semua stakeholder (Pemerintah, masyarakat dan swasta) beserta kepentingannya di kawasan pesisir sehingga tidak lagi bersifat reaksional dan berorientasi pada masalah (problem oriented approach) menjadi terencana, bersifat  pre-emptive dan menggunakan pendekatan pengelolaan (Subandono Diposaptono, 2003). Upaya pengelolaan ini diharapkan dapat menyelesaikan akar permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir yang sebenarnya berupa rendahnya tingkat kesejahtraan masyarakat akibat dari ketiadaan pekerjaan yang dapat menghidupi dirinya dan keluarga.

6.        KESIMPULAN
Kegiatan Penambangan pasir di pesisir pantai wilayah Kabupaten Alor berdampak pada perubahan lingkungan sekitar yang dapat berupa unsur abiotic, biotic dan culture. Dampak yang terjadi lebih dominan dampak negatifnya daripada dampak positif atau nilai manfaat bagi masyarakat luas. Untuk itu perlu diupayakan langkah mitigasi dengan pengelolaan lingkungan secara terpadu yang melibatkan semua pemangku kepentingan di Daerah agar dapat meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan yang memungkinkan terjadi dari aktivitas penambangan tersebut.

7.        SARAN
Pemerintah Daerah perlu menghentikan kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai Kabupaten Alor agar tidak semakin menimbulkan kerusakan lingkungan pesisir dengan melakukan upaya pengelolaan lingkungan secara terpadu agar tidak menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi di kemudian hari.












DAFTAR PUSTAKA


Arisandi, M. H, dkk, 2014, Eksternalitas Penambangan Pasir Pantai Secara Tradisional Terhadap Ekosistem Mangrove dan Sosial Ekonomi, Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan, Vol. 1 Nomor 1 tahun 2014, Jakarta  
Manik, K.E.S, 2003, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta.
Ongkosongo, Otto S. R, 2011, Strategi Menghadapi Risiko Bencana di Wilayah Pesisir Akibat Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Global, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Subandono Diposaptono, 2003, Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia, Jurnal Alami Vol 8 Nomor 2 Tahun 2003, Jakarta.
Supriharyono, 2000, Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudarmadji, 2015, Mitigasi Dampak Lingkungan, Materi Kuliah Manajemen Lingkungan, Magister Manajemen Bencana SPS UG, Yogyakarta.

Akses Internet

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.

Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor 2 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor Tahun 2013 – 2033.

No comments:

Post a Comment

Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan dan Pembangunan Tahun 2020

UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa dalam perencanaan pembangunan baik daerah maup...