Minggu kedua November 2018 saya
ditugaskan oleh pimpinan untuk mengikuti kegiatan Kelompok Diskusi Terarah / Focus Group Discussion (FGD) mengenai
penyusunan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (DDDTLH) yang dilaksanakan
oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Alor. Kegiatan ini merupakan salah
satu tahapan dalam penyusunan dokumen DDDTLH. Secara kebetulan saat ini juga,
saya ditugaskan sebagai salah satu anggota tim substansi penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten Alor yang sementara ini masih bekerja
dan sudah memasuki tahapan finalisasi dokumen oleh Tim Konsultan penyusun dari
BNPB. Dalam beberapa kali diskusi membahas kedua dokumen itu, selalu saja
muncul topik tentang bagaimana mengintegrasikan kedua dokumen sektoral tersebut
dalam dokumen induk perencanaan Daerah lima tahunan yang dikenal sebagai
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Kali ini bukan secara kebetulan,
karena memang pada tanggal 25 Maret 2019 nanti, tahapan pertama pelantikan
kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih hasil pilkada 2018 dilantik,
termasuk Kabupaten Alor. Bupati dan Wakil Bupati terpilih akan dilantik oleh
Gubernur NTT untuk mengemban tugas kepemimpinan Kabupaten Alor selama kurun
waktu 5 tahun berikutnya (2020 – 2024). Artinya bahwa dalam waktu 6 bulan
kemudian sejak kepala Daerah dilantik, dokumen RPJMD Kabupaten Alor 2020 -2024
sudah harus ditetapkan oleh DPRD Kabupaten Alor.
Nah, sekarang bagaimana hubungan
ketiganya. Sampai-sampai setiap kali rapat atau diskusi pembahasan dokumen
DDDTL dan RPB tersebut, selalu saja nama RPJMD dibawa-bawa. Saya akan coba
mengulasnya satu persatu.
Yang pertama adalah DDDTLH atau
Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup. Apa itu DDDTLH dan bagaimana
hubungannya dengan RPJMD, akan coba saya ulas lebih lanjut berikut ini.
DDDTLH merupakan amanat UU Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dalam
Pasal 12 disebutkan bahwa apabila Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RPPLH) belum tersusun, maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan
berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Selanjutnya dalam
Pasal 16 menjelaskan bahwa kapasitas DDDTLH merupakan salah satu muatan dari
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), selain juga jasa ekosistem dan
lainnya. KLHS sendiri merupakan rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh,
dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan,
rencana, dan/atau program (Pasal 1). Pemerintah Daerah sendiri wajib melaksanakan
KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi RTRW, RPJPD dan RPJMD (Pasal 15).
Dalam tataran kebijakan yang lebih
operasional semisal Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri tentunya amanat memasukkan atau mengintegrasikan KLHS dalam RPJMD juga
secara tegas diatur. Peraturan Menteri LHK Nomor 69 tahun 2017 tentang
Pelaksanaan PP Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS
secara gamblang menegaskan hal tersebut. Dalam Pasal 3 menjelaskan bahwa KLHS
wajib dilaksanakan kedalam penyusunan atau evaluasi kebijakan Nasional,
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selanjutnya pada pasal 4 disebutkan kembali
Kebijakan, Rencana dan atau Program (KRP) mana saja yang wajib di KLHS kan,
salah satunya adalah RPJMD.
Dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) juga tidak kalah tegas mewajibkan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) untuk mengKLHSkan RPJMN/D. Bahkan
dalam Permendagri Nomor 86 tahun 2017, pasal 47 dan 48 sudah memasukkan KLHS
dalam rancangan awal RPJMD yang harus dibahas dalam forum konsultasi publik
paling lambat 30 hari setelah rancangan awal RPJMD disusun. Yang mana
penyusunan Rancangan awal RPJMD dimulai sejak Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah terpilih dilantik. Dalam Permendagri Nomor 7 tahun 2018 tentang
Pembuatan dan Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan RPJMD juga mengamanatkan hal
yang tidak jauh berbeda.
Dalam Permendagri tersebut, yang dimaksudkan dengan KLHS
RPJMD adalah analisis sistematis, menyeluruh, dan partisipatif yang menjadi dasar
untuk mengintegrasikan tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke dalam dokumen RPJMD.
Selanjutnya dijelaskan bahwa KLHS RPJMD menjadi pertimbangan dalam perumusan
kebijakan rencana pembangunan daerah dalam RPJMD. Artinya bahwa KLHS RPJMD
merupakan hal yang wajib disusun sebagai masukan penyusunan RPJMD untuk
memastikan terlaksananya tujuan pembanguan berkelanjutan.
Hal kedua yang coba saya ulas
adalah Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan hubungannya dengan RPJMD. RPB
merupakan amanat UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sebagaimana
sudah diketahui bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari tiga
tahapan yaitu prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana. Dimanakah
posisinya RPB?. Nah, pasal 34 dan 35 menjawab bahwa Perencanaan penanggulangan
bencana (RPB) merupakan bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
tahapan prabencana saat dalam situasi tidak terjadi bencana. Pasal 36
menjelaskan bahwa RPB ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemrintah Daerah sesuai kewenangan
dan dikoordinasikan oleh Badan (Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan
Penaggulangan Bencana Daerah). RPB disusun berdasarkan data risiko bencana yang
dikenal sebagai kajian risiko bencana (KRB), yaitu data tentang risiko bencana
pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi
program kegiatan penanggulangan bencana.
Kembali lagi kita lihat kebijakan
operasionalnya. PP Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana yang ditindaklanjuti dengan Perka BNPB Nomor 4 tahun 2008 tentang
Pedoman penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana mengatur lebih detil tentang
RPB. RPB merupakan bagian dari perencanaan pembangunan yang disusun berdasarkan
hasil analisis risiko bencana dan upaya penanggulangan bencana yang dijabarkan
dalam program kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya. RPB
memuat pengenalan dan pengkajian ancaman bencana, pemahaman tentang kerentanan masyarakat, analisis
kemungkinan dampak bencana, pilihan tindakan pengurangan risiko bencana, penentuan
mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana dan alokasi sumber daya
yang tersedia. RPB ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk
jangka waktu lima tahun dan dapat ditinjau secara berkala setiap dua tahun atau
sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.
Memang dalam UU Nomor 24 tahun 2007
dan peraturan pelaksanaannya belum secara tegas mewajibkan pengintegrasian RPB
dalam RPJMD sebagaimana KLHS dalam RPJMD. Namun apabila ditinjau dalam UU Nomor
23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan PP Nomor 2 tahun 2018 tentang
Standar Pelayanan Minimal, kebencanaan masuk dalam urusan wajib pelayanan dasar
Bidang Ketertiban umum dan Perlindungan Masyarakat Sub Urusan Bencana. Jenis
Pelayanan Dasar SPM Sub Urusan Bencana terdiri dari tiga jenis yaitu Pelayanan
Informasi Rawan bencana; Pelayanan Pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap
bencana; dan Pelayanan Penyelamatan dan Evakuasi korban bencana.
Dalam Permendagri Nomor 101 tahun
2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub
Urusan Bencana Daerah kabupaten/Kota, penyusunan RPB sudah dijadikan SPM urusan
bencana bagi Kabupaten/Kota. RPB masuk dalam kegiatan Pelayanan Pencegahan dan
kesiapsiagaan terhadap bencana. sasaran dari sub kegiatan penyusunan RPB adalah
tersedianya data/informasi tentang RPB dalam bentuk dokumen resmi yang
sah/legal, dalam target waktu satu tahun.
Pengintegrasian RPB dalam dokumen
perencanaan daerah (RPJMD) belum secara tegas diatur dalam perundangan. Tetapi
keberadaan Permendagri tentang SPM sub urusan bencana merupakan angin segar
bagi pegiat kebencanaan di daerah terutara BPBD dan stake holder terkait.
Dengan adanya permendagri ini merupakan suatu kewajiban bagi daerah
menganggarkan penyusunan dokumen RPB dalam APBD sekaligus mensahkannya dalam
bentuk Peraturan daerah ataupun Peraturan Bupati.
Mengingat semakin tingginya
frekuensi kejadian bencana yang terjadi. Sekaligus semakin besar jumlah korban
dan tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan. Apalagi sudah merupakan rahasia
umum bahwa secara alamiah kita tinggal di wilayah yang memiliki ancaman bencana
tinggi. Sudah sepantasnya pengelolaan bencana tidak lagi dilaksanakan
sebagaimana biasanya. Tidak dapat lagi pengelolaan bencana kita laksanakan
hanya sekedar responsif semata apabila terjadi bencana. Tidak cukup lagi
‘hanya’ pembangunan yang dilaksanakan berbasis pengurangan risiko bencana
tetapi kini saatnya dimulai dari tahapan perencanaan pembangunan. Sudah
merupakan masanya Perencaaan pembangunan berbasis pengurangan risiko bencana.
No comments:
Post a Comment