Manajemen Bencana

Sunday, November 29, 2015

Mitigasi Kerusakan Pesisir Akibat Penambangan Pasir di Kabupaten Alor

MITIGASI DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN PESISIR AKIBAT KEGIATAN PENAMBANGAN PASIR PANTAI DI KABUPATEN ALOR


1.        LATAR BELAKANG
Pemerintah Indonesia telah menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah sejak awal tahun 2000an, untuk itu setiap daerah berlomba-lomba mengelola sumber daya alam yang dimilikinya demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya masing-masing. Hal yang sama dilaksanakan juga oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Alor, sebagai salah satu daerah otonomi berstatus Kabupaten di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang secara nasional masih tergolong kabupaten tertinggal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka Kabupaten Alor merupakan salah satu dari 112 kabupaten/Kota perbatasan, salah satu dari 183 Kabupaten Tertinggal, salah satu dari 92 Pulau-pulau kecil, terpencil, terluar, terdepan, salah satu dari Kabupaten yang rawan gempa tektonik kategori bahaya 2 dan salah satu dari 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (RPJMD Kabupaten Alor 2015-2019). Sebagai kabupaten tertinggal, tentunya segala potensi sumberdaya alam yang dimiliki kabupaten Alor perlu dikelola dan dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Potensi sumberdaya alam yang terbarukan maupun tidak terbarukan tersebar diseluruh wilayah Kabupaten Alor, diantaranya meliputi potensi perikanan, pariwisata, perkebunan, pertambangan, kehutanan, sampai pada adat istiadat yang beragam dengan berbagai suku serta bahasa yang bervariasi, tentunya sebagai modal tersendiri untuk dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar-besanya kesejahterann masyarakat Kabupaten Alor.
Salah satu sumberdaya alam tidak terbarukan yang ada di Kabupaten Alor adalah potensi pertambangan yang meliputi bahan galian mineral logam seperti emas, perak, tembaga dan galena, bahan galian mineral bukan logam yang meliputi gypsum dan pasir kuarsa serta bahan galian batuan misalnya tanah liat, pasir dan batu yang sering digunakan sebagai bahan bangunan bagi masyarakat Kabupaten Alor. Hampir semua potensi pertambangan yang ada masih dalam tahapan eksplorasi atau penyelidikan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas potensi bahan mineral tersebut. Salah satu potensi pertambangan yang sudah dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat Kabupaten Alor selama ini adalah pasir dan batu untuk bahan bangunan. Potensi pasir dan batu tersebar hampir di seluruh wilayah Kecamatan di Kabupaten Alor, termasuk di pesisir pantai yang juga dijadikan lokasi pengambilan dan penambangan pasir oleh masyarakat sekitar. Penambangan pasir di pinggir pantai dapat berdampak pada kerusakan lingkungan pesir seperti meningkatnya abrasi pantai di beberapa wilayah pesisir Kabupaten Alor.
Kegiatan penambangan pasir pantai oleh masyarakat wilayah pesisir masih terus berlangsung sampai saat ini dan terjadi di beberapa wilayah yang seharusnya menjadi area larangan penambangan pasir karena disamping telah terjadi kerusakan lingkungan namun di wilayah itu juga merupakan wilayah pantai wisata yang seharusnya dijaga dan dipelihara nilai keindahannya. Gambar 1. menunjukkan kegiatan penambangan pasir pantai di salah satu wilayah pesisir Kabupaten Alor. Apabila kegiatan penambangan pasir pantai terus menerus dilakukan maka sudah dipastikan bahwa tingkat kerusakan lingkungan akan semakin meningkat dan akhirnya akan merugikan masyarakat di sekitar wilayah itu sendiri pada khususnya dan masyarakat kabupaten Alor pada umumnya.


Gambar 1. Kegiatan Penambangan pasir pantai di salah satu
wilayah pesisir Kabupaten Alor.

2.        KONDISI UMUM WILAYAH KABUPATEN ALOR
Kabupaten Alor merupakan salah satu dari 22 kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang secara tipologi wilayah termasuk wilayah kepulauan, walaupun secara yuridis bukan merupakan kabupaten kepulauan. Wilayah Kabupaten Alor terdiri dari 15 pulau dengan 9 diantaranya berpenghuni yaitu Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Pura, Pulau Tereweng, Pulau Buaya, Pulau Ternate, Pulau Kangge, Pulau Kepa dan Pulau Kura, sedangkan 6 lainnya belum berpenghuni yaitu Pulau Kapas, Pulau Lapang, Pulau Batang, Pulau Rusa, Pulau Kambing dan Pulau Sika. Wilayah Kabupaten Alor secara astronomis terletak pada 806’ Lintang Selatan – 8036’ Lintang Selatan dan 123048’ Bujur Timur - 125048’ Bujur Timur, dengan batas administrasinya meliputi sebelah utara dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Selat Ombai, sebelah timur dengan Selat Wetar dan perairan Republik Demokrat Timor Leste serta sebelah barat dengan Selat Alor. Secara administratif, Kabupaten Alor terdiri dari 17 Kecamatan, 175 Desa/Kelurahan, dengan jumlah penduduk sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 berjumlah 196.179 jiwa, dan 42.823 Kepala Keluarga, dengan kepadatan penduduk 68 jiwa per km2.
Kabupaten Alor memiliki Luas Wilayah 13.638,26 Km² yang terdiri dari daratan seluas 2.928,87 Km² dan perairan seluas 10.773,62 Km² dengan panjang garis pantai sepanjang 287,10 Km. Luas wilayah daratannya hanya kurang lebih 25% dari luas wilayah lautannya karena wilayah Kabupaten Alor yang terdiri dari beberapa pulau. Secara topografi, wilayah kabupaten Alor sebagian besar merupakan daerah dengan pegunungan yang tinggi, dibatasi oleh lembah juga jurang yang cukup dalam dan sekitar 60 persen wilayahnya mempunyai tingkat kemiringan di atas 40 persen, sedangkan sisanya merupakan wilayah dataran pantai atau dataran aluvial dan wilayah perbukitan sedang sampai tinggi.
Sebagian besar penduduk Kabupaten Alor mempunyai mata pencaharian dalam bidang pertanian lahan kering dan perikanan skala kecil sebagai petani dan nelayan, disamping itu masih ada penduduk di beberapa wilayah tertentu yang masih hidup dari lading atau kebun secara berpindah-pindah dengan cara membabat dan membakar semak belukar. Mata pencaharian sebagian kecil penduduk kabupaten Alor juga ada yang masih bersifat non permanen atau tidak tetap, tergantung dari musim, apabila musim hujan menjadi petani dengan menggarap lahan-lahan kering yang ada, namun apabila pada musim kering maka dapat berprofesi selain itu misalnya sebagai tukang ojek, nelayan, atau sebagai pengumpul pasir dan batu di pantai dan muara sungai.

3.        PENAMBANGAN PASIR DI PESISIR PANTAI KABUPATEN ALOR
Kegiatan penambangan bahan galian batuan terutama pasir di pesisir pantai terjadi di beberapa wilayah pantai Kabupaten Alor. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai tempat tinggal di sekitar wilayah pantai dengan menjadikan aktivitas penambangan pasir di pantai atau dimuara sungai sebagai salah satu mata pencaharian mereka. Kegiatan penambangan yang dilakukan merupakan kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI), karena dilakukan tanpa meperoleh Izin Usaha Pertambangan atau Izin Pertambangan Rakyat dari Bupati sesuai amanat UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan batubara. Lokasi yang dijadikan lokasi penambangan tersebut juga bukan merupakan Wilayah Pertambangan (WP) baik Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) maupun Wilayah Pertambanga Rakyat (WPR).
Saat ini terdapat beberapa lokasi penambangan bahan galian batuan berupa pasir dan batu yang terdata oleh Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor sebagai lokasi kegiatan PETI  yang tersebar di beberapa Desa dan Kecamatan (Tabel 2.1). Kegiatan penambangan telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir dan di beberapa tempat masih terus berlangsung hingga saat ini, walaupun dengan jumlah penambang yang semakin berkurang. Pada beberapa lokasi penambangan sudah dilakukan upaya penertiban kegiatan PETI oleh Pemerintah Daerah melalui berbagai macam cara yang dapat mengurangi kegiatan Penambangan pasir di wilayah pantai tersebut, namun dibeberapa tempat kegiatan penambangan masih tetap terjadi walaupun dengan intensitas dan jumlah penambang yang semakin berkurang.
Kegiatan penambangan pasir dilakukan secara tradisional dengan peraatan sederhana seperti cangkul, linggis, sekop dan lain-lain. Pelaksanaanya dilakukan dengan cara setiap orang menggali dan mengumpulkan material pasir sendiri-sendiri kemudian ditumpuk dan dijual kepada pembeli yang datang membawa kendraan truck atau mobil pick up. Ada juga beberapa orang penambang membentuk satu kelompok penambang untuk bersama-sama mengumpulkan pasir untuk dijual kepada pembeli, kemudian hasilnya dibagi bersama anggota kelompok tersebut. Walaupun kegiatan penambangan ini dilaksanakan secara sederhana namun dengan intensitas yang cukup tinggi sehingga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan pantai.    
Wilayah pesisir dengan segala sumberdaya yang dimilikinya merupakan salah satu wilayah budidaya dan diusahakan oleh penduduk kabupaten Alor yang mendiami wilayah tersebut. Wilayah Pesisir (coastal area) merupakan wilayah yang berada diantara daratan dan perairan yang berdampingan dan berhubungan dengan garis pantai, yang mana dibagian daratan dibatasi sampai dengan bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh tenaga dan atau pasang surut air laut, dan di bagian perairan laut dibatasi oleh pengaruh massa air, sedimentasi dan atau kekeruhan dari daratan (Otto S. R. Ongkosongo, 2011). Sesuai UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah pesisir dan wilayah pantai adalah dua hal yang berbeda, wilayah pantai dimulai dari titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah daratan sampai batas tertinggi pasang, dengan demikian wilayah pantai merupakan bagian dari wilayah pesisir.

Tabel 2.1. Data Kegiatan Penambangan Tanpa Izin (PETI) di Pesisir Pantai
NO
Jenis Bahan galian
Lokasi Penambangan
Wilayah
Desa, Kecamatan
1.
Pasir dan Batu
Muara sungai Kikilai
Kel. Moru, Alor barat daya
2.
Pasir
Pantai Letley dan Baumi
Lembur timur, Lembur
3.
Pasir
Pantai Maimol, Pantai Mali
Kel. Kabola, Kabola
4.
Pasir
Pantai Ilawa
Alila timur, Kabola
5.
Pasir
Pantai Deere
Pantai Deere, Kabola
6.
Pasir
Pantai Sabanjar
Alor Besar, Alor barat laut
7.
Pasir dan batu
Pantai Kokar
Kel. Adang, Alor barat laut
8.
Pasir
Pantai Weileng
Aimoli, Alor barat laut
9.
Pasir
Pantai Makasar
Alor Kecil, Alor barat laut
10.
Pasir dan batu
Pantai Likwatang
Likwatang, Alor tengah utara
11.
Pasir dan batu
Pantai Lembur barat
Lembur barat, Lembur
  Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor, 2013

Wilayah Pesisir Kabupaten Alor mempunyai beberapa nilai pemanfaatan yang ditetapkan dalam PERDA Kabupaten Alor Nomor 2 tahun 2013 tentang Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Alor Tahun 2013 – 2033 dalam hal Rencana pola ruang wilayah yang terbagi atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk kawasan lindung, wilayah pesisir sebagian besar masuk dalam kawasan perlindungan setempat berupa kawasan simpadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk kawasan budidaya, wilayah pesisir masuk dalam beberapa kategori peruntukan yaitu permukiman, perikanan dan pariwisata. Oleh karena itu di beberapa lokasi PETI dalam hal ini penambangan pasir sebenarnya bukan merupakan wilayah peruntukan pertambangan, sehingga kegiatan ini telah melanggar beberapa peraturan perundangan sekaligus.
Kegiatan penambangan pasir pantai yang dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor ekonomi berupa meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat yang tidak diimbangi dengan meningkatnya kesejahteraan mereka karena ketiadaan mata pencaharian lain yang dapat dijadikan alternatif untuk menghidupi kehidupan mereka. Selain itu faktor meningkatnya permintaan material pasir dan batu seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di Kabupaten Alor juga turut mempengaruhi minat masyarakat untuk melakukan kegiatan penambangan tersebut. faktor lain adalah kurangnya upaya penertiban kegiatan PETI melalui penegakan hukum yang masih terasa lemah sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para penambang turut mempengaruhi maraknya kegiatan penambangan pasir pantai yang sebenarnya ilegal dan dapat dikenai sangsi perdata maupun pidana kepada siapapun pelakunya.
Dengan tetap berlangsungnya kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi tentunya akan berdampak pada semakin tingginya tingkat kerusakan lingkungan yang terjadi, sehingga pada akhirnya masyarakat sekitar yang merasakan kerugian akibat dampak kerusakan lingkungan yang ada. Cepat atau lambat kegiatan penambangan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan tersebut akan berdampak pada tingginya risiko terjadinya bencana di wilayah tersebut.

4.        DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN PASIR DI PESISIR PANTAI
Kegiatan penambangan pasir pantai yang merupakan komoditas tidak terbarukan atau non renewable akan berdampak pada berbagai berbagai sektor kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar yang meliputi aspek abiotic, biotic dan cultere (ABC). Dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dampak lingkungan diartikan sebagai pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan, sementara Soemarwoto (2014) mendefinisikan dampak sebagai suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas di mana aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik, dan biologi. Dalam hal ini dampak kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai dapat memberikan pengaruh perubahan pada lingkungan, dapat berupa dampak yang bersifat biofisik dan bersifat sosial, ekonomi dan budaya.
Dampak penambangan pasir yang menimbulkan perubahan pada lingkungan dapat berupa dampak positif atau nilai manfaat dan dampak negatif atau yang merugikan. Apabila nilai dampak negatifnya lebih dominan dari dampak positifnya maka sudah sepantasnya kegiatan penambangan pasir pantai tersebut sebaiknya di hentikan demi kepentingan bersama. Dampak negatif yang kemungkinan terjadi perlu diupayakan pengelolaannya sehingga dapat dicegah, dikendalikan atau ditanggulangi dampak tersebut agar tidak semakin besar tingkat kerusakan dan kerugiannya.  

4.1. Dampak Positif Penambangan Pasir di Pesisir Pantai
         egiatan penambangan pasir di pesisir pantai yang dilaksanakan selama ini dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat sebagai penambang pasir dan kepada masyarakat kabupaten alor dalam hal pasokan bahan galian untuk menunjang kegiatan pembangaunan. Bagi masyarakat penambang, kegiatan ini merupakan sumber penghasilan mereka yang berujung pada peningkatkan kesejahteraan keluarga. Apabila kegiatan ini dihentikan maka harus ada alternatif sumber penghasilan mereka sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial ditengah masyarakat. Bagi masyarakat umum, hasil atau product penambangan pasir ini dapat dijadikan alternatif pemilihan bahan baku untuk melaksanakan kegiatan pembangunan fisik, sehingga secara tidak langsung hasil penambangan ini turut mendukung kegiatan pembangunan di Kabupaten Alor.
     
4.2. Dampak Negatif Penambangan Pasir di Pesisir Pantai
Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan pasir pantai dapat ditinjau dari beberapa aspek perubahan lingkungan, diantaranya aspek biofisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Beberapa dampak negatif kegiatan penambangan pasir pantai ini sebagai berikut :
a.       Perubahan Kondisi Fisik Pantai
Kegiatan penambangan pasir pantai yang dilakukan selama ini mengakibatkan perubahan kondisi fisik pantai berupa banyaknya cekungan atau lubang bekas galian pasir sehingga menimbulkan tingkat abrasi yang tinggi. Kerusakan kondisi fisik pantai menyebabkan abrasi pantai atau perubahan garis pantai yang semakin menjorok ke daratan. Di beberapa lokasi garis pantai semakin mendekati pemukiman warga, mengancam kondisi fisik perumahan, akses jalan dan jemabatan yang selama ini digunakan (Gambar 2). Kerusakan fisik pantai sekaligus  akan mengurangi nilai keindahan atau estetika pantai yang selama ini menjadi salah satu komoditas andalan dalam kepariwisataan di Kabupaten Alor


Gambar 2. Jembatan rusak akibat kegiatan penambangan pasir di muara sungai

b.      Berkurangnya Sumberdaya Laut
Kegiatan penambangan pasir di pantai dapat merusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang di pinggir pantai, hal ini akan berdampak pada menurunnya kuantitas ikan yang diperoleh oleh nelayan sekitar dari pinggir pantai. Semakin banyak pasir pantai yagg ditambang maka akan samakin tinggi kerusakan pada habitat mangrove yang ada dipesisir pantai. Penambangan pasir juga menyebabkan rusaknya terumbu karang yang terdapat di wilayah pesisir karena para penambang biasanya memanfaatkan surutnya air laut untuk melakukan penambangan pasir di wilayah yang lebih jauh kearah laut dari garis pantai.  Rusaknya manrove dan terumbu karang otomati akan berdampak pada menurunnya jumlah ikan dan udang yang habitatnya di erairan dangkal berasosiasi dengan mangrove dan terumbu karang.
c.       Menurunnya Tingkat Pendapatan Nelayan
Kegiatan penambangan pasir di pantai disatu sisi meningkatan pendapatan para penambang pasir namun disisi lain akan berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan nelayan tangkap yang biasanya mencari ikan dan udang di daerah pesisir pantai. Menurunnya jumlah ikan dan udang yang terdapat di pesisir pantai otomatis akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat nelayan. Apabila sumber daya nelayan itu mampu dalam hal alat tangkap maka dapat beralih menangkap ikan di wilayah lautan dalam, namun akan bermasalah bagi nelayan kecil dengan keterbatasan alat tangkap. 
d.      Meningkatnya Budaya Konsumtif Masyarakat Penambang Pasir
Dengan adanya kegiatan penambangan pasir ini memungkinkan masyarakat penambang pasir memiliki peningkatan pendapatan, untuk itu masyarakat yang biasanya hidup sederhana apa adanya sekarang menjadi lebih konsumtif karena adanya penghasilan yang lebih besar dibanding sebelumnya. Para penambang berpikir bahwa apabila uangnya habis maka tinggal melakukan kegiatan penggalian pasir yang tersebar di sepanjang pantai tanpa ada yang melarangnya atau meminta upah atas penambangan pasir tersebut.       

5.        MITIGASI DAMPAK LINGKUNGAN AKIBAT PENAMBANGAN PASIR
Kegiatan Penambangan pasir pantai di beberapa wilayah kabupaten Alor telah menimbulkan dampak negatif yang perlu diantisipasi dalam pengendaliannya. Setiap kegiatan atau usaha yang berpotensi menimbulkan dampak baik dampak peting maupun yang tidak penting perlu dilakukan upaya pengelolaannya sehingga dampak yang timbul dapat ditoleransi sesuai daya dukung lingkungan. Dalam melakukan upaya pengelolaan lingkungan, khusunya dalam hal mitigasi dampak lingkungan yang terjadi akibat suaatu kegiatan, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan teknologi, pendekatan sosial ekonomi dan pendekatan institusi atau kelembagaan yang terkait. Ketiga pendekatan tersebut dapat diterapkan secara sendiri-sendiri maupun secara terpadu dalam upaya pengelolaan kegiatan penambangan pasir di wilayah pesisir Kabupaten Alor.

5.1.  Pendekatan Teknologi
Pendekatan teknologi merupakan pendekatan pengelolaan lingkungan dengan cara penggunaan teknologi untuk dapat meminimalkan dampak lingkungan dan secara ekonomis tidak menimbulkan kerugian bagi pelaksana kegiatan atau pemrakarsa. Pendekatan teknologi dalam pengelolaan lingkungan biasanya dilaksanakan pada tahapan konstruksi dan pascakonstruksi, untuk itu pendekatan teknologi erat kaitannya dengan mitigasi secara struktural yaitu upaya mitigasi dengan pembangunan sarana atau prasarana fisik.
            Pemerintah Kabupaten Alor telah melakukan pendekatan teknologi dalam upaya mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir pantai diantaranya berupa pembuatan tanggul pengendali abrasi dan pemecah gelmbang laut. Selain itu upaya lain dengan cara vegetatif yaitu menanam pohon pelindung pantai seperti mangrove atau bakau. Kedua upaya tersebut sudah coba dilakukan oleh pemerintah kabupaten Alor di beberapa lokasi penambangan pasir pantai yang telah menimbulkan dampak abrasi pantai. Upaya ini belum menyelesaikan akar permasalahan utama karena kegiatan penambangan masih terus dilakukan oleh masyakat sekitar.

5.2.  Pendekatan Sosial ekonomi
Pendekatan sosial ekonomi berkaitan dengan upaya aspek sosial dan ekonomi dari pelaksana kegiatan dan penerima dampak kerugian tersebut. upaya pendekatan ini dapat dilaksanakan pada tahapan prakonstruksi (persiapan), konstruksi (pekerjaan fisik) dan tahap pascakonstruksi (operasional). Pendekatan sosial ekonomi erat kaitannya dengan pekerjaan non struktural, walaupan ada beberapa cara pendekatan sosial ekonomi yang mengarah ke pekerjaan struktural / fisik. Pendekatan sosial ekonomi tidak hanya melibatkan masyarakat penambang tetapi juga melibatkan masyarakat Desa secara keseluruhan sehingga dapar berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan pesisir.   
Pemerintah Kabupaten Alor telah melakukan pendekatan sosial ekonomi dalam upaya pengelolaan lingkungan dan mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir diantaranya berupa :
  1. Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar lokasi penambangan untuk tidak melakukan kegiatan penambangan pasir pantai karena dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan ini.
  2. Pemberian bantuan modal usaha kecil bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari kegiatan penambangan pasir pantai. Modal usaha ini disertai dengan pelatihan ketrampilan untuk memulai kegiatan produktif sehingga diharapkan masyarakat penambang tidak lagi kembali melakukan kegiatan penambangan pasir pantai karena sudah memiliki mata pencaharian alternative yang menjanjikan.
  3.  Melakukan pemasangan rambu-rambu atau tanda larangan penambangan pasir pantai di lokasi tertentu sehingga dapat dijadikan patokan oleh aparat setempat dalam melakukan tindakan pencegahan dan penindakan hokum nantinya.

Beberapa upaya pendekatan sosial ekonomi diatas memang sedikit banyak mengurangi jumlah kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi, namun efektifitas pelaksanaannya masih belum optimal karena upaya tersebut masih berlangsung secara sporadis dan belum terlaksana secara terpadu. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya kegiatan penambangan pasir pantai di beberapa lokasi dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari yang tidak memiliki mata pencaharian lain.

5.3.  Pendekatan Institusi (kelembagaan)
Pendekatan Institusi atau kelembagaan dengan melibatkan instansi-instansi yang berkepentingan dan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, meliputi perencanaan kegiatan, pengawasan hasil kerja pengelolaan lingkungan hidup dan pelaporannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Beberapa upaya pendekatan institusi telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Alor dalam upaya pengelolaan lingkungan dan mitigasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir, baik yang dilakukan oleh satu instansi maupun dengan keterlibatan beberapa intansi dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan, diantaranya berupa :
  1. Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Alor melakukan sosialisasi dampak penambangan pasir pantai bersama-sama dengan Dinas Pertambangan dan Energi dan pihak Satuan Polisi Pamong Praja sehingga materi sosialisasi dapat lebih komprehensif dimulai dari dampak kerusakan, upaya pengelolaan lingkungan, kegiatan penambangan yang ramah lingkungan dan upaya penegakan hukumnya.
  2.    BLHD bekerjasama dengan Dinas Pertambangan dan Energi dan DInas Pekerjaan umum melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada pelaksana jasa konstruksi se-Kabupaten Alor untuk tidak memanfaatkan dan membeli bahan galian (pasir dan batu) yang ditambang di pinggir pantai. Hal Ini akan mengurangi tingkat permintaan pasir dan batu dari hasil penambangan di pantai sehingga dapat mengurangi minat masyarakat untuk kembali melakukan kegiatan penambangan.
  3.  Upaya pengawasan kegiatan penambangan pasir dimulai dari unsur Pemerintahan yang paling rendah yaitu RT, RW, sampai ke tingkat Kabupaten sehingga pengawasan dapat setiap saat dilakukan dan meminimalisasi kurangnya pengawasan.
  4. Upaya penegakkan aturan perundangan yang telah dibuat berkaian dengan kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai. Beberapa PERDA dan PERBUP telah ditetapkan Pemerintah Kabupaten Alor seperti PERDA RTRW, PERDA Pengelolaan Pertambangan mineral dan Batubara, yang intinya melarang kegiatan pertambangan pasir di pesisir pantai, untuk itu upaya penegakkan aturan perlu dilakukan dengan keterlibatan aparat terkait untuk memberikan efek jera kepada pelaku kegiatan penambangan pasir pantai.

Upaya pendekatan secara institusi perlu dilakukan karena masalah pengelolaan lingkungan bukanlah urusan instansi BLHD semata atau dalam hal penambangan itu merupakan domainnya Dinas Pertambangan dan Energi, urusan pengelolaan lingkungan merupakan urusan bersama yang butuh keterlibatan lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di Daerah. Upaya pendekatan ini juga pasti mengurangi jumlah penambangan pasir pantai karena dapat disertai dengan upaya penindakan hukum bagi yang melanggar ketentuan peraturan perundangan, namun kegiatan penambangan pasir masih tetap berlangsung di beberapa lokasi dengan permasalahan yang berbeda-beda. Untuk itu diperlukan suatu upaya pengelolaan lingkungan secara terpadu yang melibatkan segenap pemangku kepentingan dalam pengelolaan lingkungan itu sendiri.

5.4.  Pendekatan pengelolaan lingkungan secara terpadu
Upaya mitigasi dampak lingkungan akibat penambangan pasir di wilayah pantai yang telah dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Alor dengan beberapa pendekatan yang ada menunjukkan belum optimalnya hasil yang diperoleh karena pelaksanaannya secara sporadis dan terkesan sektoral, tidak melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada mulai dari masyarakat, pemerintah dan pihak swasta. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengamanatkan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa dalam suatu pengelolaan lingkungan diperlukan upaya secara terpadu dengan keterlibata semua pemangku kepentingan, dimulai dari tahapan perencanaan sampai pada upaya penegakkan hukum.
Pengelolaan lingkungan pesisir yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Alor sebaiknya dengan konsep pengelolaan pesisir terpadu yaitu konsep pembangunan yang melibatkan semua stakeholder (Pemerintah, masyarakat dan swasta) beserta kepentingannya di kawasan pesisir sehingga tidak lagi bersifat reaksional dan berorientasi pada masalah (problem oriented approach) menjadi terencana, bersifat  pre-emptive dan menggunakan pendekatan pengelolaan (Subandono Diposaptono, 2003). Upaya pengelolaan ini diharapkan dapat menyelesaikan akar permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir yang sebenarnya berupa rendahnya tingkat kesejahtraan masyarakat akibat dari ketiadaan pekerjaan yang dapat menghidupi dirinya dan keluarga.

6.        KESIMPULAN
Kegiatan Penambangan pasir di pesisir pantai wilayah Kabupaten Alor berdampak pada perubahan lingkungan sekitar yang dapat berupa unsur abiotic, biotic dan culture. Dampak yang terjadi lebih dominan dampak negatifnya daripada dampak positif atau nilai manfaat bagi masyarakat luas. Untuk itu perlu diupayakan langkah mitigasi dengan pengelolaan lingkungan secara terpadu yang melibatkan semua pemangku kepentingan di Daerah agar dapat meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan yang memungkinkan terjadi dari aktivitas penambangan tersebut.

7.        SARAN
Pemerintah Daerah perlu menghentikan kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai Kabupaten Alor agar tidak semakin menimbulkan kerusakan lingkungan pesisir dengan melakukan upaya pengelolaan lingkungan secara terpadu agar tidak menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi di kemudian hari.












DAFTAR PUSTAKA


Arisandi, M. H, dkk, 2014, Eksternalitas Penambangan Pasir Pantai Secara Tradisional Terhadap Ekosistem Mangrove dan Sosial Ekonomi, Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan, Vol. 1 Nomor 1 tahun 2014, Jakarta  
Manik, K.E.S, 2003, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta.
Ongkosongo, Otto S. R, 2011, Strategi Menghadapi Risiko Bencana di Wilayah Pesisir Akibat Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Global, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Subandono Diposaptono, 2003, Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia, Jurnal Alami Vol 8 Nomor 2 Tahun 2003, Jakarta.
Supriharyono, 2000, Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudarmadji, 2015, Mitigasi Dampak Lingkungan, Materi Kuliah Manajemen Lingkungan, Magister Manajemen Bencana SPS UG, Yogyakarta.

Akses Internet

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.

Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor 2 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor Tahun 2013 – 2033.

Peran Sosial Budaya Masyarakat Alor dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana

ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM
 PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI KABUPATEN ALOR


Latar Belakang
·     Kabupaten Alor merupakan salah satu dari 22 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sesuai data BNPB memiliki tingkat risiko bencana tinggi. Hal ini disebabkan karena secara geologi dan hidrometeorologi wilayah Kabupaten Alor sebagaimana wilayah provinsi NTT pada umumnya mempunyai tingkat ancaman yang tinggi terhadap berbagai jenis bencana diantaranya gempabumi, tsunami, tanah longsor, letusan gunungapi, banjir, cuaca ekstrim, kekeringan, angin badai, dan kebakaran (BNPB, 2013). Adanya berbagai jenis ancaman yang terjadi secara alamiah, apabila disertai dengan faktor kerentanan yang tinggi dan tingkat kapasitas masyaratat yang rendah maja memungkinkan untuk terjadinya tingkat risiko yang tinggi. Aspek sosial budaya yang ada dan berkembang dalam kehidupan masyarakat dapat mempengaruhi tingkat kerentanan dan kapasitas masyarakat sehingga apabila dikelola secara baik dapat dijadikan modal dalam upaya pengurangan risiko bencana.
·     Kabupaten Alor merupakan salah satu Kabupaten di NTT yang heterogen baik ditinjau dari suku, budaya, adat istiadat, tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakatnya. Di Kabupaten Alor terdapat aneka ragam bahasa lokal  kesenian tradisional, upacara adat dan kearifan lokal. Secara linguistik Alor memang bermacam-macam. Sebuah survey terkini yang dilakukan oleh peneliti-peneliti dari Universitas Leiden – Belanda, menunjukan bahwa di Kepulauan Alor terdapat kira-kira 14 rumpun bahasa. Kebanyakan dari bahasa-bahasa tersebut berhubungan dengan bahasa-bahasa Papua, kecuali bahasa yang dipakai oleh beberapa komunitas nelayan di daerah pesisir yang umumnya diakui sebagai bahasa Alor, bahasa yang memiliki hubungan dengan bahasa Lamaholot, salah satu bahasa dalam rumpun bahasa Austronesia yang dipakai di Flores timur (www.alorkab.go.id). Keanekaragaman suku dengan berbagai adat istiadat yang ada disatu sisi merupakan kekayaan tersendiri bagi khasanah budaya di Kabupaten Alor, namun disisi lain apabila hal ini tidak disikapi secara baik dapat berpotensi terjadinya konflik sosial antara berbagai suku dan kelompok masyarakat yang ada sehingga akan sangat merugikan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Alor.
·        Suatu Kejadian Bencana akan mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam atau faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kejadian bencana yang terjadi di suatu daerah akan berdampak pada kehidupan masyarakat pada umumnya yang sebelumnya normal akan mejadi tidak normal karena terjadi gangguan secara fisik dan psikis manusia sehingga mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan struktur sosial yang berkembang di masyarakat.

Kondisi Umum Kabupaten Alor
·         Secara definitif Kabupaten Alor terbentuk pada Bulan Desember Tahun 1958 yang saat ini terdiri dari 17 Kecamatan, 175 Desa/Kelurahan (17 Kelurahan,158 Desa), 315 Dusun / Lingkungan, 675 RW serta 1.491 RT. Jumlah penduduk Kabupaten Alor sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 berjumlah 196.179 jiwa dengan kepadatan penduduk 68 jiwa per km2.
·         Secara geografis wilayah Kabupaten Alor terletak pada koordinat 806’– 8036’ LS dan 123048’– 120048’ BT, dengan batas  sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Ombay, sebelah timur berbatasan dengan Selat Wetar dan Perairan Republik Demokrat Timor Leste (RDTL) dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Alor.
·     Secara geopolitik, Kabupaten Alor termasuk 183 Kabupaten yang tergolong Kabupaten tertinggal. Kabupaten Alor juga termasuk 112 kabupaten/ kota di Indonesia yang dikategorikan sebagai Kabupaten Perbatasan. Wilayah Kabupaten Alor terdiri dari 15 buah pulau yang 9 diantaranya berpenduduk, yaitu Pulau Alor, Pantar, Pura, Tereweng, Ternate, Buaya, Kangge, Kura, dan Pulau Kepa. Sedangkan 6 pulau lainnya belum/tidak berpenduduk, yaitu Pulau Kambing, Rusa, Batang, Lapang, Sika, dan Pulau Kapas.
·    Kabupaten Alor dengan ibukota di Kalabahi, memiliki luas wilayah darat  2.864.64 Km2, sebagian besar luas wilayah daratan merupakan pegunungan tinggi yang dikelilingi oleh lembah-lembah dan jurang-jurang. Kemiringan lahan diatas 400 mencapai kurang lebih 60 % dari total wilayah daratan Kabupaten Alor. Luas wilayah lautan 10.773.63 Km2 dan panjang garis pantai 287.10 Km2. Wilayah Kabupaten Alor yang kepulauan ini menyebabkan sarana transportasi laut cukup menjadi andalan dalam menghubungkan pulau-pulau di Kabupaten Alor. Wilayah laut yang luas dengan potensi perikanan yang cukup besar menjadikan usaha penangkapan ikan menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat pesisir.
·  Masyarakat Kabupaten Alor merupakan masyarakat majemuk karena sejatinya penduduk asli Kabupaten Alor terdiri dari 50 (lima puluh) suku asli yang mempunyai budaya dan adat istiadat sendiri-sendiri. Pada masa kerajaan dahulu, beberapa suku terasosiasi kedalam satu kerajaan. Menurut cerita yang beredar di masyarakat Alor, kerajaan tertua di Kabupaten Alor adalah kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Kerajaan berikutnya yang didirikan adalah kerajaan Pandai yang terletak dekat kerajaan Munaseli dan Kerajaan Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar. Nama Kerajaan identik dengan nama suku yang mendominasi wilayah tersebut, masing-masing kerajaan didominasi dengan suku induk dan beberapa suku kecil lainnya. setiap suku memiliki adat istiadat sendiri sendiri termasuk bahasanya masing-masing. Disamping penduduk asli yang berasal dari beberapa suku tersebut, di Kabupaten Alor juga terdapat beberapa etnis pendatang diantaranya etnis Timor, Flores, Sumba, Jawa, Bugis, Makasar, Binongko dan Buton.      
·         Kabupaten Alor memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah, mulai dari potensi pertambangan, perkebunan dan juga yang cukup terkenal adalah pariwisata. Potensi pariwisata meliputi potensi budaya dan keindahan alamnya, khususnya taman laut yang berada diantara pulau Alor dan Pantar. Taman laut ini juga termasuk salah satu taman laut terbaik di dunia, menurut informasi dari beberapa agen penyeleman (Diving) dunia, taman laut Alor menduduki peringkat kedua setelah kepulauan Karibia, karena taman lautnya langka dengan panorama bawah laut yang bahkan dapat dilihat dengan jelas di malam hari
·   Sebelum masuknya agama-agama besar di Alor, penduduk Alor menganut paham animisme dan dinamisme. Mereka menyembah matahari (Larra/Lera), bulan (Wulang), sungai (Neda/dewa air), hutan (Addi/dewa hutan), dan laut (Hari/dewa laut). Saat ini mayoritas penduduk Alor adalah penganut agama Kristen Protestan, Islam, Katolik dan Hindu. Menurut catatan Sejarah, Agama Islam masuk pertama kali di wilayah Kabupaten Alor yaitu sekitar tahuan 1522, ditandai dengan kehadiran mubaligh dari Kesultanan Ternate melalui Desa Gelubela (sekarang Baranusa) di Pulau Pantar yang sampai dengan saat ini masyarakat wilayah tersebut masih beragama Islam. Agama Kristen pertama kali masuk Alor pada masa administrasi Controleur Bouman pada tahun 1908 ketika seorang pendeta berkebangsaan Jerman, D.S. William-Bach, tiba dengan kapal Canokus dan kemudian kegiatan penyebaran agama Kristen dari Pantai Dulolong. Gereja pertama di Alor dibangun pada tahun 1912, dinamai Gereja Kalabahi (sekarang dikenal sebagai Gereja Pola). Dalam pengerjaan gereja tersebut dilakukan bersama-sama antara para Tukang dari umat muslim dengan umat Kristen, ini merupakan bukti dari adanya toleransi antar-umat beragama di Alor sejak dulu.
·   Sesuai Data BPS Tahun 2013, mayoritas masyarakat Kabupaten Alor menganut agama Kristen Protestan, yaitu sejumlah 133.006 jiwa, disusul penganut agama Islam sejumlah 56.654 jiwa, agama Katolik sejumlah 6.342 jiwa dan yang terakhir agama Hindu sejumlah 177 jiwa. Untuk mata pencaharian masyarakat Kabupaten Alor mayoritas sebagai petani lahan kering atau sawah tadah hujan dan perkebunan, disusul sebagai nelayan, pedagang dan Pegawai Negeri Sipil.

Aspek Sosial Budaya Masyarakat Kabupaten Alor
·   Penduduk Kabupaten Alor dengan latar belakang suku yang berbeda-beda, baik suku asli yang berjumlah 50 suku asli maupun suku pendatang dari luar wilayah Kabupaten Alor. Dalam hubungannya dengan interaksi sosial, baik antar suku asli maupun suku pendatang, menunjukkan hubungan yang sangat harmonis karena ada keterikatan budaya dan fungsional yang saling memutuhkan dalam suatu jalinan persaudaraan dan kekeluargaan.
·  Dalam hubungannya dengan keterkaitan budaya, penduduk Alor sejak lama dalam menjalani kekerabatan sosial antar suku-suku asli maupun suku-suku tetangga diluar Pulau Alor, telah tertanam nilai-nilai kekerabatan sosial yang dikenal dengan ”hubungan BELA” dan ”hubungan EGALATARIAN”. Kedua nilai kekerabatan sosial tersebut masih dijunjung tinggi sampai saat ini sebagai salah satu modal sosial yang memiliki kekuatan dalam mempersatukan suku, agama, adat istiadat dalam kehidupan sosial masyarakat di Alor. Kemudian keterkaitan fungsional antar suku asli dan suku pendatang yang selalu terpeliharan keharmonisannya, karena suku asli memandang suku pendatang sebagai pembawa inovasi dan pasar input dan pasar output produk suku asli yang masih berorientasi produk tradisional.
·       Kabupaten Alor yang terdiri atas keragaman suku asli, tidak terlepas dari kekayaan etnolinguistik (56 bahasa ibu) yang dikelompokan dalam 13 rumpun bahasa, yang satu sama lainnya sangat berbeda untuk dimengerti. Sehingga dalam interaksi sosial antar penduduk di Kabupaten Alor selalu menggunakan Bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa komunikasi antar suku-suku di Alor.
·       Banyaknya suku asli masyarakat Kabupaten Alor menyebabkan berbagai keragaman budaya yang ada di Kabupaten Alor. Sesuai catatan Pemerintah Daerah Kabupaten Alor terdapat 37 (tiga puluh tujuh) jenis peninggalan benda-benda cagar budaya dari zaman megalitikum. Cagar Budaya berdasarkan UU RI Nomor 11 tahun 2010, merupakan warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Cagar budaya yang terdapt di Kabupaten Alor berupa benda cagar budaya yang dinamakan Moko.
·        Budaya Kabupaten Alor lainnya berupa tari-tarian dan syair budaya yang intinya sebagai media dalam menjalin kekerabatan atau interaksi sosial dalam keberagaman. Diantaranya tarian ”Lego-Lego” dan syair-syair lagu daerah seperti Leoro piringsina tanah moko jawa, Raja mauboli, Bungamelangkiki, Simane dan Nea serta semboyan pemersatu ”Taramiti Tominuku” (bersehati kita teguh, bersama kita bisa), ”Webuk Wangkape” (yang jauh/berbeda diikat menjadi dekat/ satu), Kuli Mati-mati Haki Tiwang Lewo (Semangat bersama membangun daerah dari jauh/rantauan), Dike Date Ite Lewo Tanah (Semangat membangun kemandirian dari potensi sendiri), dan lain-lain. Nilai-nilai budaya ini dihormati dalam kelembagaan adat dan jauh lebih ampuh sebagai alat pemersatu dan penyelesaian konflik-konflik horisontal atau berbagai aspek pembangunan lainnya.
·      Dari sekian banyak keragaman budaya yang ada di Kabupaten Alor, ada beberapa ciri khas budaya yang hampir semua suku di Kabupaten Alor memilikinya yaitu diantaranya adalah penggunanaan “Moko” untuk mas kawin atau belis dari mempelai laki-laki ke perempuan dan tarian “Lego-lego”. Mas kawin yang berlaku dikalangan suku di Kabupaten Alor berbeda halnya dengan suku-suku lain di wilayah Provinsi NTT yang biasanya menggunakan binatang piaraan. Masyarkat Kabupaten Alor menggunakan benda peninggalan nenek moyang mereka sebagai mas kawin, yaitu Moko. Penggunaan moko sebagai mas kawin telah berlangsung selama ratusan tahun. Menurut para arkeolog, moko mulai digunakan oleh masyarakat setempat, sejak abad 14 masehi. Nenek moyang mereka mengawali penggunaan moko sebagai alat tukar, maupun sebagai alat kesenian dalam upacara adat, kemudian pada abad 17 masehi, moko digunakan oleh nenek moyang mereka sebagai mas kawin. Saat ini jumlah Moko di Kabupaten Alor sudah semakin berkurang karena banyaknya pemburu barang antic yang siap menadah untuk dibawa ke Bali dan seterusnya ke luar negeri.
·     Tari Lego-Lego menurut beberpa sumber merupakan tarian tradisional Suku Abui, suku yang mendiami kampung tradisional Takpala, terletak di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun pada kenyataannya hampir semua suku di Kabupaten Alor melakukan tarian Lego-lego yang merupakan tarian yang merupakan lambang kekuatan persatuan dan persaudaraan warga Suku Abui ini dilakukan secara massal dengan bergandengan tangan dan bergerkan secara melingkar. Para penari memakai busana adat, sementara rambut kaum perempuan dibiarkan terurai. Di kaki para penari dipasang gelang perak yang akan memantulkan bunyi gemerincing jika digerakkan. Tetabuhan gong dan gendang dari kuningan atau moko mengiringi polah para penari yang bergerak rancak sambil mengumandangkan lagu dan pantun dalam bahasa adat setempat. Tari Lego-Lego dilakukan dengan mengelilingi tiga batu bersusun yang disebut mesbah, benda yang disakralkan dalam tradisi Suku Abui. Biasanya, Lego-Lego ditarikan selama semalam suntuk.

Pengurangan Risiko Bencana di Kabupaten Alor
·       Wilayah Kabupaten Alor dengan tingkat ancaman bencana yang tinggi ditinjau dari aspek geologi dan hidrometeorologi diikuiti dengan tingginya aspek kerentanan sosial budaya masyarakat karena adanya variasi suku dengan adat istiadat yang berbeda maka menimbulkan tingkat risiko bencana yang tinggi. Uuntuk itu segala upaya harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat Kabupaten Alor untuk mengurangi risiko bencana tersebut agar apabila ancaman itu benar-benar terjadi menjadi sebuah bencana maka jumlah korban dan kerugian akibat bencana dapat diminimalisir.
·       Disamping potensi bencana alam yang tinggi, sebenarnya di Kabupaten Alor juga menyimpan potensi bencana konflik sosial sebagaimana yang terjadi di wilayah lain di NTT atau di Provinsi lain yang memiliki tingkat kemajemukan yang tinggi. Bencana konflik sosial pernah terjadi di daerah lain di NTT beberapa tahun lalu tentunya dapat juga terjadi di Kabupaten Alor mengingat masyarakat Kabupaten Alor mempunyai latar belakang suku, adat istiadat, budaya dan agama yang berbeda-beda. Untuk itu segenap pemangku kepentingan dapat berperan aktif dalam mengurangi risiko yang ada dengan mengedepankan rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang telah terbina sejak dahulu.  
·      Salah satu faktor dalam upaya pengurangan risiko bencana yang sudah sering diterapkan di berbagai daerah dengan tingkat risiko bencana tinggi adalah adanya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. Dalam pelaksanannya, tentunya mempertimbangkan dimensi sosial budaya yang dimiliki oleh komunitas masyarakat tertentu, sehingga nantinya diharapkan dapat semakin memperkuat ikatan sosial masyarakat agar upaya pengurangan risiko bencana dapat terlakasana secara holistik melibatkan semua unsur dan elemean dalam komuniatas masyarakat.
·       Dalam kehidupan sehari-hari toleransi antar suku dan agama yang berbeda di Kabupaten Alor sudah terbangun sejak dahulu, terbukti dengan catatan sejarah setiap adanya kegiatan yang melibatkan suku atau umat agama tertentu akan mendapat bantuan dari suku dan umat agama lainnya. Sebagai contoh dalam pembangunan gereja, seringkali umat muslim terlibat aktif sebagai tukang bangunan atau sebagai tukang masaknya, begitu juga sebaliknya dalam pembangunan masjid tentunya umat Kristen tidak tinggal diam, mereka berperan sebagai tukang bangunan dan tukang masak untuk mendukung pembangunan masjid tersebut. Hal yang sama terjadi juga pada perayaan keagamaan dan pembangunan rumah adat suku tertentu. Ini menunjukkan Pemikiran masyarakat Alor yang penuh dengan rasa persaudaraan dan toleransi yang tinggi, bahwa menurut mereka masyarakat berasal dari satu tuhan yang sama dan tidak adanya prasangka buruk bahwa antar agama akan mengancam eksistensi agama lainnya.
·  Masyarakat Alor percaya ada semacam nilai holistis yang muncul diantara  mereka, yaitu nilai kemanusiaan yang menyatukan alam semesta dan manusia terkait dengan itu mereka berpendapat bahwa sang pencipta, alam semesta dan manusia menjadi satu kesatuan yang total dan tidak bisa diubah atau bersifat mutlak.
·   Kekayaan budaya dan adat istiadat yang memiliki nilai-nilai moral masih terus mendapatkan tempat yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan Pemerintah Kabupaten Alor terutama sebagai pemersatu dalam penangkal budaya dan pengaruh asing yang terus menjadi tantangan pembangunan Daerah. Walaupun nilai-nilai budaya dan pesan adat non formal lainnya belum diintegrasikan secara optimal dalam pengambilan kebijakan pembangunan daerah.  


DAFTAR PUSTAKA

BNPB, 2013, Indeks Risiko Bencana Indonesia, Direktorat Pengurangan Risiko Bencana - Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Jakarta
Sumiati, 2015, Bahan Kuliah Magister Manajemen Bencana SPS Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Akses Internet

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130.

Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor 6 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Alor Tahun 2005 – 2025.

Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan dan Pembangunan Tahun 2020

UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa dalam perencanaan pembangunan baik daerah maup...