Manajemen Bencana

Friday, October 20, 2017

Pengeboran Landaian Suhu Potensi Panas Bumi Gunung Sirung dan Trauma Gempabumi 2004


Sabtu 27 Mei 2017 yang lalu menjadi hari yang bersejarah dalam pengelolaan potensi panas bumi gunung sirung. Salah satu potensi panas bumi di Kabupaten Alor dari sekitar 10 lokasi potensi yang teridentifikasi berdasarkan data dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor tahun 2011 yang lalu. Pada hari tersebut, Tim pengeboran Badan Geologi Kementerian ESDM telah melakukan tajak pengeboran landaian suhu potensi panas bumi Gunung Sirung dengan disaksikan oleh Bupati Alor bersama Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Alor, unsur Tripika dan masyarakat Kecamatan Pantar Tengah di Desa Aramaba Kecamatan Pantar Tengah. Pengeboran landaian suhu merupakan bagian dari tahapan survei pendahuluan yang telah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Data awal yang diperoleh sebelumnya yang diperoleh dari Badan Geologi menunjukan nilai suhu tanah dan batuan  (geotermometer) potensi  hingga mencapai 192 °C dengan areal prospek mencapai 12 km2. Perkiraan potensi pada kelas sumberdaya terduga (hipotetis) sekitar 45 MWe (Hadi dan Kusnadi, 2005). Hasil tersebut menjadi salah satu dasar pertimbangan untuk melanjutkan tahapan survei pendahuluan dengan pengeboran landaian suhu kali ini sehingga diharapkan dapat memperoleh data bawah permukaan yang lebih akurat lagi.

Dalam sambutannya, Bupati Alor mewakili masyarakat Pulau Pantar khususnya dan Kabupaten Alor pada umumnya sangat mengharapkan kegiatan pengeboran landaian suhu ini dapat berjalan dengan baik dan memperoleh data potensi panas bumi yang lebih lengkap dan akurat, sehingga akan menarik investor untuk pemanfaatan energi panas bumi dan mendukung pembangunan di Kabupaten Alor, khususnya di Pulau Pantar (www.esdm.go.id). Harapan Bupati ini sejalan dengan tujuan pengeboran landaian suhu potensi panas bumi biasanya dilaksanakan yakni antara lain untuk mengetahui ada tidaknya anomali temperatur gradien geotermal pada lubang sumur bor, menguji daerah anomali geolistrik pada penyelidikan terdahulu dan untuk memperoleh gambaran keadaan geologi bawah permukaan.  

Yang jadi pertanyaan bagi segelintir masyarakat Kabupaten Alor yang maaf jika dikatakan ‘awam’ terhadap kegiatan pengeboran panas bumi khususnya dan pengeboran eksplorasi pertambangan pada umumnya adalah apakah nantinya kegiatan pengeboran ini dapat menimbulkan gempabumi tektonik di wilayah Kabupaten Alor? pertanyaan ini bagi sebagian kalangan mungkin terdengar lucu dan tidak berdasar tetapi fakta menunjukkan bahwa masih ada juga masyarakat Kabupaten Alor yang bertanya-tanya tentang hal tersebut, bahkan muncul rasa trauma dengan kejadian gempabumi sebelumnya terutama gempabumi 2004. Dalam penelitian saya yang mengkaji risiko bencana gempabumi di Kecamatan Alor Timur Laut beberapa waktu yang lalu, ditemukan juga adanya responden yang menjawab bahwa kejadian gempabumi alor 2004 disebabkan oleh adanya kegiatan pengeboran panasbumi Tuti Adagai. Walaupun persentase jawaban ini sangat kecil, namun hal ini membuktikan bahwa masih adanya stigma negatif sekaligus kekhawatiran dan rasa trauma masyarakat Alor yang berpikiran seperti ini.

Saya coba menjawab pertanyaan ini dengan sedikit mengungkap fakta parameter gempabumi November 2004 yang lalu. Berdasarkan data kejadian gempabumi dari BMKG, gempabumi 2004 merupakan gempabumi tektonik yang terjadi pada hari jumat 12 November 2004 jam 05.26 pagi dengan kekuatan (magnitudo) 6,5 SR, kedalaman 37,8 Km dan pusat gempabumi (episentrum) di daratan sekitar 33 km arah timur Kalabahi, tepatnya di Kecamatan Alor Timur Laut (Pemerintah Kabupaten Alor, 2005). Sementara berdasarkan data kegempaan dari badan geologi Amerika Serikat (USGS) melalui https://earthquake.usgs.gov diperoleh data dua gempabumi besar terjadi dengan kekuatan 7,5 Mb, kedalaman 42,8 km dengan episentrum di laut dan gempabumi sedang dengan kekuatan 6,4 Mb dengan kedalaman 33,8 yang berepisentrum di daratan Kecamatan Alor Timur Laut. Gempabumi utama yang terjadi pada tanggal 12 November diikuti rangkaian gempa-gempa susulan dengan kekuatan dibawah gempa utama sehingga menimbulkan korban jiwa dan dampak kerusakan yang semakin besar.

Walaupun terdapat perbedaan parameter kegempaan 12 November 2004 antara data BMKG dan USGS namun sebenarnya kedua data tersebut mengindikasikan hal yang sama yaitu telah terjadi gempabumi tektonik besar dengan magnitudo lebih dari 6 SR dan kedalaman pusat gempa yang tergolong dangkal karena kurang dari 60 km.  

Gempabumi dangkal yang terjadi di Kabupaten Alor umumnya berhubungan dengan pelepasan tekanan batuan yang terjadi di dalam zona penunjaman (subduksi) lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia dan adanya aktivitas sesar aktif di daratan Pulau Alor (Daryono, 2010). Nanlohi dan Sundhoro (2005) dan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor (2012) dalam Ilyas (2017) mengindikasikan struktur sesar yang berkembang di daerah Alor Timur Laut, yaitu sesar normal Irawuri dan sesar normal Taramana. Dua sesar yang walaupun belum terindikasi sebagai sesar aktif namun aktivitas keduanya berpotensi sebagai pemicu gempabumi tektonik di Pulau Alor. 

Untuk gempabumi yang episentrumnya di lautan selain aktivitas lempeng tektonik, gempabumi ini juga dapat disebabkan karena adanya struktur tektonik sesar naik belakang busur kepulauan yang populer dikenal sebagai back arc thrust. Struktur ini terbentuk akibat tunjaman balik lempeng Eurasia terhadap lempeng Samudra Indo-Australia. Lebih lanjut Daryono (2010) menyatakan bahwa back arc thrust membujur di Laut Flores sejajar dengan busur Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara dalam bentuk segmen-segmen. Segmen barat dikenal sebagai sesar naik Flores (Flores thrust) yang membujur dari timur laut Bali sampai dengan utara Flores. Sesar naik Flores merupakan pemicu (generator) gempa-gempa merusak yang akan terus-menerus mengancam untuk mengguncang busur kepulauan Nusa Tenggara. Sementara itu segmen timur dikenal sebagai Sesar Naik Wetar (Wetar Thrust) yang membujur dari utara Pulau Alor hingga Pulau Romang. Wetar Thrust juga tidak kalah berbahaya dari Flores Thrust sebagai pemicu gempa-gempa besar dan merusak di kawasan Alor dan sekitarnya, seperti gempa Alor April 1898 dan Juli 1991 yang menewaskan ratusan orang.

Sekarang saya coba mengulas pengeboran landaian suhu panas bumi sebagai salah satu tahapan eksplorasi panas bumi. Pengeboran landaian suhu Tuti Adagai dilakukan pada dua lubang atau sumur yaitu TAD-1 dan TAD-2, dengan kedalaman masing-masing 250 m dan diameter lubang  7 7/8 inchi atau sekitar 20 cm. Pada kedua sumur tersebut ditemukan anomali temperatur, yaitu untuk TAD-1 sebesar 60C/100 m dan TAD-2 sebesar 50C/100 m. Dengan demikian dalam pengeboran landaian suhu Tuti Adagai hanya menghasilkan dua lubang dengan ukuran diameter 20 cm dan kedalaman 250 m atau 0,25 km. Untuk pengeboran landaian suhu potensi panas bumi gunung sirung, menurut informasi dari https://www.esdm.go.id bahwa pengeboran akan dilakukan di dua titik dengan kedalaman masing-masing 700 m dan menggunakan mesin bor tipe Atlas Copco CS14. Belum ada informasi diameter lubang pengeboran, tetapi kemungkinan besar tidak akan berbeda jauh dengan pengeboran landaian suhu pada umumnya yaitu sekitar 20 cm.

Dari parameter kegempaan dan parameter pengeboran landaian suhu Tuti Adagai sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, terlihat tidak ada hubungan sama sekali antara pengeboran panas bumi dengan kegempaan (tektonik) yang terjadi di Alor selama ini. Gempabumi tektonik yang memiliki episentrum di daratan dengan kedalaman dangkal (< 60 km) biasanya disebabkan oleh aktivitas sesar aktif ataupun pergerakan lempeng tektonik sedangkan pengeboran landaian suhu dari aspek kedalamannya saja tidak mencapai pusat gempabumi. Kalaupun sampai, apakah mungkin pemboran yang hanya berdiameter 20 cm dapat menggerakkan sesar aktif yang kemudian mengakibatkan gempabumi tektonik. Sepengetahuan saya belum ada teknologi di dunia ini yang dapat menyebabkan gempabumi tektonik. Pengeboran landaian suhu potensi panasbumi gunung sirung pun terlihat demikian. Secara teknis tidak ada hubungannya antara pengeboran landaian suhu potensi panas bumi dengan gempabumi tektonik yang dapat terjadi di suatu daerah. Jikalau terjadi gempabumi bukanlah gempabumi tektonik yang biasa terjadi di Alor selama ini tetapi bisa saja terjadi getaran gempa lokal dengan radius getaran yang tidak jauh dari titik pemboran dan biasanya tidak menimbulkan efek getaran yang besar.       

Bagaimana jika dalam waktu dekat ini di Pulau Pantar atau kabupaten Alor pada umumnya terjadi gempabumi tektonik sebagaimana kejadian gempabumi November 2004 yang waktunya hampir bersamaan dengan kegiatan pengeboran landaian suhu Tuti Adagai?. Pertanyaan ini sekali lagi muncul karena ditengah masyarakat juga masih berkembang rasa takut dan trauma akan kejadian gempabumi seiring dengan kegiatan pengeboran. jawaban atas pertanyaan ini sebaiknya ditinjau dari aspek geologi regional Alor.

Kabupaten Alor ditinjau secara geologi regional merupakan bagian dari rangkaian kepulauan dalam zona Busur Banda yang memiliki aktivitas kegempaan cukup tinggi. Khusus untuk wilayah Kabupaten Alor dan sekitarnya saja berdsarkan data USGS telah terjadi kurang lebih 255 kali gempabumi tektonik selama kurun waktu tahun 1940 – 2015. Aktivitas lempeng tektonik dan sesar aktif menjadi pemicu utama gempabumi tektonik di Kabupaten Alor. Aktivitas penunjaman lempeng tektonik ini masih termodifikasi dan terus berlangsung sampai saat ini (Tain, 2005). Sepanjang keaktifan lempeng tektonik dan sesar aktif tersebut maka kawasan alor tidak akan lepas dari ancaman gempabumi.

Kerawanan Kabupaten Alor secara geologi terhadap ancaman gempabumi yang dibuktikan dengan catatan sejarah kegempaan semakin menguatkan hasil penelitian sejumlah pakar tentang pengulangan riwayat kegempaan pada suatu wilayah. Salah satunya Natawidjaya dkk (1995) yang menyimpulkan bahwa apabila pada suatu wilayah pernah terjadi kejadian gempabumi besar yang merusak maka dapat dipastikan bahwa wilayah tersebut rawan terhadap gempabumi minimal dengan kekuatan yang sama dengan gempabumi yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan secara khusus untuk wilayah tektonik busur banda, Ngadmanto (2010) telah melakukan analisis spasial parameter kegempaan menemukan bahwa wilayah Kepulauan Alor dan Flores berpotensi terjadi kembali gempabumi merusak dengan magnitudo 6,5 SR bervariasi sekitar 7 – 15 tahun dan magnitudo di atas 7 SR bervariasi sekitar 20 – 60 tahun.

Berkaca dari pendapat para ahli kegempaan dan fakta riwayat kegempaan sebagaimana penjelasan sebelumnya, maka kita yang tinggal dan mendiami wilayah Kabupaten Alor harus senantiasa siap siaga dan waspada dalam menghadapi ancaman gempabumi. Kita juga tidak perlu lagi mengaitkan ancaman gempabumi tektonik dengan kegiatan pengeboran panas bumi ataupun pengeboran eksplorasi pertambangan lainnya, karena sesungguhnya kita mendiami wilayah yang ditakdirkan rawan terhadap gempabumi tektonik. Kita sebaiknya berupaya mendukung terlaksananya pengeboran landaian suhu kali ini agar berjalan dengan baik sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Hasil pengeboran ini menentukan langkah eksplorasi selanjutnya, apakah hanya berhenti sampai di survey pendahuluan, termasuk pengeboran landaian suhu ataukah dapat dilanjutkan ke tahapan eksplorasi yang lebih rinci lagi.

Adanya pengeboran landaian suhu atau tidak adanya pengeboran landaian suhu, masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Alor harus selalu siap siaga apabila terjadi gempabumi yang setiap saat mengancam kita. Tingkat kesiapan kita turut menentukan dampak bencana gempabumi yang kita alami nantinya. Sesungguhnya kita tidak dapat menghindar dari gempabumi (bencana) namun kita dapat hidup secara harmoni dengan bencana sebagaimana slogan kebencanaan ‘living harmony with disaster’.

No comments:

Post a Comment

Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan dan Pembangunan Tahun 2020

UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa dalam perencanaan pembangunan baik daerah maup...