Manajemen Bencana

Saturday, December 8, 2018

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS), RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA (RPB) DAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) DALAM TINJAUAN REGULASI


Minggu kedua November 2018 saya ditugaskan oleh pimpinan untuk mengikuti kegiatan Kelompok Diskusi Terarah / Focus Group Discussion (FGD) mengenai penyusunan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (DDDTLH) yang dilaksanakan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Alor. Kegiatan ini merupakan salah satu tahapan dalam penyusunan dokumen DDDTLH. Secara kebetulan saat ini juga, saya ditugaskan sebagai salah satu anggota tim substansi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten Alor yang sementara ini masih bekerja dan sudah memasuki tahapan finalisasi dokumen oleh Tim Konsultan penyusun dari BNPB. Dalam beberapa kali diskusi membahas kedua dokumen itu, selalu saja muncul topik tentang bagaimana mengintegrasikan kedua dokumen sektoral tersebut dalam dokumen induk perencanaan Daerah lima tahunan yang dikenal sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Kali ini bukan secara kebetulan, karena memang pada tanggal 25 Maret 2019 nanti, tahapan pertama pelantikan kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih hasil pilkada 2018 dilantik, termasuk Kabupaten Alor. Bupati dan Wakil Bupati terpilih akan dilantik oleh Gubernur NTT untuk mengemban tugas kepemimpinan Kabupaten Alor selama kurun waktu 5 tahun berikutnya (2020 – 2024). Artinya bahwa dalam waktu 6 bulan kemudian sejak kepala Daerah dilantik, dokumen RPJMD Kabupaten Alor 2020 -2024 sudah harus ditetapkan oleh DPRD Kabupaten Alor.

Nah, sekarang bagaimana hubungan ketiganya. Sampai-sampai setiap kali rapat atau diskusi pembahasan dokumen DDDTL dan RPB tersebut, selalu saja nama RPJMD dibawa-bawa. Saya akan coba mengulasnya satu persatu.

Yang pertama adalah DDDTLH atau Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup. Apa itu DDDTLH dan bagaimana hubungannya dengan RPJMD, akan coba saya ulas lebih lanjut berikut ini.

DDDTLH merupakan amanat UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa apabila Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) belum tersusun, maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Selanjutnya dalam Pasal 16 menjelaskan bahwa kapasitas DDDTLH merupakan salah satu muatan dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), selain juga jasa ekosistem dan lainnya. KLHS sendiri merupakan rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program (Pasal 1). Pemerintah Daerah sendiri wajib melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi RTRW, RPJPD dan RPJMD (Pasal 15).

Dalam tataran kebijakan yang lebih operasional semisal Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentunya amanat memasukkan atau mengintegrasikan KLHS dalam RPJMD juga secara tegas diatur. Peraturan Menteri LHK Nomor 69 tahun 2017 tentang Pelaksanaan PP Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS secara gamblang menegaskan hal tersebut. Dalam Pasal 3 menjelaskan bahwa KLHS wajib dilaksanakan kedalam penyusunan atau evaluasi kebijakan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selanjutnya pada pasal 4 disebutkan kembali Kebijakan, Rencana dan atau Program (KRP) mana saja yang wajib di KLHS kan, salah satunya adalah RPJMD. 

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) juga tidak kalah tegas mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) untuk mengKLHSkan RPJMN/D. Bahkan dalam Permendagri Nomor 86 tahun 2017, pasal 47 dan 48 sudah memasukkan KLHS dalam rancangan awal RPJMD yang harus dibahas dalam forum konsultasi publik paling lambat 30 hari setelah rancangan awal RPJMD disusun. Yang mana penyusunan Rancangan awal RPJMD dimulai sejak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dilantik. Dalam Permendagri Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan RPJMD juga mengamanatkan hal yang tidak jauh berbeda. 
Dalam Permendagri tersebut, yang dimaksudkan dengan KLHS RPJMD adalah analisis sistematis, menyeluruh, dan partisipatif yang menjadi dasar untuk mengintegrasikan tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke dalam dokumen RPJMD. Selanjutnya dijelaskan bahwa KLHS RPJMD menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan rencana pembangunan daerah dalam RPJMD. Artinya bahwa KLHS RPJMD merupakan hal yang wajib disusun sebagai masukan penyusunan RPJMD untuk memastikan terlaksananya tujuan pembanguan berkelanjutan.

Hal kedua yang coba saya ulas adalah Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan hubungannya dengan RPJMD. RPB merupakan amanat UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sebagaimana sudah diketahui bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari tiga tahapan yaitu prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana. Dimanakah posisinya RPB?. Nah, pasal 34 dan 35 menjawab bahwa Perencanaan penanggulangan bencana (RPB) merupakan bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana saat dalam situasi tidak terjadi bencana. Pasal 36 menjelaskan bahwa RPB ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemrintah Daerah sesuai kewenangan dan dikoordinasikan oleh Badan (Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penaggulangan Bencana Daerah). RPB disusun berdasarkan data risiko bencana yang dikenal sebagai kajian risiko bencana (KRB), yaitu data tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan penanggulangan bencana.

Kembali lagi kita lihat kebijakan operasionalnya. PP Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yang ditindaklanjuti dengan Perka BNPB Nomor 4 tahun 2008 tentang Pedoman penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana mengatur lebih detil tentang RPB. RPB merupakan bagian dari perencanaan pembangunan yang disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana dan upaya penanggulangan bencana yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya. RPB memuat pengenalan dan pengkajian ancaman bencana,  pemahaman tentang kerentanan masyarakat, analisis kemungkinan dampak bencana, pilihan tindakan pengurangan risiko bencana, penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana dan alokasi sumber daya yang tersedia. RPB ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk jangka waktu lima tahun dan dapat ditinjau secara berkala setiap dua tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.

Memang dalam UU Nomor 24 tahun 2007 dan peraturan pelaksanaannya belum secara tegas mewajibkan pengintegrasian RPB dalam RPJMD sebagaimana KLHS dalam RPJMD. Namun apabila ditinjau dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan PP Nomor 2 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, kebencanaan masuk dalam urusan wajib pelayanan dasar Bidang Ketertiban umum dan Perlindungan Masyarakat Sub Urusan Bencana. Jenis Pelayanan Dasar SPM Sub Urusan Bencana terdiri dari tiga jenis yaitu Pelayanan Informasi Rawan bencana; Pelayanan Pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana; dan Pelayanan Penyelamatan dan Evakuasi korban bencana.

Dalam Permendagri Nomor 101 tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Bencana Daerah kabupaten/Kota, penyusunan RPB sudah dijadikan SPM urusan bencana bagi Kabupaten/Kota. RPB masuk dalam kegiatan Pelayanan Pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana. sasaran dari sub kegiatan penyusunan RPB adalah tersedianya data/informasi tentang RPB dalam bentuk dokumen resmi yang sah/legal, dalam target waktu satu tahun. 
Pengintegrasian RPB dalam dokumen perencanaan daerah (RPJMD) belum secara tegas diatur dalam perundangan. Tetapi keberadaan Permendagri tentang SPM sub urusan bencana merupakan angin segar bagi pegiat kebencanaan di daerah terutara BPBD dan stake holder terkait. Dengan adanya permendagri ini merupakan suatu kewajiban bagi daerah menganggarkan penyusunan dokumen RPB dalam APBD sekaligus mensahkannya dalam bentuk Peraturan daerah ataupun Peraturan Bupati.

Mengingat semakin tingginya frekuensi kejadian bencana yang terjadi. Sekaligus semakin besar jumlah korban dan tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan. Apalagi sudah merupakan rahasia umum bahwa secara alamiah kita tinggal di wilayah yang memiliki ancaman bencana tinggi. Sudah sepantasnya pengelolaan bencana tidak lagi dilaksanakan sebagaimana biasanya. Tidak dapat lagi pengelolaan bencana kita laksanakan hanya sekedar responsif semata apabila terjadi bencana. Tidak cukup lagi ‘hanya’ pembangunan yang dilaksanakan berbasis pengurangan risiko bencana tetapi kini saatnya dimulai dari tahapan perencanaan pembangunan. Sudah merupakan masanya Perencaaan pembangunan berbasis pengurangan risiko bencana.

No comments:

Post a Comment

Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan dan Pembangunan Tahun 2020

UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa dalam perencanaan pembangunan baik daerah maup...