Manajemen Bencana

Thursday, December 27, 2018

SEKELUMIT CATATAN DALAM RAPAT KOORDINASI RENCANA KAWASAN EKONOMI KHUSUS ALTAKA


Senin, 22 Oktober 2018 telah dilaksanakan Kegiatan rapat koordinasi Rencana pembentukan Kawasan ekonomi Khusus (KEK) ALTAKA di Kantor Bappelitbang Kabupaten Alor. Rencana penetapan KEK ALTAKA telah digagas oleh Gubernur Frans Lebu Raya sejak tahun 2014. Berdasarkan informasi yang dikutip dari www.kek.go.id sebagai portal resmi Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Republik Indonesia, KEK Altaka belum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, bahkan belum juga terdaftar dalam calon KEK yang akan ditetapkan selanjutnya. 

Informasi tersebut memang benar adanya karena sejak diwacanakan beberapa tahun yang lalu, sampai saat ini Pemerintah Provinsi NTT belum memiliki konsep yang jelas mengenai potensi pengembangan kawasan pada wilayah KEK tersebut. Oleh karena itu pertemuan sebagai diskusi awal di tingkat Kabupaten untuk menjaring bahan masukan dari pemangku kepentingan daerah dalam merumuskan kebijakan lanjutan konsep KEK yang dapat menguntungkan dan berdampak ekonomi bagi masyarakat di Kabupaten Alor.

Diskusi yang digagas oleh Bappeda Provinsi NTT dengan keterlibatan segenap pemangku kepentingan, khususnya perwakilan dari Organisasi Perangkat Daerah lingkup Pemerintah Kabupaten Alor. Pemateri dalam diskusi ini sekaligus sebagai pemantik awal diskusi terdiri dari pejabat Bappeda Provinsi NTT (kasubid pada Bidang Ekonomi), Rektor Universitas Tribuana Kalabahi dan Kepala Bappelitbang Kabupaten Alor, dalam hal ini diwakili oleh Kepala Bidang Ekonomi. 

Berbagai pendapat, masukan dan usul saran telah disampaikan oleh peserta diskusi dan telah dibahas bersama oleh pemateri. Saya tidak ingin mengulas satu persatu usul saran tersebut dan juga bukan kapasitas saya untuk menyimpulkan hasil dari diskusi ini. Namun saya ingin membahas sedikit saja beberapa catatan yang saya anggap penting dari rencana keberadaan KEK ALTAKA dari sudut pandang Pengembangan Wilayah, khususnya dikaitkan dengan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor dan Tata Ruang Wilayah Provinsi NTT.

Oh ya, mumpung belum jauh berjalan, perlu diperkenalkan KEK ALTAKA ini. KEK ini bukanlah yang pertama diwacanakan di  NTT. Sebelum konsep Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), pemerintah Indonesia sudah menetapkan suatu konsep pengembangan kawasan ekonomi terpadu yang dinamakan KAPET. Bagi warga NTT tentunya tidak asing lagi mendengan KAPET Mbay di wilayah Kabupaten Nagakeo (sebelumnya masih wilayah Kabupaten Ngada).

Ditinjau dari penggunaan nama KEK ini, ALTAKA merupakan akronim dari Alor, Lembata dan Larantuka. Dari nama ini terlihat ketidakselarasan. Alor dan Lembata menggunakan nama Kabupaten, sementara Larantuka menggunakan nama Ibu Kota Kabupaten. Jangan sampai nama ini malah membuat jangkauan KEK ini malah terbatas pada Kota Larantuka, tidak dapat menjangkau Kota lain atau bahkan Pulau lain (Adonara dan Solor) di Kabupaten Flores Timur. Jadi alangkah baiknya jika nama ini perlu ditinjau ulang oleh tim penyusun konsep pengembangan KEK ini.

Saturday, December 8, 2018

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS), RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA (RPB) DAN RENCANA JANGKA MENENGAH DAERAH (RJMD)

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Alor mengadakan Kelompok Diskusi Terarah / Focus Group Discussion (FGD) mengenai penyusunan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan (DDDTL) pada medio November 2018 kemarin. Walaupun dalam pelaksanaannya, tidak seperti FGD pada umumnya dan terkesan semacam sosialisasi materi DDDTL, namun kegiatan ini layak diapresiasi sebagai bagian dari tahapan penyusunan dokumen DDDTL yang berhasil dilaksanakan oleh Tim DLH Kabupaten Alor. Kegiatan yang menghadirkan Pak Suwardi, STP, MSi, selaku Kepala Bidang Inventarisasi DDDT Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusra Kementerian LHK sebagai narasumber dan dibuka oleh Pak Sekretaris Daerah Kabupaten Alor mewakili Bupati Alor.

Dalam arahan pembukaannya, Setda Alor memenyampaikan beberapa hal penting. Keterlibatan aktif para camat se-Kabupaten Alor dalam mendukung tersusunnya dokumen ini sebagai salah satu hal yang ditekankan Setda Alor. Selain sebagai amanat dari UU Nomor 32 Tahun 2009, dokumen ini akan dilanjutkan dengan penyusunan KLHS sekaligus sebagai masukan dalam RPJMD Kabupaten Alor Tahun 2019-2024, untuk itu keterlibatan perbagai pihak sangat dibutuhkan termasuk peran aktif dari Camat dalam menyampaikan data dukung dan permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi masyarakat pada wilayahnya masing-masing.

Berkaitan dengan penyusunan RPJMD periode kedua, sebagai lanjutan dari program Gema Mandiri dalam Sprit Tancap Gas, maka untuk mewujudkan 3 program strategis Alor yaitu Alor Kenyang, Alor Sehat dan Alor Cerdas, ada pesan khusus Pak Setda kepada Bappelitbang Alor. Sebagai lnstansi penanggung jawab penyusunan RPJMD, beliau menegaskan bahwa pihak Bappelitbang Alor sudah seharusnya mulai merumuskan konsep RPJMD periode kedua ini. Isu pengelolaan lingkungan tidak boleh ditinggalkan dalam penyusunan dokumen perencanaan ini. Sehubungan dengan semakin dekatnya waktu pelantikan Bupati Alor terpilih, Bappelitbang Alor diminta untuk tidak boleh lagi bekerja dengan santai dan ritme yang biasa saja. Tetapi harus segera aktif dalam menyusun konsep RPJMD 2019 - 2024, karena Bupati Alor akan dilantik tanggal 25 Maret 2019, atau kurang lebih 4 bulan lagi.

Selanjutnya giliran Pak Suwardi, pejabat dari Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusra menyampaikan materi. Mulai dari kebijakan regulasi penyusunan DDDTL dan KLHS sampai pada analisis pemetaan dalam dokumen ini dijelaskan dengan rinci oleh beliau. Secara garis besar daya dukung dan daya tampung Lingkungan hidup secara normatif disusun sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2009 dan peraturan perundangan terkait lainnya sampai pada tataran operasional melalui Peraturan Menteri LH. DDDTL juga sebagai persyaratan  sekaligus sebagai muatan penting dari sejumlah dokumen perencanaan di daerah seperti RTRW, RPJPD dan RPJMD serta kebijakan dan rencana program sektoral lainnya yang berpotensi menimbulkan dampak bagi lingkungan hidup. Karena sesungguhnya DDDTL disusun sebagai acuan dalam pemanfaatan sumber daya alam dengan tujuan mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk kesejahteraan rakyat menuju pembangunan berkelanjutan.

Dalam proses diskusi yang terjadi, tentu saja banyak masukan yang disampaikan para cemat mengenai kondisi lingkungan pada wilayahnya masing-masing. Pak Suwardi sebagai narasumber juga menjelaskan dengan gamblang bagaimana dokumen ini menjembatani kepentingan pemerintah dan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam namun juga pada sisi yang lain tetap memperhatikan aspek keberlanjutan dari fungsi lingkungan hidup. Beliau juga menyampaikan mengenai pentingnya tim teknis dalam meramu masukan yang ada dan potensi sumber daya yang dimiliki dengan teori-teori pemanfaatan lingkungan guna menentukan batasan kemampuan lingkungan hidup mendukung kehidupan manusia serta menyerap zat, energi dan komponen lain yang masuk kedalamnya.

Pak Suwardi juga menyampaikan terkait jasa ekosistem yang merupakan keuntungan yang diperoleh manusia dari suatu ekosistem. Jasa ekosistem dibagi menjadi empat yaitu jasa
Analisis peta yang dilaksanakan meliputi tumpangsusun (overlay) peta dasar agar memperoleh peta vegetasi, peta penggunaan lahan dan peta bentang alam. Tidak lupa juga pak suwardi menyampaikan mengenai jasa ekosistem sebagai output dari DDDTL. Jasa ekosistem merupakan manfaat yang diperoleh manusia dari lingkungan. Jasa ekosistem terdiri dari jasa penyediaan, jasa pendukung, jasa pengaturan dan jasa budaya. Semakin tinggi jasa ekosistem yang diberikan suatu wilayah berarti semakin tinggi kualitas lingkungan pada wilayah tersebut.

DDDT terkait dengan pendekatan keruangan. Untuk itu penggunaan peta sebagai bahan masukan yang kemudian dioverlay untuk memperoleh peta tematik lain yang diharapkan sangat ditentukan oleh pembobotan setiap variabel.   

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS), RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA (RPB) DAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) DALAM TINJAUAN REGULASI


Minggu kedua November 2018 saya ditugaskan oleh pimpinan untuk mengikuti kegiatan Kelompok Diskusi Terarah / Focus Group Discussion (FGD) mengenai penyusunan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (DDDTLH) yang dilaksanakan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Alor. Kegiatan ini merupakan salah satu tahapan dalam penyusunan dokumen DDDTLH. Secara kebetulan saat ini juga, saya ditugaskan sebagai salah satu anggota tim substansi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten Alor yang sementara ini masih bekerja dan sudah memasuki tahapan finalisasi dokumen oleh Tim Konsultan penyusun dari BNPB. Dalam beberapa kali diskusi membahas kedua dokumen itu, selalu saja muncul topik tentang bagaimana mengintegrasikan kedua dokumen sektoral tersebut dalam dokumen induk perencanaan Daerah lima tahunan yang dikenal sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Kali ini bukan secara kebetulan, karena memang pada tanggal 25 Maret 2019 nanti, tahapan pertama pelantikan kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih hasil pilkada 2018 dilantik, termasuk Kabupaten Alor. Bupati dan Wakil Bupati terpilih akan dilantik oleh Gubernur NTT untuk mengemban tugas kepemimpinan Kabupaten Alor selama kurun waktu 5 tahun berikutnya (2020 – 2024). Artinya bahwa dalam waktu 6 bulan kemudian sejak kepala Daerah dilantik, dokumen RPJMD Kabupaten Alor 2020 -2024 sudah harus ditetapkan oleh DPRD Kabupaten Alor.

Nah, sekarang bagaimana hubungan ketiganya. Sampai-sampai setiap kali rapat atau diskusi pembahasan dokumen DDDTL dan RPB tersebut, selalu saja nama RPJMD dibawa-bawa. Saya akan coba mengulasnya satu persatu.

Yang pertama adalah DDDTLH atau Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup. Apa itu DDDTLH dan bagaimana hubungannya dengan RPJMD, akan coba saya ulas lebih lanjut berikut ini.

DDDTLH merupakan amanat UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa apabila Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) belum tersusun, maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Selanjutnya dalam Pasal 16 menjelaskan bahwa kapasitas DDDTLH merupakan salah satu muatan dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), selain juga jasa ekosistem dan lainnya. KLHS sendiri merupakan rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program (Pasal 1). Pemerintah Daerah sendiri wajib melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi RTRW, RPJPD dan RPJMD (Pasal 15).

Dalam tataran kebijakan yang lebih operasional semisal Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentunya amanat memasukkan atau mengintegrasikan KLHS dalam RPJMD juga secara tegas diatur. Peraturan Menteri LHK Nomor 69 tahun 2017 tentang Pelaksanaan PP Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS secara gamblang menegaskan hal tersebut. Dalam Pasal 3 menjelaskan bahwa KLHS wajib dilaksanakan kedalam penyusunan atau evaluasi kebijakan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selanjutnya pada pasal 4 disebutkan kembali Kebijakan, Rencana dan atau Program (KRP) mana saja yang wajib di KLHS kan, salah satunya adalah RPJMD. 

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) juga tidak kalah tegas mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) untuk mengKLHSkan RPJMN/D. Bahkan dalam Permendagri Nomor 86 tahun 2017, pasal 47 dan 48 sudah memasukkan KLHS dalam rancangan awal RPJMD yang harus dibahas dalam forum konsultasi publik paling lambat 30 hari setelah rancangan awal RPJMD disusun. Yang mana penyusunan Rancangan awal RPJMD dimulai sejak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dilantik. Dalam Permendagri Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan RPJMD juga mengamanatkan hal yang tidak jauh berbeda. 
Dalam Permendagri tersebut, yang dimaksudkan dengan KLHS RPJMD adalah analisis sistematis, menyeluruh, dan partisipatif yang menjadi dasar untuk mengintegrasikan tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke dalam dokumen RPJMD. Selanjutnya dijelaskan bahwa KLHS RPJMD menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan rencana pembangunan daerah dalam RPJMD. Artinya bahwa KLHS RPJMD merupakan hal yang wajib disusun sebagai masukan penyusunan RPJMD untuk memastikan terlaksananya tujuan pembanguan berkelanjutan.

Hal kedua yang coba saya ulas adalah Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan hubungannya dengan RPJMD. RPB merupakan amanat UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sebagaimana sudah diketahui bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari tiga tahapan yaitu prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana. Dimanakah posisinya RPB?. Nah, pasal 34 dan 35 menjawab bahwa Perencanaan penanggulangan bencana (RPB) merupakan bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana saat dalam situasi tidak terjadi bencana. Pasal 36 menjelaskan bahwa RPB ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemrintah Daerah sesuai kewenangan dan dikoordinasikan oleh Badan (Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penaggulangan Bencana Daerah). RPB disusun berdasarkan data risiko bencana yang dikenal sebagai kajian risiko bencana (KRB), yaitu data tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan penanggulangan bencana.

Kembali lagi kita lihat kebijakan operasionalnya. PP Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yang ditindaklanjuti dengan Perka BNPB Nomor 4 tahun 2008 tentang Pedoman penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana mengatur lebih detil tentang RPB. RPB merupakan bagian dari perencanaan pembangunan yang disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana dan upaya penanggulangan bencana yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya. RPB memuat pengenalan dan pengkajian ancaman bencana,  pemahaman tentang kerentanan masyarakat, analisis kemungkinan dampak bencana, pilihan tindakan pengurangan risiko bencana, penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana dan alokasi sumber daya yang tersedia. RPB ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk jangka waktu lima tahun dan dapat ditinjau secara berkala setiap dua tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.

Memang dalam UU Nomor 24 tahun 2007 dan peraturan pelaksanaannya belum secara tegas mewajibkan pengintegrasian RPB dalam RPJMD sebagaimana KLHS dalam RPJMD. Namun apabila ditinjau dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan PP Nomor 2 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, kebencanaan masuk dalam urusan wajib pelayanan dasar Bidang Ketertiban umum dan Perlindungan Masyarakat Sub Urusan Bencana. Jenis Pelayanan Dasar SPM Sub Urusan Bencana terdiri dari tiga jenis yaitu Pelayanan Informasi Rawan bencana; Pelayanan Pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana; dan Pelayanan Penyelamatan dan Evakuasi korban bencana.

Dalam Permendagri Nomor 101 tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Bencana Daerah kabupaten/Kota, penyusunan RPB sudah dijadikan SPM urusan bencana bagi Kabupaten/Kota. RPB masuk dalam kegiatan Pelayanan Pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana. sasaran dari sub kegiatan penyusunan RPB adalah tersedianya data/informasi tentang RPB dalam bentuk dokumen resmi yang sah/legal, dalam target waktu satu tahun. 
Pengintegrasian RPB dalam dokumen perencanaan daerah (RPJMD) belum secara tegas diatur dalam perundangan. Tetapi keberadaan Permendagri tentang SPM sub urusan bencana merupakan angin segar bagi pegiat kebencanaan di daerah terutara BPBD dan stake holder terkait. Dengan adanya permendagri ini merupakan suatu kewajiban bagi daerah menganggarkan penyusunan dokumen RPB dalam APBD sekaligus mensahkannya dalam bentuk Peraturan daerah ataupun Peraturan Bupati.

Mengingat semakin tingginya frekuensi kejadian bencana yang terjadi. Sekaligus semakin besar jumlah korban dan tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan. Apalagi sudah merupakan rahasia umum bahwa secara alamiah kita tinggal di wilayah yang memiliki ancaman bencana tinggi. Sudah sepantasnya pengelolaan bencana tidak lagi dilaksanakan sebagaimana biasanya. Tidak dapat lagi pengelolaan bencana kita laksanakan hanya sekedar responsif semata apabila terjadi bencana. Tidak cukup lagi ‘hanya’ pembangunan yang dilaksanakan berbasis pengurangan risiko bencana tetapi kini saatnya dimulai dari tahapan perencanaan pembangunan. Sudah merupakan masanya Perencaaan pembangunan berbasis pengurangan risiko bencana.

Wednesday, June 20, 2018

Sosialisasi dan Lokakarya Penilaian Ketahanan Daerah dalam Rangka Penurunan Indeks Risiko Bencana (Laporan Kegiatan di Jakarta)


SOSIALISASI DAN LOKAKARYA PENILAIAN KETAHANAN DAERAH DALAM RANGKA PENURUNAN INDEKS RISIKO BENCANA

Kabupaten Alor, termasuk dari 7 Kabupaten di NTT yang diundang menghadiri kegiatan Lokakarya Penilaian Ketahanan Daerah dalam rangka penurunan Indeks Risiko Bencana pada kesempatan ini. selain Alor, Kota Kupang, Belu, Manggarai, Sikka, Ende, dan Ngada menjadi peserta kegiatan ini. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini dihadiri oleh 136 Kabupaten/Kota di Indonesia yang menjadi lokus target RPJMN 2015-2019 untuk penanggulangan Bencana yaitu penurunan indeks risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang berisiko tinggi sebesar 30%. Perwakilan Kabupaten/Kota yang diundang mengikuti Kegiatan ini adalah Kepala Pelaksana BPBD, bagian Program BPBD dan Kepala BAPPEDA.     

Sebagaimana diketahui bahwa dalam penurunan indeks risiko bencana ada tiga komponen yang perlu dikaji lebih jauh yaitu tingkat ancaman bencana, tingkat kerentanan terhadap bencana dan tingkat kapasitas dalam menghadapi bencana. Secara khusus mengenai ancaman bencana alam tidak dapat diintervensi karena merupakan hal yang alami, “anugerah” atau pemberian (given) dari alam. Sementara itu yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko bencana adalah mengupayakan penurunan kerentanan terhadap bencana dan meningkatkan kapasitas menghadapi bencana.

Dalam tataran perencanaan nasional, upaya penurunan indeks risiko bencana termuat dalam Kebijakan Nasional Pananggulangan Bencana sebagaimana materi yang disampaikan oleh Dr. Raditya Jati, Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB. Lebih lanjut Jati menyampaikan bahwa dalam mencapai target penurunan risiko bencana BNPB mendorong Pemerintah Daerah untuk melakukan tiga hal yaitu menurunkan tingkat kerentanan bencana, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam penanggulangan bencana dan menginternalisasi PRB dalam kerangka pembangunan di daerah. Ketiga hal itu yang perlu adanya kerjasama dan kolaborasi antara pemangku kepentingan di daerah. Karena urusan bencana bukan urusan pemerintah saja tetapi sudah merupakan urusan bersama antara pemerintah (daerah dan pusat), masyarakat dan dunia usaha.

Secara khusus kegiatan ini sebagai upaya peningkatan kapasitas pemerintah Daerah yang diinisiasi oleh BNPB dengan menilai terlebih dahulu kapasitas yang telah dimiliki pemerintah daerah saat ini. penilaian kapasitas melalui alat bantu (tool) yang telah dirancang oleh BNPB. Diharapkan BPBD dan Bappeda bersama OPD terkait dapat duduk bersama menilai kapasitas yang telah dimiliki pemerintah daerah dalam penanggulangan Bencana. karena kapasitas yang dinilai bukanlah kapasitas BPBD tetapi sesungguhnya merupakan kapasitas seluruh komponen Pemerintah Daerah dalam menghadapi bencana.

Saya mewakili BAPPELITBANG Kabupaten Alor sebagai instansi di daerah yang seringkali diundang oleh BNPB mengikuti kegiatan sejenis juga perlu tanggap dan peduli dalam urusan kebencanaan. BAPPEDA sebagai unit kerja yang memimpin dan mengarsiteki perencanaan di daerah perlu terus mengawal terintegrasinya pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan daerah seperti RPJMD dan RKT Organisasi Perangkat Daerah. Bencana tidak dapat dikelola secara responsif lagi tetapi perlu adanya upaya-upaya preventif yang dimulai dengan dimasukkannya PRB dalam dokumen-dokumen perencanaan daerah dan diaktualisasikan dalam program dan kegiatan pembangunan.

Saat ini bencana tidak hanya dipandang sebagai urusan kemanusiaan tetapi sudah merupakan investasi pembangunan. Sebagai contoh pembangunan yang telah berjalan bertahun-tahun di Palu, Donggala dan sekitarnya dalam sekejap hancur luluh lantah dengan jumlah kerugian mencapai kurang lebih 18,48 Triliun Rupaih (TRC BNPB dan UNDP). Bisa diperkirakan tingkat kerusakannya dengan jumlah kerugian seperti itu. Sudah saatnya pemerintah daerah berinvestasi dengan memaksimalkan program dan kegiatan yang mendukung pengurangan risiko bencana di Daerah.  

Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan dan Pembangunan Tahun 2020

UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa dalam perencanaan pembangunan baik daerah maup...