MITIGASI
DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN PESISIR AKIBAT KEGIATAN PENAMBANGAN PASIR PANTAI DI
KABUPATEN ALOR
1.
LATAR
BELAKANG
Pemerintah Indonesia
telah menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah sejak awal tahun 2000an,
untuk itu setiap daerah berlomba-lomba mengelola sumber daya alam yang
dimilikinya demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya masing-masing. Hal yang
sama dilaksanakan juga oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Alor, sebagai salah
satu daerah otonomi berstatus Kabupaten di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur
yang secara nasional masih tergolong kabupaten tertinggal. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, maka Kabupaten Alor merupakan salah satu dari 112 kabupaten/Kota
perbatasan, salah satu dari 183 Kabupaten Tertinggal, salah satu dari 92
Pulau-pulau kecil, terpencil, terluar, terdepan, salah satu dari Kabupaten yang
rawan gempa tektonik kategori bahaya 2 dan salah satu dari 26 Pusat Kegiatan
Strategis Nasional (RPJMD Kabupaten Alor 2015-2019). Sebagai kabupaten
tertinggal, tentunya segala potensi sumberdaya alam yang dimiliki kabupaten
Alor perlu dikelola dan dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Potensi sumberdaya alam yang terbarukan maupun tidak terbarukan
tersebar diseluruh wilayah Kabupaten Alor, diantaranya meliputi potensi
perikanan, pariwisata, perkebunan, pertambangan, kehutanan, sampai pada adat
istiadat yang beragam dengan berbagai suku serta bahasa yang bervariasi,
tentunya sebagai modal tersendiri untuk dikembangkan dan dimanfaatkan bagi
sebesar-besanya kesejahterann masyarakat Kabupaten Alor.
Salah satu sumberdaya
alam tidak terbarukan yang ada di Kabupaten Alor adalah potensi pertambangan
yang meliputi bahan galian mineral logam seperti emas, perak, tembaga dan
galena, bahan galian mineral bukan logam yang meliputi gypsum dan pasir kuarsa
serta bahan galian batuan misalnya tanah liat, pasir dan batu yang sering
digunakan sebagai bahan bangunan bagi masyarakat Kabupaten Alor. Hampir semua
potensi pertambangan yang ada masih dalam tahapan eksplorasi atau penyelidikan
untuk mengetahui kuantitas dan kualitas potensi bahan mineral tersebut. Salah
satu potensi pertambangan yang sudah dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh
masyarakat Kabupaten Alor selama ini adalah pasir dan batu untuk bahan
bangunan. Potensi pasir dan batu tersebar hampir di seluruh wilayah Kecamatan
di Kabupaten Alor, termasuk di pesisir pantai yang juga dijadikan lokasi
pengambilan dan penambangan pasir oleh masyarakat sekitar. Penambangan pasir di
pinggir pantai dapat berdampak pada kerusakan lingkungan pesir seperti
meningkatnya abrasi pantai di beberapa wilayah pesisir Kabupaten Alor.
Kegiatan penambangan
pasir pantai oleh masyarakat wilayah pesisir masih terus berlangsung sampai saat
ini dan terjadi di beberapa wilayah yang seharusnya menjadi area larangan
penambangan pasir karena disamping telah terjadi kerusakan lingkungan namun di
wilayah itu juga merupakan wilayah pantai wisata yang seharusnya dijaga dan
dipelihara nilai keindahannya. Gambar 1. menunjukkan kegiatan penambangan pasir
pantai di salah satu wilayah pesisir Kabupaten Alor. Apabila kegiatan
penambangan pasir pantai terus menerus dilakukan maka sudah dipastikan bahwa
tingkat kerusakan lingkungan akan semakin meningkat dan akhirnya akan merugikan
masyarakat di sekitar wilayah itu sendiri pada khususnya dan masyarakat
kabupaten Alor pada umumnya.
Gambar 1. Kegiatan Penambangan pasir pantai di salah
satu
wilayah pesisir Kabupaten Alor.
2.
KONDISI
UMUM WILAYAH KABUPATEN ALOR
Kabupaten
Alor merupakan salah satu dari 22 kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang secara tipologi wilayah termasuk wilayah kepulauan, walaupun secara
yuridis bukan merupakan kabupaten kepulauan. Wilayah Kabupaten Alor terdiri
dari 15 pulau dengan 9 diantaranya berpenghuni yaitu Pulau Alor, Pulau Pantar,
Pulau Pura, Pulau Tereweng, Pulau Buaya, Pulau Ternate, Pulau Kangge, Pulau
Kepa dan Pulau Kura, sedangkan 6 lainnya belum berpenghuni yaitu Pulau Kapas,
Pulau Lapang, Pulau Batang, Pulau Rusa, Pulau Kambing dan Pulau Sika. Wilayah
Kabupaten Alor secara astronomis terletak pada 806’ Lintang Selatan
– 8036’ Lintang Selatan dan 123048’ Bujur Timur - 125048’
Bujur Timur, dengan batas administrasinya meliputi sebelah utara dengan Laut
Flores, sebelah selatan dengan Selat Ombai, sebelah timur dengan Selat Wetar
dan perairan Republik Demokrat Timor Leste serta sebelah barat dengan Selat
Alor. Secara administratif, Kabupaten Alor terdiri dari 17 Kecamatan, 175
Desa/Kelurahan, dengan jumlah penduduk sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2012 berjumlah 196.179 jiwa, dan 42.823 Kepala Keluarga, dengan kepadatan
penduduk 68 jiwa per km2.
Kabupaten
Alor memiliki Luas Wilayah 13.638,26 Km² yang terdiri dari daratan seluas 2.928,87
Km² dan perairan seluas 10.773,62 Km² dengan panjang garis pantai sepanjang
287,10 Km. Luas wilayah daratannya hanya kurang lebih 25% dari luas wilayah
lautannya karena wilayah Kabupaten Alor yang terdiri dari beberapa pulau. Secara
topografi, wilayah kabupaten Alor sebagian besar merupakan daerah dengan
pegunungan yang tinggi, dibatasi oleh lembah juga jurang yang cukup dalam dan
sekitar 60 persen wilayahnya mempunyai tingkat kemiringan di atas 40 persen, sedangkan
sisanya merupakan wilayah dataran pantai atau dataran aluvial dan wilayah
perbukitan sedang sampai tinggi.
Sebagian
besar penduduk Kabupaten Alor mempunyai mata pencaharian dalam bidang pertanian
lahan kering dan perikanan skala kecil sebagai petani dan nelayan, disamping
itu masih ada penduduk di beberapa wilayah tertentu yang masih hidup dari
lading atau kebun secara berpindah-pindah dengan cara membabat dan membakar
semak belukar. Mata pencaharian sebagian kecil penduduk kabupaten Alor juga ada
yang masih bersifat non permanen atau tidak tetap, tergantung dari musim,
apabila musim hujan menjadi petani dengan menggarap lahan-lahan kering yang
ada, namun apabila pada musim kering maka dapat berprofesi selain itu misalnya
sebagai tukang ojek, nelayan, atau sebagai pengumpul pasir dan batu di pantai
dan muara sungai.
3.
PENAMBANGAN
PASIR DI PESISIR PANTAI KABUPATEN ALOR
Kegiatan
penambangan bahan galian batuan terutama pasir di pesisir pantai terjadi di
beberapa wilayah pantai Kabupaten Alor. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat yang
mempunyai tempat tinggal di sekitar wilayah pantai dengan menjadikan aktivitas penambangan
pasir di pantai atau dimuara sungai sebagai salah satu mata pencaharian mereka.
Kegiatan penambangan yang dilakukan merupakan kegiatan pertambangan tanpa izin
(PETI), karena dilakukan tanpa meperoleh Izin Usaha Pertambangan atau Izin
Pertambangan Rakyat dari Bupati sesuai amanat UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan
mineral dan batubara. Lokasi yang dijadikan lokasi penambangan tersebut juga
bukan merupakan Wilayah Pertambangan (WP) baik Wilayah Usaha Pertambangan (WUP)
maupun Wilayah Pertambanga Rakyat (WPR).
Saat
ini terdapat beberapa lokasi penambangan bahan galian batuan berupa pasir dan
batu yang terdata oleh Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor sebagai
lokasi kegiatan PETI yang tersebar di
beberapa Desa dan Kecamatan (Tabel 2.1). Kegiatan penambangan telah berlangsung
sejak beberapa tahun terakhir dan di beberapa tempat masih terus berlangsung
hingga saat ini, walaupun dengan jumlah penambang yang semakin berkurang. Pada
beberapa lokasi penambangan sudah dilakukan upaya penertiban kegiatan PETI oleh
Pemerintah Daerah melalui berbagai macam cara yang dapat mengurangi kegiatan
Penambangan pasir di wilayah pantai tersebut, namun dibeberapa tempat kegiatan
penambangan masih tetap terjadi walaupun dengan intensitas dan jumlah penambang
yang semakin berkurang.
Kegiatan
penambangan pasir dilakukan secara tradisional dengan peraatan sederhana
seperti cangkul, linggis, sekop dan lain-lain. Pelaksanaanya dilakukan dengan
cara setiap orang menggali dan mengumpulkan material pasir sendiri-sendiri
kemudian ditumpuk dan dijual kepada pembeli yang datang membawa kendraan truck atau mobil pick up. Ada juga beberapa orang penambang membentuk satu kelompok penambang
untuk bersama-sama mengumpulkan pasir untuk dijual kepada pembeli, kemudian
hasilnya dibagi bersama anggota kelompok tersebut. Walaupun kegiatan
penambangan ini dilaksanakan secara sederhana namun dengan intensitas yang
cukup tinggi sehingga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan pantai.
Wilayah
pesisir dengan segala sumberdaya yang dimilikinya merupakan salah satu wilayah
budidaya dan diusahakan oleh penduduk kabupaten Alor yang mendiami wilayah
tersebut. Wilayah Pesisir (coastal area)
merupakan wilayah yang berada diantara daratan dan perairan yang berdampingan
dan berhubungan dengan garis pantai, yang mana dibagian daratan dibatasi sampai
dengan bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh tenaga dan atau pasang surut
air laut, dan di bagian perairan laut dibatasi oleh pengaruh massa air,
sedimentasi dan atau kekeruhan dari daratan (Otto S. R. Ongkosongo, 2011).
Sesuai UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara Ekosistem
darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah
pesisir dan wilayah pantai adalah dua hal yang berbeda, wilayah pantai dimulai
dari titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah daratan sampai
batas tertinggi pasang, dengan demikian wilayah pantai merupakan bagian dari
wilayah pesisir.
Tabel
2.1. Data Kegiatan Penambangan Tanpa Izin (PETI) di Pesisir Pantai
NO
|
Jenis
Bahan galian
|
Lokasi
Penambangan
|
|
Wilayah
|
Desa,
Kecamatan
|
||
1.
|
Pasir
dan Batu
|
Muara
sungai Kikilai
|
Kel.
Moru, Alor barat daya
|
2.
|
Pasir
|
Pantai
Letley dan Baumi
|
Lembur
timur, Lembur
|
3.
|
Pasir
|
Pantai
Maimol, Pantai Mali
|
Kel.
Kabola, Kabola
|
4.
|
Pasir
|
Pantai
Ilawa
|
Alila
timur, Kabola
|
5.
|
Pasir
|
Pantai
Deere
|
Pantai
Deere, Kabola
|
6.
|
Pasir
|
Pantai
Sabanjar
|
Alor
Besar, Alor barat laut
|
7.
|
Pasir
dan batu
|
Pantai
Kokar
|
Kel.
Adang, Alor barat laut
|
8.
|
Pasir
|
Pantai
Weileng
|
Aimoli,
Alor barat laut
|
9.
|
Pasir
|
Pantai
Makasar
|
Alor
Kecil, Alor barat laut
|
10.
|
Pasir
dan batu
|
Pantai
Likwatang
|
Likwatang,
Alor tengah utara
|
11.
|
Pasir
dan batu
|
Pantai
Lembur barat
|
Lembur
barat, Lembur
|
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi
Kabupaten Alor, 2013
Wilayah
Pesisir Kabupaten Alor mempunyai beberapa nilai pemanfaatan yang ditetapkan
dalam PERDA Kabupaten Alor Nomor 2 tahun 2013 tentang Rencana tata ruang
wilayah Kabupaten Alor Tahun 2013 – 2033 dalam hal Rencana pola ruang wilayah
yang terbagi atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk kawasan lindung,
wilayah pesisir sebagian besar masuk dalam kawasan perlindungan setempat berupa
kawasan simpadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus)
meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk kawasan budidaya,
wilayah pesisir masuk dalam beberapa kategori peruntukan yaitu permukiman,
perikanan dan pariwisata. Oleh karena itu di beberapa lokasi PETI dalam hal ini
penambangan pasir sebenarnya bukan merupakan wilayah peruntukan pertambangan,
sehingga kegiatan ini telah melanggar beberapa peraturan perundangan sekaligus.
Kegiatan
penambangan pasir pantai yang dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor ekonomi berupa
meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat yang tidak diimbangi dengan
meningkatnya kesejahteraan mereka karena ketiadaan mata pencaharian lain yang
dapat dijadikan alternatif untuk menghidupi kehidupan mereka. Selain itu faktor
meningkatnya permintaan material pasir dan batu seiring dengan meningkatnya
kegiatan pembangunan di Kabupaten Alor juga turut mempengaruhi minat masyarakat
untuk melakukan kegiatan penambangan tersebut. faktor lain adalah kurangnya
upaya penertiban kegiatan PETI melalui penegakan hukum yang masih terasa lemah
sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para penambang turut mempengaruhi
maraknya kegiatan penambangan pasir pantai yang sebenarnya ilegal dan dapat
dikenai sangsi perdata maupun pidana kepada siapapun pelakunya.
Dengan
tetap berlangsungnya kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi
tentunya akan berdampak pada semakin tingginya tingkat kerusakan lingkungan
yang terjadi, sehingga pada akhirnya masyarakat sekitar yang merasakan kerugian
akibat dampak kerusakan lingkungan yang ada. Cepat atau lambat kegiatan
penambangan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan tersebut akan
berdampak pada tingginya risiko terjadinya bencana di wilayah tersebut.
4.
DAMPAK
KEGIATAN PENAMBANGAN PASIR DI PESISIR PANTAI
Kegiatan
penambangan pasir pantai yang merupakan komoditas tidak terbarukan atau non renewable akan berdampak pada
berbagai berbagai sektor kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar yang
meliputi aspek abiotic, biotic dan cultere (ABC). Dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dampak lingkungan diartikan sebagai pengaruh
perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau
kegiatan, sementara Soemarwoto (2014) mendefinisikan dampak sebagai suatu
perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas di mana aktivitas
tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik, dan biologi. Dalam hal ini
dampak kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai dapat memberikan pengaruh
perubahan pada lingkungan, dapat berupa dampak yang bersifat biofisik dan
bersifat sosial, ekonomi dan budaya.
Dampak
penambangan pasir yang menimbulkan perubahan pada lingkungan dapat berupa
dampak positif atau nilai manfaat dan dampak negatif atau yang merugikan. Apabila
nilai dampak negatifnya lebih dominan dari dampak positifnya maka sudah sepantasnya
kegiatan penambangan pasir pantai tersebut sebaiknya di hentikan demi kepentingan
bersama. Dampak negatif yang kemungkinan terjadi perlu diupayakan
pengelolaannya sehingga dapat dicegah, dikendalikan atau ditanggulangi dampak
tersebut agar tidak semakin besar tingkat kerusakan dan kerugiannya.
4.1. Dampak
Positif Penambangan Pasir di Pesisir Pantai
egiatan penambangan
pasir di pesisir pantai yang dilaksanakan selama ini dapat memberikan dampak
positif kepada masyarakat sebagai penambang pasir dan kepada masyarakat
kabupaten alor dalam hal pasokan bahan galian untuk menunjang kegiatan
pembangaunan. Bagi masyarakat penambang, kegiatan ini merupakan sumber
penghasilan mereka yang berujung pada peningkatkan kesejahteraan keluarga.
Apabila kegiatan ini dihentikan maka harus ada alternatif sumber penghasilan
mereka sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial ditengah masyarakat. Bagi
masyarakat umum, hasil atau product penambangan
pasir ini dapat dijadikan alternatif pemilihan bahan baku untuk melaksanakan
kegiatan pembangunan fisik, sehingga secara tidak langsung hasil penambangan
ini turut mendukung kegiatan pembangunan di Kabupaten Alor.
4.2. Dampak Negatif Penambangan Pasir di Pesisir
Pantai
Dampak
negatif yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan pasir pantai dapat ditinjau
dari beberapa aspek perubahan lingkungan, diantaranya aspek biofisik, sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat. Beberapa dampak negatif kegiatan penambangan
pasir pantai ini sebagai berikut :
a. Perubahan
Kondisi Fisik Pantai
Kegiatan penambangan pasir pantai yang dilakukan
selama ini mengakibatkan perubahan kondisi fisik pantai berupa banyaknya
cekungan atau lubang bekas galian pasir sehingga menimbulkan tingkat abrasi
yang tinggi. Kerusakan kondisi fisik pantai menyebabkan abrasi pantai atau
perubahan garis pantai yang semakin menjorok ke daratan. Di beberapa lokasi
garis pantai semakin mendekati pemukiman warga, mengancam kondisi fisik
perumahan, akses jalan dan jemabatan yang selama ini digunakan (Gambar 2).
Kerusakan fisik pantai sekaligus akan
mengurangi nilai keindahan atau estetika pantai yang selama ini menjadi salah
satu komoditas andalan dalam kepariwisataan di Kabupaten Alor
Gambar
2. Jembatan rusak akibat kegiatan penambangan pasir di muara sungai
b. Berkurangnya
Sumberdaya Laut
Kegiatan
penambangan pasir di pantai dapat merusakan ekosistem mangrove dan terumbu
karang di pinggir pantai, hal ini akan berdampak pada menurunnya kuantitas ikan
yang diperoleh oleh nelayan sekitar dari pinggir pantai. Semakin banyak pasir
pantai yagg ditambang maka akan samakin tinggi kerusakan pada habitat mangrove
yang ada dipesisir pantai. Penambangan pasir juga menyebabkan rusaknya terumbu
karang yang terdapat di wilayah pesisir karena para penambang biasanya
memanfaatkan surutnya air laut untuk melakukan penambangan pasir di wilayah
yang lebih jauh kearah laut dari garis pantai.
Rusaknya manrove dan terumbu karang otomati akan berdampak pada
menurunnya jumlah ikan dan udang yang habitatnya di erairan dangkal berasosiasi
dengan mangrove dan terumbu karang.
c. Menurunnya
Tingkat Pendapatan Nelayan
Kegiatan
penambangan pasir di pantai disatu sisi meningkatan pendapatan para penambang
pasir namun disisi lain akan berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan nelayan
tangkap yang biasanya mencari ikan dan udang di daerah pesisir pantai.
Menurunnya jumlah ikan dan udang yang terdapat di pesisir pantai otomatis akan
menurunkan tingkat pendapatan masyarakat nelayan. Apabila sumber daya nelayan
itu mampu dalam hal alat tangkap maka dapat beralih menangkap ikan di wilayah
lautan dalam, namun akan bermasalah bagi nelayan kecil dengan keterbatasan alat
tangkap.
d. Meningkatnya
Budaya Konsumtif Masyarakat Penambang Pasir
Dengan
adanya kegiatan penambangan pasir ini memungkinkan masyarakat penambang pasir
memiliki peningkatan pendapatan, untuk itu masyarakat yang biasanya hidup
sederhana apa adanya sekarang menjadi lebih konsumtif karena adanya penghasilan
yang lebih besar dibanding sebelumnya. Para penambang berpikir bahwa apabila
uangnya habis maka tinggal melakukan kegiatan penggalian pasir yang tersebar di
sepanjang pantai tanpa ada yang melarangnya atau meminta upah atas penambangan
pasir tersebut.
5.
MITIGASI
DAMPAK LINGKUNGAN AKIBAT PENAMBANGAN PASIR
Kegiatan
Penambangan pasir pantai di beberapa wilayah kabupaten Alor telah menimbulkan
dampak negatif yang perlu diantisipasi dalam pengendaliannya. Setiap kegiatan
atau usaha yang berpotensi menimbulkan dampak baik dampak peting maupun yang
tidak penting perlu dilakukan upaya pengelolaannya sehingga dampak yang timbul
dapat ditoleransi sesuai daya dukung lingkungan. Dalam melakukan upaya
pengelolaan lingkungan, khusunya dalam hal mitigasi dampak lingkungan yang
terjadi akibat suaatu kegiatan, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan
yaitu pendekatan teknologi, pendekatan sosial ekonomi dan pendekatan institusi
atau kelembagaan yang terkait. Ketiga pendekatan tersebut dapat diterapkan secara
sendiri-sendiri maupun secara terpadu dalam upaya pengelolaan kegiatan
penambangan pasir di wilayah pesisir Kabupaten Alor.
5.1. Pendekatan Teknologi
Pendekatan
teknologi merupakan pendekatan pengelolaan lingkungan dengan cara penggunaan
teknologi untuk dapat meminimalkan dampak lingkungan dan secara ekonomis tidak
menimbulkan kerugian bagi pelaksana kegiatan atau pemrakarsa. Pendekatan
teknologi dalam pengelolaan lingkungan biasanya dilaksanakan pada tahapan
konstruksi dan pascakonstruksi, untuk itu pendekatan teknologi erat kaitannya
dengan mitigasi secara struktural yaitu upaya mitigasi dengan pembangunan
sarana atau prasarana fisik.
Pemerintah Kabupaten Alor telah melakukan pendekatan
teknologi dalam upaya mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan
pasir pantai diantaranya berupa pembuatan tanggul pengendali abrasi dan pemecah
gelmbang laut. Selain itu upaya lain dengan cara vegetatif yaitu menanam pohon
pelindung pantai seperti mangrove atau bakau. Kedua upaya tersebut sudah coba
dilakukan oleh pemerintah kabupaten Alor di beberapa lokasi penambangan pasir
pantai yang telah menimbulkan dampak abrasi pantai. Upaya ini belum
menyelesaikan akar permasalahan utama karena kegiatan penambangan masih terus
dilakukan oleh masyakat sekitar.
5.2. Pendekatan Sosial ekonomi
Pendekatan sosial
ekonomi berkaitan dengan upaya aspek sosial dan ekonomi dari pelaksana kegiatan
dan penerima dampak kerugian tersebut. upaya pendekatan ini dapat dilaksanakan
pada tahapan prakonstruksi (persiapan), konstruksi (pekerjaan fisik) dan tahap
pascakonstruksi (operasional). Pendekatan sosial ekonomi erat kaitannya dengan
pekerjaan non struktural, walaupan ada beberapa cara pendekatan sosial ekonomi
yang mengarah ke pekerjaan struktural / fisik. Pendekatan sosial ekonomi tidak
hanya melibatkan masyarakat penambang tetapi juga melibatkan masyarakat Desa
secara keseluruhan sehingga dapar berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan
pesisir.
Pemerintah Kabupaten
Alor telah melakukan pendekatan sosial ekonomi dalam upaya pengelolaan
lingkungan dan mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir
diantaranya berupa :
- Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar lokasi penambangan untuk tidak melakukan kegiatan penambangan pasir pantai karena dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan ini.
- Pemberian bantuan modal usaha kecil bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari kegiatan penambangan pasir pantai. Modal usaha ini disertai dengan pelatihan ketrampilan untuk memulai kegiatan produktif sehingga diharapkan masyarakat penambang tidak lagi kembali melakukan kegiatan penambangan pasir pantai karena sudah memiliki mata pencaharian alternative yang menjanjikan.
- Melakukan pemasangan rambu-rambu atau tanda larangan penambangan pasir pantai di lokasi tertentu sehingga dapat dijadikan patokan oleh aparat setempat dalam melakukan tindakan pencegahan dan penindakan hokum nantinya.
Beberapa upaya
pendekatan sosial ekonomi diatas memang sedikit banyak mengurangi jumlah
kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi, namun efektifitas
pelaksanaannya masih belum optimal karena upaya tersebut masih berlangsung
secara sporadis dan belum terlaksana secara terpadu. Hal ini dibuktikan dengan
masih adanya kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi dengan alasan
untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari yang tidak memiliki mata
pencaharian lain.
5.3. Pendekatan Institusi (kelembagaan)
Pendekatan
Institusi atau kelembagaan dengan melibatkan instansi-instansi yang
berkepentingan dan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, meliputi
perencanaan kegiatan, pengawasan hasil kerja pengelolaan lingkungan hidup dan
pelaporannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Beberapa upaya
pendekatan institusi telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Alor dalam upaya
pengelolaan lingkungan dan mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat
penambangan pasir, baik yang dilakukan oleh satu instansi maupun dengan
keterlibatan beberapa intansi dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan
lingkungan, diantaranya berupa :
- Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Alor melakukan sosialisasi dampak penambangan pasir pantai bersama-sama dengan Dinas Pertambangan dan Energi dan pihak Satuan Polisi Pamong Praja sehingga materi sosialisasi dapat lebih komprehensif dimulai dari dampak kerusakan, upaya pengelolaan lingkungan, kegiatan penambangan yang ramah lingkungan dan upaya penegakan hukumnya.
- BLHD bekerjasama dengan Dinas Pertambangan dan Energi dan DInas Pekerjaan umum melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada pelaksana jasa konstruksi se-Kabupaten Alor untuk tidak memanfaatkan dan membeli bahan galian (pasir dan batu) yang ditambang di pinggir pantai. Hal Ini akan mengurangi tingkat permintaan pasir dan batu dari hasil penambangan di pantai sehingga dapat mengurangi minat masyarakat untuk kembali melakukan kegiatan penambangan.
- Upaya pengawasan kegiatan penambangan pasir dimulai dari unsur Pemerintahan yang paling rendah yaitu RT, RW, sampai ke tingkat Kabupaten sehingga pengawasan dapat setiap saat dilakukan dan meminimalisasi kurangnya pengawasan.
- Upaya penegakkan aturan perundangan yang telah dibuat berkaian dengan kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai. Beberapa PERDA dan PERBUP telah ditetapkan Pemerintah Kabupaten Alor seperti PERDA RTRW, PERDA Pengelolaan Pertambangan mineral dan Batubara, yang intinya melarang kegiatan pertambangan pasir di pesisir pantai, untuk itu upaya penegakkan aturan perlu dilakukan dengan keterlibatan aparat terkait untuk memberikan efek jera kepada pelaku kegiatan penambangan pasir pantai.
Upaya
pendekatan secara institusi perlu dilakukan karena masalah pengelolaan
lingkungan bukanlah urusan instansi BLHD semata atau dalam hal penambangan itu
merupakan domainnya Dinas Pertambangan dan Energi, urusan pengelolaan
lingkungan merupakan urusan bersama yang butuh keterlibatan lintas sektor dan
lintas pemangku kepentingan di Daerah. Upaya pendekatan ini juga pasti
mengurangi jumlah penambangan pasir pantai karena dapat disertai dengan upaya
penindakan hukum bagi yang melanggar ketentuan peraturan perundangan, namun
kegiatan penambangan pasir masih tetap berlangsung di beberapa lokasi dengan
permasalahan yang berbeda-beda. Untuk itu diperlukan suatu upaya pengelolaan
lingkungan secara terpadu yang melibatkan segenap pemangku kepentingan dalam
pengelolaan lingkungan itu sendiri.
5.4. Pendekatan pengelolaan lingkungan
secara terpadu
Upaya
mitigasi dampak lingkungan akibat penambangan pasir di wilayah pantai yang
telah dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Alor dengan beberapa pendekatan
yang ada menunjukkan belum optimalnya hasil yang diperoleh karena
pelaksanaannya secara sporadis dan terkesan sektoral, tidak melibatkan semua
pemangku kepentingan yang ada mulai dari masyarakat, pemerintah dan pihak
swasta. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup mengamanatkan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa dalam suatu
pengelolaan lingkungan diperlukan upaya secara terpadu dengan keterlibata semua
pemangku kepentingan, dimulai dari tahapan perencanaan sampai pada upaya
penegakkan hukum.
Pengelolaan
lingkungan pesisir yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Alor sebaiknya
dengan konsep pengelolaan pesisir terpadu yaitu konsep pembangunan yang
melibatkan semua stakeholder (Pemerintah,
masyarakat dan swasta) beserta kepentingannya di kawasan pesisir sehingga tidak
lagi bersifat reaksional dan berorientasi pada masalah (problem oriented approach) menjadi terencana, bersifat pre-emptive
dan menggunakan pendekatan pengelolaan (Subandono Diposaptono, 2003). Upaya
pengelolaan ini diharapkan dapat menyelesaikan akar permasalahan yang dihadapi
masyarakat pesisir yang sebenarnya berupa rendahnya tingkat kesejahtraan
masyarakat akibat dari ketiadaan pekerjaan yang dapat menghidupi dirinya dan
keluarga.
6.
KESIMPULAN
Kegiatan
Penambangan pasir di pesisir pantai wilayah Kabupaten Alor berdampak pada
perubahan lingkungan sekitar yang dapat berupa unsur abiotic, biotic dan culture. Dampak yang terjadi lebih
dominan dampak negatifnya daripada dampak positif atau nilai manfaat bagi
masyarakat luas. Untuk itu perlu diupayakan langkah mitigasi dengan pengelolaan
lingkungan secara terpadu yang melibatkan semua pemangku kepentingan di Daerah
agar dapat meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan yang memungkinkan terjadi
dari aktivitas penambangan tersebut.
7.
SARAN
Pemerintah
Daerah perlu menghentikan kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai
Kabupaten Alor agar tidak semakin menimbulkan kerusakan lingkungan pesisir dengan
melakukan upaya pengelolaan lingkungan secara terpadu agar tidak menimbulkan
gejolak sosial dan ekonomi di kemudian hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Arisandi, M. H, dkk, 2014, Eksternalitas Penambangan
Pasir Pantai Secara Tradisional Terhadap Ekosistem Mangrove dan Sosial Ekonomi,
Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan, Vol. 1 Nomor 1 tahun 2014,
Jakarta
Manik, K.E.S, 2003, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta.
Ongkosongo, Otto S. R, 2011, Strategi Menghadapi Risiko Bencana di
Wilayah Pesisir Akibat Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Global, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Subandono Diposaptono, 2003, Mitigasi Bencana Alam
di Wilayah Pesisir dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di
Indonesia, Jurnal Alami Vol 8 Nomor 2 Tahun 2003, Jakarta.
Supriharyono, 2000, Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudarmadji, 2015, Mitigasi Dampak Lingkungan, Materi Kuliah Manajemen Lingkungan,
Magister Manajemen Bencana SPS UG, Yogyakarta.
Akses Internet
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 4.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.
Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor 2 Tahun 2013
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor Tahun 2013 – 2033.