Sabtu
27 Mei 2017 yang lalu menjadi hari yang bersejarah dalam pengelolaan potensi
panas bumi gunung sirung. Salah satu potensi panas bumi di Kabupaten Alor dari
sekitar 10 lokasi potensi yang teridentifikasi berdasarkan data dari Dinas
Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor tahun 2011 yang lalu. Pada hari
tersebut, Tim pengeboran Badan Geologi Kementerian ESDM telah melakukan tajak
pengeboran landaian suhu potensi panas bumi Gunung Sirung dengan disaksikan
oleh Bupati Alor bersama Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Alor, unsur Tripika
dan masyarakat Kecamatan Pantar Tengah di Desa Aramaba Kecamatan Pantar Tengah.
Pengeboran landaian suhu merupakan bagian dari tahapan survei pendahuluan yang
telah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Data awal yang diperoleh
sebelumnya yang diperoleh dari Badan Geologi menunjukan nilai suhu tanah dan
batuan (geotermometer) potensi hingga mencapai 192 °C dengan areal prospek
mencapai 12 km2. Perkiraan potensi pada kelas sumberdaya terduga (hipotetis)
sekitar 45 MWe (Hadi dan Kusnadi, 2005). Hasil tersebut menjadi salah satu
dasar pertimbangan untuk melanjutkan tahapan survei pendahuluan dengan
pengeboran landaian suhu kali ini sehingga diharapkan dapat memperoleh data
bawah permukaan yang lebih akurat lagi.
Dalam sambutannya, Bupati Alor mewakili masyarakat
Pulau Pantar khususnya dan Kabupaten Alor pada umumnya sangat mengharapkan
kegiatan pengeboran landaian suhu ini dapat berjalan dengan baik dan memperoleh
data potensi panas bumi yang lebih lengkap dan akurat, sehingga akan menarik
investor untuk pemanfaatan energi panas bumi dan mendukung pembangunan di
Kabupaten Alor, khususnya di Pulau Pantar (www.esdm.go.id).
Harapan Bupati ini sejalan dengan tujuan pengeboran landaian suhu potensi panas
bumi biasanya dilaksanakan yakni antara lain untuk mengetahui ada tidaknya anomali
temperatur gradien geotermal pada lubang sumur bor, menguji daerah anomali
geolistrik pada penyelidikan terdahulu dan untuk memperoleh gambaran keadaan
geologi bawah permukaan.
Yang
jadi pertanyaan bagi segelintir masyarakat Kabupaten Alor yang maaf jika
dikatakan ‘awam’ terhadap kegiatan pengeboran panas bumi khususnya dan pengeboran
eksplorasi pertambangan pada umumnya adalah apakah nantinya kegiatan pengeboran
ini dapat menimbulkan gempabumi tektonik di wilayah Kabupaten Alor? pertanyaan
ini bagi sebagian kalangan mungkin terdengar lucu dan tidak berdasar tetapi
fakta menunjukkan bahwa masih ada juga masyarakat Kabupaten Alor yang
bertanya-tanya tentang hal tersebut, bahkan muncul rasa trauma dengan kejadian
gempabumi sebelumnya terutama gempabumi 2004. Dalam penelitian saya yang
mengkaji risiko bencana gempabumi di Kecamatan Alor Timur Laut beberapa waktu
yang lalu, ditemukan juga adanya responden yang menjawab bahwa kejadian
gempabumi alor 2004 disebabkan oleh adanya kegiatan pengeboran panasbumi Tuti Adagai.
Walaupun persentase jawaban ini sangat kecil, namun hal ini membuktikan bahwa
masih adanya stigma negatif sekaligus kekhawatiran dan rasa trauma masyarakat
Alor yang berpikiran seperti ini.
Saya
coba menjawab pertanyaan ini dengan sedikit mengungkap fakta parameter gempabumi
November 2004 yang lalu. Berdasarkan data kejadian gempabumi dari BMKG,
gempabumi 2004 merupakan gempabumi tektonik yang terjadi pada hari jumat 12
November 2004 jam 05.26 pagi dengan kekuatan (magnitudo) 6,5 SR, kedalaman 37,8
Km dan pusat gempabumi (episentrum) di daratan sekitar 33 km arah timur
Kalabahi, tepatnya di Kecamatan Alor Timur Laut (Pemerintah Kabupaten Alor,
2005). Sementara berdasarkan data kegempaan dari badan geologi Amerika Serikat
(USGS) melalui https://earthquake.usgs.gov
diperoleh data dua gempabumi besar terjadi dengan kekuatan 7,5 Mb, kedalaman
42,8 km dengan episentrum di laut dan gempabumi sedang dengan kekuatan 6,4 Mb
dengan kedalaman 33,8 yang berepisentrum di daratan Kecamatan Alor Timur Laut. Gempabumi
utama yang terjadi pada tanggal 12 November diikuti rangkaian gempa-gempa
susulan dengan kekuatan dibawah gempa utama sehingga menimbulkan korban jiwa dan
dampak kerusakan yang semakin besar.
Walaupun
terdapat perbedaan parameter kegempaan 12 November 2004 antara data BMKG dan
USGS namun sebenarnya kedua data tersebut mengindikasikan hal yang sama yaitu telah
terjadi gempabumi tektonik besar dengan magnitudo lebih dari 6 SR dan kedalaman
pusat gempa yang tergolong dangkal karena kurang dari 60 km.
Gempabumi
dangkal yang terjadi di Kabupaten Alor umumnya berhubungan dengan pelepasan
tekanan batuan yang terjadi di dalam zona penunjaman (subduksi) lempeng
Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia dan adanya aktivitas sesar aktif di
daratan Pulau Alor (Daryono, 2010). Nanlohi dan Sundhoro (2005) dan Dinas
Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor (2012) dalam Ilyas (2017) mengindikasikan
struktur sesar yang berkembang di daerah Alor Timur Laut, yaitu sesar normal
Irawuri dan sesar normal Taramana. Dua sesar yang walaupun belum terindikasi
sebagai sesar aktif namun aktivitas keduanya berpotensi sebagai pemicu
gempabumi tektonik di Pulau Alor.
Untuk gempabumi yang episentrumnya di lautan
selain aktivitas lempeng tektonik, gempabumi ini juga dapat disebabkan karena
adanya struktur tektonik sesar naik belakang busur kepulauan yang populer
dikenal sebagai back arc thrust.
Struktur ini terbentuk akibat tunjaman balik lempeng Eurasia terhadap lempeng
Samudra Indo-Australia. Lebih lanjut Daryono (2010) menyatakan bahwa back arc thrust membujur di Laut Flores
sejajar dengan busur Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara dalam bentuk
segmen-segmen. Segmen barat dikenal sebagai sesar naik Flores (Flores thrust) yang membujur dari timur laut
Bali sampai dengan utara Flores. Sesar naik Flores merupakan pemicu (generator)
gempa-gempa merusak yang akan terus-menerus mengancam untuk mengguncang busur
kepulauan Nusa Tenggara. Sementara itu segmen timur dikenal sebagai Sesar Naik
Wetar (Wetar Thrust) yang membujur
dari utara Pulau Alor hingga Pulau Romang. Wetar
Thrust juga tidak kalah berbahaya dari Flores
Thrust sebagai pemicu gempa-gempa besar dan merusak di kawasan Alor dan
sekitarnya, seperti gempa Alor April 1898 dan Juli 1991 yang menewaskan ratusan
orang.
Sekarang
saya coba mengulas pengeboran landaian suhu panas bumi sebagai salah satu
tahapan eksplorasi panas bumi. Pengeboran landaian suhu Tuti Adagai dilakukan
pada dua lubang atau sumur yaitu TAD-1 dan TAD-2, dengan kedalaman
masing-masing 250 m dan diameter lubang 7
7/8 inchi atau sekitar 20 cm. Pada kedua sumur tersebut ditemukan anomali
temperatur, yaitu untuk TAD-1 sebesar 60C/100 m dan TAD-2 sebesar 50C/100
m. Dengan demikian dalam pengeboran landaian suhu Tuti Adagai hanya
menghasilkan dua lubang dengan ukuran diameter 20 cm dan kedalaman 250 m atau
0,25 km. Untuk pengeboran landaian suhu potensi panas bumi gunung sirung,
menurut informasi dari https://www.esdm.go.id
bahwa pengeboran akan dilakukan di dua titik dengan kedalaman masing-masing 700
m dan menggunakan mesin bor tipe Atlas Copco CS14. Belum ada informasi diameter
lubang pengeboran, tetapi kemungkinan besar tidak akan berbeda jauh dengan
pengeboran landaian suhu pada umumnya yaitu sekitar 20 cm.
Dari
parameter kegempaan dan parameter pengeboran landaian suhu Tuti Adagai sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, terlihat tidak ada hubungan sama sekali antara
pengeboran panas bumi dengan kegempaan (tektonik) yang terjadi di Alor selama
ini. Gempabumi tektonik yang memiliki episentrum di daratan dengan kedalaman
dangkal (< 60 km) biasanya disebabkan oleh aktivitas sesar aktif ataupun
pergerakan lempeng tektonik sedangkan pengeboran landaian suhu dari aspek
kedalamannya saja tidak mencapai pusat gempabumi. Kalaupun sampai, apakah
mungkin pemboran yang hanya berdiameter 20 cm dapat menggerakkan sesar aktif
yang kemudian mengakibatkan gempabumi tektonik. Sepengetahuan saya belum ada
teknologi di dunia ini yang dapat menyebabkan gempabumi tektonik. Pengeboran
landaian suhu potensi panasbumi gunung sirung pun terlihat demikian. Secara
teknis tidak ada hubungannya antara pengeboran landaian suhu potensi panas bumi
dengan gempabumi tektonik yang dapat terjadi di suatu daerah. Jikalau terjadi
gempabumi bukanlah gempabumi tektonik yang biasa terjadi di Alor selama ini
tetapi bisa saja terjadi getaran gempa lokal dengan radius getaran yang tidak
jauh dari titik pemboran dan biasanya tidak menimbulkan efek getaran yang
besar.
Bagaimana
jika dalam waktu dekat ini di Pulau Pantar atau kabupaten Alor pada umumnya
terjadi gempabumi tektonik sebagaimana kejadian gempabumi November 2004 yang
waktunya hampir bersamaan dengan kegiatan pengeboran landaian suhu Tuti
Adagai?. Pertanyaan ini sekali lagi muncul karena ditengah masyarakat juga
masih berkembang rasa takut dan trauma akan kejadian gempabumi seiring dengan
kegiatan pengeboran. jawaban atas pertanyaan ini sebaiknya ditinjau dari aspek
geologi regional Alor.
Kabupaten
Alor ditinjau secara geologi regional merupakan bagian dari rangkaian kepulauan
dalam zona Busur Banda yang memiliki aktivitas kegempaan cukup tinggi. Khusus
untuk wilayah Kabupaten Alor dan sekitarnya saja berdsarkan data USGS telah
terjadi kurang lebih 255 kali gempabumi tektonik selama kurun waktu tahun 1940
– 2015. Aktivitas lempeng tektonik dan sesar aktif menjadi pemicu utama
gempabumi tektonik di Kabupaten Alor. Aktivitas penunjaman lempeng tektonik ini
masih termodifikasi dan terus berlangsung sampai saat ini (Tain, 2005). Sepanjang
keaktifan lempeng tektonik dan sesar aktif tersebut maka kawasan alor tidak
akan lepas dari ancaman gempabumi.
Kerawanan
Kabupaten Alor secara geologi terhadap ancaman gempabumi yang dibuktikan dengan
catatan sejarah kegempaan semakin menguatkan hasil penelitian sejumlah pakar
tentang pengulangan riwayat kegempaan pada suatu wilayah. Salah satunya
Natawidjaya dkk (1995) yang menyimpulkan bahwa apabila pada suatu wilayah
pernah terjadi kejadian gempabumi besar yang merusak maka dapat dipastikan
bahwa wilayah tersebut rawan terhadap gempabumi minimal dengan kekuatan yang
sama dengan gempabumi yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan secara khusus
untuk wilayah tektonik busur banda, Ngadmanto (2010) telah melakukan analisis
spasial parameter kegempaan menemukan bahwa wilayah Kepulauan Alor dan Flores
berpotensi terjadi kembali gempabumi merusak dengan magnitudo 6,5 SR bervariasi
sekitar 7 – 15 tahun dan magnitudo di atas 7 SR bervariasi sekitar 20 – 60
tahun.
Berkaca
dari pendapat para ahli kegempaan dan fakta riwayat kegempaan sebagaimana
penjelasan sebelumnya, maka kita yang tinggal dan mendiami wilayah Kabupaten
Alor harus senantiasa siap siaga dan waspada dalam menghadapi ancaman gempabumi.
Kita juga tidak perlu lagi mengaitkan ancaman gempabumi tektonik dengan kegiatan
pengeboran panas bumi ataupun pengeboran eksplorasi pertambangan lainnya,
karena sesungguhnya kita mendiami wilayah yang ditakdirkan rawan terhadap
gempabumi tektonik. Kita sebaiknya berupaya mendukung terlaksananya pengeboran landaian
suhu kali ini agar berjalan dengan baik sesuai dengan kapasitas kita
masing-masing. Hasil pengeboran ini menentukan langkah eksplorasi selanjutnya,
apakah hanya berhenti sampai di survey pendahuluan, termasuk pengeboran
landaian suhu ataukah dapat dilanjutkan ke tahapan eksplorasi yang lebih rinci
lagi.
Adanya
pengeboran landaian suhu atau tidak adanya pengeboran landaian suhu, masyarakat
dan Pemerintah Daerah Kabupaten Alor harus selalu siap siaga apabila terjadi
gempabumi yang setiap saat mengancam kita. Tingkat kesiapan kita turut
menentukan dampak bencana gempabumi yang kita alami nantinya. Sesungguhnya kita
tidak dapat menghindar dari gempabumi (bencana) namun kita dapat hidup secara
harmoni dengan bencana sebagaimana slogan kebencanaan ‘living harmony with disaster’.
No comments:
Post a Comment